Ada banyak hal yang orang-orang tidak ketahui, yang terjadi di sudut-sudut SMA Pemuda Bangsa. Tiga puluh detik yang berharga itu, misalnya, yang hampir setiap hari dimanfaatkan Nata untuk melirik seseorang ketika kelab paduan suaranya bubar.
Orang-orang juga tidak tahu kalau ada tiga puluh detik yang paling mendebarkan terjadi di sudut gedung ekstra kurikuler SMA Pemuda Bangsa. Saat Nata berpapasan dengan cowok itu, misalnya, salah satu anggota band sekolah, yang menurutnya paling cakep. Kakak kelasnya. Namanya Egar.
Memang hanya tiga puluh detik. Tapi bagi Nata, tiga puluh detik itu sudah cukup. Setidaknya Nata bisa melihatnya dalam jarak dekat dan berbagi udara di ruangan yang sama dengan cowok itu.
"Nata!"
Lamunan Nata buyar. Kiara datang dengan napas tersengal dan kacamatanya merosot sampai hidung. Kening Nata berkerut. "Ada apa, Ki?" tanyanya.
"Kamu dicariin Bu Novi. Katanya kenapa kamu nggak ke ruangan paduan suara," jelas Kiara agak terengah. Sebelah tangannya mengusap peluh di sekitar dahi.
"Memangnya ada latihan paduan..." Nata menepuk keningnya keras, berdecak gemas dan buru-buru merapikan bukunya ke dalam laci meja. "Aku lupa. Mulai hari ini ada latihan rutin buat perpisahan kelas tiga."
Kiara mengangguk. "Iya. Maksud aku juga begitu. Ayo, ke sana sekarang. Bu Novi udah marah-marah dari tadi."
Nata mengangguk dan berlari menuju ruang paduan suara. Begitu membuka pintu ruangan itu, langkah Nata refleks berhenti. Ada anak-anak dari band sekolah juga di sana. Itu berarti ada Egar.
Tanpa sadar, Nata mengedarkan pandangan, tapi sosok yang dicarinya tidak ada di sana. Nggak ada Kak Egar.
"Renata, ke mari!" Bu Novi berseru cukup keras, membuat seluruh pandangan mengarah pada Nata. Nata mengangguk dan berjalan dengan wajah tertunduk.
"Saya kan sudah bilang, mulai hari ini ada latihan rutin setelah pulang sekolah. Kamu lupa atau bagaimana? Mau bernyanyi nggak sih?" cecar Bu Novi. "Walau suara kamu nggak bagus-bagus banget, tapi formasi sudah saya buat. Jangan bikin teman kamu harus mengcover tugas kamu!"
Nata mengangguk, wajahnya memerah malu. Ia sadar beberapa pasang mata semakin memerhatikannya. Tapi mau bagaimana lagi, ia memang tidak pintar bernyanyi. Suaranya lebih sering merusak nada. Ia bahkan tidak paham tentang alto, meso, dan sopran. Waktu bernyanyinya lebih banyak dilakukan di dalam kamar mandi dan hanya didengar olehnya sendiri. Jadi jika ditanya mengenai teknik bernyanyi, Nata tidak tahu apa-apa. Satu-satunya alasan ia bergabung dengan kelab paduan suara adalah Egar, karena Egar anggota band sekolah yang menempati ruangan yang sama untuk latihan.
Ruang musik SMA Pemuda Bangsa hanya ada satu dan digunakan oleh dua kelab berbeda, Paduan Suara dan Band Sekolah. Dua kelab itu latihan secara bergantian. Itu lah kenapa Nata masuk paduan suara, karena tiga puluh detik sebelum pergantian jam latihan, ia bisa melihat Egar dan teman-temannya masuk ruang latihan meski sebentar.
"Sudah sana masuk barisan!" ucap Bu Novi, galak.
Nata mengangguk lagi dan berjalan pelan menuju barisan. Sewaktu ia masih menjadi murid baru di Pemuda Bangsa, Egar lah kakak kelas yang mengkordinasi kelompoknya dalam masa orientasi. Cowok itu salah satu anggota OSIS dan selama tiga hari menjadi kakak kordinasinya bersama seorang anak perempuan bernama Diandra.
Selama masa orientasi, Egar tidak pernah berulah layaknya senior pada umumnya di masa orientasi, yang memerintahkan adik-adik kelas melakukan hal-hal aneh dan harus dihukum saat perintah mereka salah dilakukan. Cowok itu lebih banyak diam dan hanya bicara sekadarnya jika ditanya sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Puluh Detik
Teen FictionKarena, akan selalu ada yang pertama untuk segalanya, termasuk jatuh cinta. Oneshoot | cerpen