Windy baru saja meletakkan gelas es yang tadi dibawanya, kemudian tubuhnya juga ikut menduduki bangku yang dia duduki sebelumnya. Perempuan itu kembali melahap bakso yang tadi di belinya bersamaan dengan Raina. Bukan tanpa alasan mereka memesan makanan yang Sama, semua itu karena memang keduanya sama-sama menyukai bakso.
Tak ada pembicaraan antara Raina dan Windy, mereka sibuk dengan makanan masing-masing yang akan mengisi kekosongan perut mereka.
"Boleh gue duduk?" Suara cowok itu membuat keduanya menoleh.
Mata Windy membulat mendapati cowok yang di depannya ini adalah cowok sialan yang membuatnya dihukum tadi pagi. Gadis itu menekuk bibirnya lalu berdecak. "Ngapain lo di sini?" tanya Windy galak.
"Mau nemenin kami, dong, sayang," ucap Evan dengan sengaja menekankan kata 'sayang'.
"Ck! Lo nyebelin banget, sih." Windy mengalihkan pandangannya, dia malas jika harus melihat wajah laki-laki itu lagi, karena nantinya dia akan semakin kesal dengannya.
"Mmm, gue balik duluan, ya, Wind." Raina meminum es-nya hingga setengah lalu beranjak pergi.
Windy menegakkan tubuhnya seketika. "Eh, tungguin gue!" teriak Windy pada tubuh Raina yang semakin menjauh.
"Udah lo di situ aja sama Evan. Nggak sopan tau, Evan baru dateng udah ditinggal aja." Raina terkekeh seraya meninggalkan Windy dengan cowok yang katanya menyebalkan itu.
"Tau lo, nggak sopan. Masa gue baru dateng udah main pergi aja," sambung Evan dan ikut terkekeh seperti Raina.
Windy menoleh ke arahnya, ia masih menatap Evan dengan galak. Rasanya dia cepat-cepat ingin pergi dari tempat itu dan kembali ke kelas bersama sahabatnya. "Apaan, sih, lo?" Windy mengerutkan dahi samar "Ada perlu apa lo disini?"
"Nggak ada." Evan terus memandangi wajah Windy yang terlihat kesal. Entah kenapa dia sangat suka melihat kekesalan Windy dan mungkin membuat Windy kesal adalah hobi baru nya.
Windy berdiri dan bergegas pergi. Dia sangat malas jika terus-terusan berada di tempat itu bersama Evan. Perempuan itu tak perduli lagi dengan Evan yang nantinya mengatakan dia tidak sopan.
"Mau kemana lo? Bener apa yang temen lo bilang. Dasar nggak sopan," celetuk Evan. Dia masih tetap dalam posisinya, kedua tangannya di atas meja dengan pandangan yang tak luput dari wajah gadis di depannya itu.
"Bodo amat. Gue mau balik!" ketusnya. Lalu benar-benar pergi dari Evan. Laki-laki itu pun tak menahannya. Dia hanya menggeleng lalu terkekeh mengingat Wajah kesal Windy tadi.
~®w~
Raina baru saja keluar dari kantin sendirian. Dia memang sengaja meninggalkan Windy bersama Evan karena sejak awal Evan duduk di depan Windy dia terus memandangi wajah sahabatnya, mereka seharusnya hanya berdua tanpa adanya dia.
Ia melangkah dengan santai, jarak kantin dengan kelasnya lumayan jauh karena memang letak kantin favoritnya itu terletak di ujung sekolah, untung saja bakso Bu Retno enak, kalau tidak Raina dan sahabatnya itu tidak akan mau berjalan lumayan jauh seperti itu.
Pandangannya tertuju pada seseorang yang duduk du bangku koridor tepat di depan kelas XI IPS 5. Matanya menyipit dan membenarkan letak kacamatanya demi dapat melihat seseorang itu lebih jelas.
Cowok tersebut duduk bangku koridor yang memang sudah tersedia di setiap kelasnya. Ia melangkah lebih cepat untuk memastikan pandangannya.
"Rai?" panggilnya. Tebakkannya benar, sejak awal dia memang berfikir itu Rai.
Nata mengubah posisi duduknya menjadi tegak."Lo Raina yang kemarin ujan-ujanan, 'kan?" tanya Nata pura-pura.
Perempuan itu mengangguk lalu memberikan seulas senyum. "Iya. Masih inget ternyata."
Rai membalas senyumnya ramah. "Masih, lah, masa gue secepat itu lupa." Ia terkekeh, lalu menyadari satu hal. Dia masih membiarkan Raina berdiri sejak tadi. "Duduk sini nggak capek apa berdiri terus?"
"Elo nggak nyuruh gue duduk." Raina tertawa kecil lalu tubuh nya menduduki bangku panjang yang juga di duduk Rai. "Lo kenapa sendirian?"
"Nggak kenapa-napa, cuma pengen sendirian aja." Ia memandang kosong ke depan. Ketika berada di kantin tadi, sesak sedikit terasa saat kenangan pahit itu kembali muncul dalam ingatannya.
Kenangannya bersama gadis itu memang awalnya manis-manis saja sebelum ia melihat sang pacar pergi berduaan bersama laki-laki lain.
"Oh," balas Raina singkat, dia tidak ingin terlalu ikut campur dengan perasaan orang yang baru dikenalnya kemarin itu. Walaupun dia tau kalau Nata sedang bersedih, Itu terlihat dari raut wajahnya yg terlihat sedih.
"Lo nanti pulang sama siapa?"
Raina menggedikkan bahu. "Kalo papa lagi di luar kota biasanya, sih, gue pulang bareng Windy. Bareng Arda juga."
"Kalau hari ini pulang bareng gue, bisa?" Ia menatap Raina untuk mendapatkan jawaban. Gadis itu diam cukup lama sebelum akhirnya ia mengangguk dan menjawab 'iya'.
Windy baru saja keluar dari kantin, dia melangkah dengan wajah yang masih saja menunjukan raut kesalnya juga dengan kaki yang dia hentakkan demi mengurangi rasa kesalnya.
Dari banyaknya orang yang ada di koridor, mata Windy justru terfokus pada dua orang di sana. Keningnya berkerut samar saat menyadari cowok yang ia kenal duduk bersama gadis lain. Sesak seketika menghampirinya saat cowok itu justru beranjak ketika melihat keberadaannya.
"Rain?" panggil Windy dari jauh.
Raina yang tadi nyaingin beranjak ke kelas kini menoleh ke asal suara. "Lo ninggalin Evan sendiri?"
Windy diam dan memilih huntuk menanyaan hal yang menurutnya penting. "Tadi lo sama siapa?"
Alisnya bertaut sebelum menjawab. "Temen. Emang kenapa?"
Windy memaksakan seulas senyum kemudian menggeleng kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Wind and Mine (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCerita ini tentang hujan, angin dan apa yang tidak bisa lagi dimiliki. Bagi Windy menjadi salah satu anak broken home adalah hal yang tidak pernah ia duga, seakan hidupnya lenyap seketika. Suatu hari, Windy menyadari bahwa takdir memang sekejam itu...