Jam kini menunjukkan pukul 5 pagi. Sementara lima pangeran masih terbuai dalam mimpi. Udara masih terasa dingin, jam masih menunjukkan pukul 5 pagi. Rasanya badan yang terbiasa bangun sekitar jam 6 itu sulit dipaksakan untuk bangun lebih awal.
Sampai sepasang mata membuka kelopaknya matanya dan menampakkan iris abu-abu. Pemuda berambut hitam kelam itu melihat ke arah jam beker di sampingnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya sembari mengucek sebelah matanya. Ia berjalan keluar kamar dan membuka jendela luar rumah.
Ia menikmati belaian sang angin pagi sebagai sambutan sejuk hari pertamanya di bumi. Ia melihat langit kelam yang masih menampakkan bulan sabit. Matahari belum mau menampilkan dirinya karena jam masih menunjukkan angka lima alias waktu subuh.
Hanif tersenyum singkat. Matanya kembali melirik jam, kemudian pergi ke dapur untuk membuat sarapan.
.
.
.
Harumnya aroma nasi goreng membawa efek membangunkan orang yang terlelap. Terbukti dengan keluarnya tiga orang pemuda dari kamar mereka, berjalan menuju dapur. Muka ketiganya nampak kusut.
"Kenapa harus pagi sekali sih berangkatnya? Ini kan masih jam enam..." keluh Vero sambil mengucek matanya.
"Perasaan dulu saat aku masih sekolah, masuk sekolah setiap jam delapan." sambung Ferdinand diselingi dengan kuapan.
Satu suara dengan kedua temannya, Mamoru pun mengeluarkan argumentasinya dengan berapi-api, "Jam tujuh pagi harus sampai di sekolah itu namanya penindasan hak asasi manusia!"
"Kalian bertiga saja yang malas bangun pagi."
Komentar pelan—namun menusuk—dari Brilliant membuat ketiga pangeran serempak memberikan tatapan membunuh pada pangeran berkacamata itu. Yang diberi tatapan membunuh hanya memalingkan muka. Tanpa rasa bersalah, ia duduk tenang di meja makan.
Dengan sigap, Ferdinand membantu Hanif menata meja makan.
"Aih, beruntung sekali calon istri yang akan kau nikahi. Pagi-pagi sudah bangun dan membuat sarapan."
Nada kalimat yang keluar dari mulut Mamoru tidak terdengar seperti pujian, tapi Hanif tetap menanggapinya dengan senyuman tipis.
"Terima kasih Mamoru." jawab Hanif kalem.
Hanif meletakkan dua piring nasi goreng di depan Brilliant dan Vero—yang menguap lebar. Ferdinand meletakkan dua piring untuk Mamoru dan dirinya. Hanif duduk di samping Ferdinand sambil mengucapkan terima kasih atas bantuannya.
Kedua iris mata kelabu Hanif mengarah ke pintu rumah. Seseorang menekan bel kontrakan mereka.
"Maaf, sepertinya aku datang terlalu pagi ya?"
"Datangnya pas sarapan pasti mau numpang sarapan juga."
"Kalau mau sarapan, nasi gorengnya masih ada."
Banyu tersenyum sopan. "Terima kasih atas tawarannya, Hanif. Tapi aku tidak biasa sarapan pagi." tolaknya halus.
Hanif menyodorkan gelas berisi kopi panas.
"Sekarang status kalian bukanlah pangeran yang dihormati dan disegani. Apa ada hal menarik bagi kalian selama di bumi?"
Kelima pangeran terdiam sejenak. Pertanyaan status sebagai orang biasa adalah resiko yang harus mereka terima selama berada di bumi. Mereka harus menanggalkan identitas dan berakting selayaknya aktor handal.
"Aku akan menikmatinya," sambung Vero semangat. "Soalnya aku kangen masa sekolah."
Mamoru berdecih. "Dasar anak kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Pangeran : Angin
ActionBumi adalah tempat tinggal semua makhluk hidup ciptaan Tuhan, salah satunya manusia. Hanya sebagian kecil manusia memiliki kekuatan spesial dalam diri mereka. Namun tidak untuk dunia Xena, sebuah dunia tiga setengah dimensi yang dihuni oleh manusia...