Four.

136 39 13
                                    

"Apakah Jossy bisa menginap disini?" Sharon memohon. "Just for one night." Wajahnya memelas.

"Memangnya Sharon tidak mau menginap di rumah Jossy?" tanyaku lembut. Sharon menggeleng.

"Sharon sudah mengantuk, Jossy. Jossy tidur di kamar Sharon ya?" pintanya sekali lagi. "Please. Hanya untuk malam ini. Sharon janji besok akan menginap di rumah Jossy." Sharon mengenggam tanganku. Duh, lucunya anak ini.

"Sharon," tegur Kyle dengan nada penuh peringatan.

"Shh, tidak apa-apa, Kyl. Boleh kan gue menginap disini? Kasihan Sharon lagipula," aku akhirnya mengalah. Kalau yang memohon anak kecil, aku tidak bisa.

"Of Course. Tapi, benar tidak apa-apa?" Kyle meragukanku. Aku membalasnya dengan anggukan. Wajah Sharon yang tadinya murung kembali terlihat senang.

"Huh, dasar Sharon. Manja." ledek Kyle. Sharon tersenyum memperlihatkan gigi putihnya. "Kalau begitu, Sharon, antar Jossy ke kamarmu."


--


"Jossy, tidak muat juga?"

Aku menggeleng. Ini sudah baju paling besar yang Sharon punya. Yang paling kebesaran. Jelas saja, bodoh. Tidak mungkin piyama milik anak umur 10 tahun. Bodoh.

"Sebentar Jossy, aku panggilkan Kyle."

Berniat menolak, tapi Sharon sudah berlari keluar kamar. Memanggil kakaknya. Tak lama, suara kakaknya muncul dari balik pintu.

"Jossy? Please open the door. I bring something for you."

Aku membuka pintu secara perlahan. Hanya memunculkan kepalaku saja keluar karena aku hanya memakai handuk. Aku melihat Kyle yang sudah berganti baju menjadi kaos putih polos dan celana pendek sepaha.

"Um, ini. Aku punya kaos dan celana pendek. Tidak apa-apa kalau pakai ini?"

Aku menatapnya kosong. Tidak ada pilihan lain lagi bukan?

Setelah selesai, aku keluar--dengan memakai baju milik Kyle tentunya, lalu pergi ke ruang makan. Aku, Sharon, Kyle, and-- oh god, Carter. Aku bahkan hampir lupa soal Carter karena aku belum bertemu dengannya hari ini.

Carter menatapku dingin. Ah sial kecolongan.

"Jangan bengong."

"Jangan kasar gitu dong, Ter, sama Jossy!"

"Suka-suka gue."

Aku hanya terdiam. Bagaimana bisa Kyle tahan dengan sifat Carter yang sangat menyebalkan dan mengganggu.

"Gue tadi ngomong sama lo, jangan diem aja."

Setelah Carter membisikkan itu ke telingaku, ia naik lagi ke atas.

"Loh, lo nggak makan?"

"Udah kenyang." Sahutnya dingin tanpa menoleh kearahku sedikitpun.

Aku mencoba memahami situasi. Kemudian duduk di kursi di depan Kyle dan disamping Sharon.

"Maaf ya, jam makannya jadi telat begini. Udah jam setengah dua belas malem," ucap Kyle. Aku tertawa.

"Enggak apa-apa! Gue biasa juga kok makan tengah malem gini," balasku. Kyle mengangguk. Beberapa saat kemudian, terdengar suara yang sangat bising dari atas. seperti suara musik  di club.

"Maaf ya, biasa itu si Carter." Kyle nyengir. Aku mengangguk. Ternyata Carter lagi. Carter suka ke club? Suka musik seperti itu? Maksudku, sosoknya lebih seperti orang kalem dan dingin. Bukan orang petakilan dan dingin.

The Hills. [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang