Molekul 4 : Ini Indonesia

30 2 0
                                    


Indonesia, 08 Februari 2017

Hanif, Ferdinand, Brilliant, Mamoru, dan Vero memasuki portal dunia Xena satu persatu. Lorong berwarna serbaputih itu panjang dan eperti tidak ada ujung. Tak kunjung sampai, mereka pun berlari hingga sebuah pintu dengan berbagai spektrum warna.

Kini mereka menginjak bumi, tempat di mana identitas mereka tersamarkan. Sebuah tempat yang sangat asing dan berbeda dengan tempat asal mereka yang menganut empat musim. Tanah yang mereka pijak saat ini adalah negara penganut dua musim alias tropis. Tepatnya berada di sebuah tanah luas bernama Indonesia.

Demi keamanan identitas mereka, Ferdinand sudah memperingatkan mereka untuk mengganti pakaian remaja yang disesuaikan dengan model pakaian remaja Indonesia. Pemuda berdarah Inggris itu tersenyum melihat penampilan teman-temannya yang sudah memenuhi persyaratan.

Hanif memilih untuk mengenakan kemeja putih bergaris lengan pendek dan celana jins hitam. Ferdinand sendiri memakai kaus polo putih dengan celana jins biru. Brilliant lebih memilih kemeja coklat kotak-kotak dan celana panjang abu-abu. Sementara Mamoru lebih suka memakai T-shirt berwarna putih sebagai atasan dipadu dengan jaket army dan bawahan celana baggy panjang berwarna coklat tua. Vero terlihat seperti anak SMP dengan T-shirt hijau toska dan celana ¾ berwarna coklat.

"Kita sudah ada di Indonesia, tepatnya di kota Bogor."

"Mereka masih memakai ponsel seperti ini?" Mamoru mengacungkan ponsel android-nya ke hadapan Brilliant. Terlihat sekali raut wajahnya yang gusar. "Ketinggalan zaman sekali!"

"Karena waktu perkembangan teknologi di dunia Xena lebih maju 25 tahun dibandingkan dengan perkembangan teknologi di bumi."

Ferdinand menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Brili, kita tidak salah tempat kan?"

"Benar juga ya," sambung Vero. "seharusnya kita langsung sampai ke alamat yang dituju."

"Masalahnya sekarang," Ferdinand menunjuk ke arah jalan raya yang cukup ramai dengan kendaraan lalu lalang di jalan dua arah. "kenapa kita sampai di depan jalan raya?"

"Portal yang digunakan oleh raja Umar memang hanya menunjukkan tempat yang terdekat dengan daerah tujuan, bukan langsung ke daerah tujuan."

Tatapan keempat pemuda itu langsung tertuju pada Brilliant. "Jadi..."

"Kita harus mencari sendiri alamat rumah itu."

"Tapi bagaimana cara mencarinya?" Nada bicara Mamoru terdengar frustasi. "kita tidak diberikan petunjuk jalan, peta, ataupun kendaraan yang harus kita naiki!"

"Tadi Raja Umar baru mengirimkan alamatnya," jawab Brilliant sambil mengeluarkan ponsel untuk membuka aplikasi peta. Ferdinand, Mamoru, dan Vero dengan senang hati melemparkan tatapan kenapa-kau-tidak-bilang-dari-tadi kepada pangeran berkacamata itu.

"Apa alamatnya jauh dari sini?"

"Sepuluh menit kalau naik kendaraan. Kalau kita berjalan kaki bisa setengah jam."

Alih-alih bergegas pergi, Hanif menahan keempat temannya untuk beranjak dari tempat awal mereka. "Tunggu saja di sini!" sentaknya.

Dahi Ferdinand mengerut. "Kenapa, Nif?" tanyanya.

"Memangnya kau mau nunggu apa lagi?" tanya Mamoru.

"Ada yang mau menjemput kita di sini."

Keempat pangeran menatap tajam Hanif. Pangeran berwajah arab itu hanya mengangkat bahunya. Otaknya sedang mencari alasan selain bahwa ia mendengar suara pikiran laki-laki yang sedang mencari dirinya dan keempat temannya.

Lima Pangeran : AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang