"Aku bertemu dengan Taehyung saat ia masih berumur enam tahun. Ia merupakan pindahan dari Daegu. Awal pertemuan kami itu saat ayahnya diundang ke acara ulang tahunku yang keenam. Kami pun menjadi dekat dan semakin hari semakin sering bersama."
"Aku juga dekat dengan ayah Taehyung. Ia adalah orang yang sangat baik, ramah dan begitu murah senyum. Ia bahkan menyuruhku untuk memanggilnya Ayah. Aku sempat berpikir, bagaimana rasanya memiliki Ayah sesempurna dirinya. Hampir setiap hari aku datang dan diberi makanan ini-itu ketika ia masih ada di rumah. Terkadang ia sering pergi ke luar untuk bekerja dan lebih sering pulang malam. Jadi, aku sering menginap di sana untuk menemani Taehyung."
"Semua baik-baik saja bahkan berjalan sangat sempurna, Namjoon-hyung."
Namjoon terkesiap begitu mendengar Jimin menyebut namanya. Bisa ia lihat, ada senyuman pahit yang kini Jimin tampilkan.
"Namun, aku salah. Sampai umur kami menginjak umur ke delapan, Taehyung mulai sering muncul dalam keadaan luka-luka. Setiap kali ditanya, ia selalu menjawab kalau ia sering terjatuh di rumahnya karena tidak terbiasa dengan lantai keramik yang licin. Saat itu, aku menganggap semua yang ia katakan itu adalah hal yang benar."
"Di umurku yang kesepuluh tahun, aku bertemu dengan sisi yang lain dari Ayah Taehyung. Dirinya, berubah menjadi manusia terkejam yang pernah ketemui. Semua pandanganku tentangnya, dijungkirbalikkan saat itu. Taehyung dipukuli dan aku nyaris disakiti. Aku takut, sangat takut. Aku yang hanya berniat untuk sekedar bermain bersama Taehyung, harus menjadi saksi dari semua perlakuan buruk yang Taehyung terima hari itu."
"Hal itu membuatku trauma, karena sosok ayah Taehyung selalu membayangiku..."
Jimin menunduk sambil memejamkan erat-erat kedua matanya. Namjoon menatap iba dalam diam. Ia tau, sakit sekali ketika kau harus membuka luka lama yang begitu melubangi hati.
"Tenanglah, Jim. Kau tidak perlu melanjutkannya kalau kau masih merasa takut."
Jimin menggeleng pelan, surai silvernya ikut bergoyang pelan. "Tidak bisa, Hyung. Semuanya begitu memberatkan pikiranku," ucapnya lemah.
"Kalau begitu, keluarkan semuanya Jim. Buka semua lukamu, jangan disembunyikan. Aku bisa membantumu."
Jimin mengangkat kepalanya perlahan, memberikan tatapan kosong yang jatuh tepat di netra Namjoon yang tegas.
"Ayah masih hidup sampai sekarang, Hyung. Ia dipenjara karena tindak penganiayaan terhadap anak. Namun, ia dibebaskan begitu cepat oleh pengacaranya." Jimin mengeratkan kedua kelopak matanya, giginya mengertak, "Aku---aku takut sekali, sungguh. Kalau ia benar-benar bebas, tandanya kehidupan Taehyung akan semakin terancam."
Jimin semakin gemetar, kedua tangannya menggenggam erat selimut tebalnya. "Dan aku bertemu dengannya saat itu, dia berdiri di ujung jalan. Berdiri di sana dan menatapku sambil tersenyum lebar seolah tau kalau waktunya sudah tiba."
Jimin membuka matanya---netranya berkaca, ada sedikit airmata yang menggenang di pelupuk matanya. "Saat itu aku ingat, benar-benar ingat."
Jimin menghentikan kalimatnya, sukses membuat Namjoon dilanda oleh rasa penasaran yang begitu kentara. "Ingat apa, Jimin-ah?"
"Ayah pernah berjanji, di hadapanku dan Taehyung, di dalam jeruji besi yang mengurungnya. Bahwa ia akan melakukan apapun demi kehidupan istrinya dan..." Jimin menggantungkan kalimatnya. "Ia benar-benar akan membunuh Taehyung di umur Taehyung yang keduapuluh."
.
.
"Namanya Nam Kyuman. Orang paling gila yang pernah kutemui dalam hidupku. Punya obsesi yang tinggi terhadap ibuku. Dia rela mati demi ibuku bahkan ia rela membunuhku demi ibuku. Selalu mengancamku, mengatakan kalau aku seharusnya mati lebih dulu daripada ibuku. Ia benar-benar membenciku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys Meets What : You Never Walk Alone
Fiksi Penggemar[BTS Fanfiction : 1 of 2] Mereka dipertemukan oleh takdir yang semula terpisah kini menjadi satu kesatuan utuh. Relasi yang terbangun akhirnya sampai pada kisah gelap dalam hati hingga mereka dipaksa berusaha untuk saling memahami dan membangun pond...