Molekul 7: Tersangka

14 1 0
                                    

Tanpa terasa, sudah seminggu lebih kelima pangeran menjalani kehidupan sebagai orang biasa di bumi. Ferdinand berperan penting sebagai kamus bahasa Indonesia berjalan bagi keempat pangeran—Hanif kagum dengan kapasitas otak Ferdinand yang mampu menguasai 15 bahasa.  

Kemampuan beradaptasi keempat temannya patut diacungi jempol, membuat Hanif makin semangat untuk mengenal kota Bogor. Hanya saja, ia tidak mau kemampuan berbahasa Indonesianya jadi seperti  Mamoru; yang sudah lancar mengumpat ala preman pasar.

Tengah hari, kantin sekolah penuh sesak saat istirahat siang. Beruntung kelas 12 IPS 1 sedang tidak ada guru, sehingga Ferdinand berbaik hati menempati satu meja lebih dulu untuk mereka berlima. Jadi lima pangeran bisa istirahat tenang tanpa dikejar waktu— 

"Hoi, Lima Pangeran!"

Kelima pangeran itu kaget bukan buatan—Vero tersedak kuah bakso. Penyamaran mereka sudah sangat rapi, sangat kecil kemungkinannya manusia bumi mengetahui identitas mereka. Bagaimana bisa perempuan berkuncir kuda dan temannya yang berambut sebahu itu tahu identitas mereka?

Ferdinand tetap memasang wajah tenang, walaupun sebenarnya tubuh tegapnya mulai lemas.

"Memangnya kami terlihat seperti pangeran ya?" tanyanya diselingi senyum tipis.

Elena menyikut Amanda. "Manda yang punya ide panggilan itu. Yah, tapi emang panggilan itu cocok buat kalian berlima juga sih..."

"Bener banget, Fer! Habisnya kalian berlima ganteng banget! Kayak pangeran!" Amanda, selaku pemilik ide nama panggilan itu, mengiyakan kata-kata Elena dengan penuh rasa bangga.

Mamoru bertopang dagu, lalu mendengus. "Memangnya kalian nggak punya panggilan yang lebih kreatif lagi?"

"Capek kali manggilin nama kalian berlima satu persatu!" balas Elena ketus.

Hanif memilih diam dan fokus mendengarkan suara pikiran orang-orang disekitarnya. Entah itu suara pikiran Amanda yang terus memuji Ferdinand, atau suara-suara dari pikiran keempat pangeran yang terdengar silih berganti. Berkali-kali ia memokuskan pikirannya pada Elena, namun isi kepala gadis itu tetap tidak terbaca. 

Undetected. Error. Good bye.

.

.

.

Hanif mulai  mengabaikan keanehan Elena selama tiga hari; Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ia jarang bertemu dan bertegur sapa dengan gadis berambut sebahu itu. Bahkan saat hari Sabtu dan Minggu, Elena tidak ada di rumahnya.  

Upacara hari Senin di SMA Nusa Bangsa kali ini berjalan lebih lama dari biasanya. Kepala sekolah memberikan waktu lebih untuk pengurus OSIS dan sepuluh ekstrakurikuler untuk serah jabatan ketua pengurus.  

"Hari ini ada serah jabatan ketua OSIS ya?"

"Karena kelas 12 akan fokus ke UN, jadi semua ketua eskul juga harus menyerahkan jabatan mereka ke anak kelas 11."

"Jadi Elena bergabung di eskul karate ya?"

"Iya, tuh dia udah maju!"

Elena mengalungkan medali ke leher remaja laki-laki yang lebih tinggi darinya sebagai simbolis serah terima jabatan. Laki-laki itu mengangkat kepalanya lalu menjabat tangan Elena. Mata sipit Mamoru langsung membulat. Mulut Vero menganga lebar.

"Jadi dia... ketuanya?" seru Vero tidak percaya. "aku nggak nyangka kalau Len sekuat itu..."

"Dari fisiknya, tubuh Elena punya strength, speed dan agility yang tinggi. Wajar saja kalau dia menjadi ketua eskul karate." jelas Brilliant.

Lima Pangeran : AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang