[4] Hantu

463 47 28
                                    


Giliran Febi, Cikha, dan Desy yang menempati UKS untuk merasakan kasur setelah beberapa malam ini. Febi memilih kasur yang merapat pada dinding dan langsung memejamkan mata, Desy di kasur yang paling tinggi, yang dekat dengan jendela, dan Cikha menarik kasur cadangan dari tempatnya dan tidur di atasnya.

Bisa dilihat suasananya sangat suram, bahkan jika kau melihatnya dari luar sekalipun. Febi saat ini mungkin sudah tinggal berjarak satu senti dari depresi. Semalam dirinya berdebat kencang dengan Antok, pun malam-malam sebelumnya, dan mereka tak berhasil menyelamatkan satu orang pun sebagai hasil debat yang lebih seperti pertengkaran itu. Antok egois. Begitupula Febi. Namun keegoisan itu sendiri yang membuat mereka telak, tak bisa menyelamatkan mereka yang telah mati.

Dalam pejaman matanya ia membatin, apakah perlu ia memberitahu Cikha dan Desy perihal ini? Mungkin atau tidak ia menitipkan kunci Guardian kepada salah satu dari mereka? Mungkin mereka lebih bisa dipercaya daripadanya... Mungkin mereka bisa menyelamatkan barangkali satu orang, tidak seperti malam-malam sebelumnya...

Desy awalnya masih membuka matanya. Handphone yang masih selalu dibawanya kini nyaris kehabisan baterai, maka Desy mematikannya dan menaruhnya di bawah bantal. Ia sangat mengantuk, namun entah mengapa ia tak bisa tidur, otaknya tetap terjaga, dan kematian Muthia masih menggerayanginya... Dan kalau boleh Desy akui, dia takut.

Desy takut. Ia—dan Iman—jelas merasakan sesuatu saat keduanya melangkah ke dalam kelas yang seharusnya ditempati oleh Bima dan Muthia itu. Ketika mereka masuk, hawa dingin yang tak wajar seketika menyambut, seperti kematian telah mendahului mereka... Mereka tak mampu melepas wajah Muthia yang menatap mereka kosong dari ingatan. Muthia terlihat sudah mati bahkan sebelum mata pisau Desy menggores lengannya. Dan betapa damai perempuan itu ketika menghembuskan napas terakhirnya jelas membuat mereka berpikir Muthia dilindungi sesuatu.

Lebih lagi, posisi Muthia saat terakhir kali Desy dan Iman melihatnya berbeda dari saat mereka mengecek kelasnya di pagi hari.

Ketika Febi masih setengah tertidur dan Desy akhirnya memejamkan matanya, Cikha sudah mencapai alam bawah sadar terlebih dahulu. Semalam suntuk ia terbangun. Ia berpikir malam tadi setidaknya kelasnya akan aman karena Werewolf-nya telah berkurang satu (apalagi kalau memang betul Muthia, ia jelas tak akan mau membunuh kelas yang anggotanya masih lengkap sendirian). Tapi bagaimanapun juga, akhirnya terungkap kalau Muthia yang mati malam itu; menjelaskan bahwa ia bukanlah Werewolf.

Setelah 15 menit berlalu, Febi dan Desy akhirnya ikut tertidur, dan satu-satunya suara yang terdengar dalam UKS hanya helaan napas lambat.

Cikha tak tahu jam berapa itu saat ia terbangun. Dadanya terasa sesak, air mata mengalir begitu saja, dan keringat membasahi pelipisnya. Barusan saja ia merasa dikejar-kejar, memasuki lorong hitam, dikejar kembali, tersungkur, lalu seseorang menembakkan mata panah di lehernya. Ia tak terbangun saat itu juga. Masih dalam alam bawah sadarnya, ia menyeret tubuhnya menjauh, mata panah di lehernya sudah menghilang namun ia masih merasa sangat lemah, ia melihat keluarganya. Ia memanggil mereka.

Tapi mereka tidak menoleh barang sedikit.

"Cik, kamu ngapain?"

Cikha menatap Desy dari cermin di hadapannya. Air dari keran menetes dari dagunya. "... Cuci muka."

"Oh." Desy mengusap matanya, lalu menguap. "Feb, bangun Feb."

Febi masih nyenyak dengan mulut setengah terbuka. "Feb." Desy mengerang kesal. "Feb!" Ia melempar bantal—yang boleh dibilang sangat tebal dan berat—tepat ke arah wajah Febi, membuatnya terbangun dengan batuk-batuk keras karena debu.

"Bangsat itu bantal ga dicuci berapa taun?"

"Barusan dicuci sama ilermu," ucap Desy sembari menuruni kasur. "Yuk ah bosen."

[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang