Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang
diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa
itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua
usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan
Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka
berdua. "Mengapa tidak?" jawab sang kepala suku. "Kita telah mencoba berbagai macam
cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya."
Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang
terluka. "Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami
merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami
tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan
kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami."
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang
anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh
semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian
dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik
istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan
musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah
sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya
beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga
terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis
bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam;
karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-"Sang Malam". Meski ia baru berusia dua
belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya
kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni
sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah
saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini
makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi
tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang
mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka
justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau
kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui