"Melihat senyummu saja sudah membuatku bahagia, yahh, walaupun bukan aku yang membuatmu tersenyum"
Mataku menangkap gerakan Ashla yang bisa kukatakan berlari sekarang. Sesekali ku perhatikan jemari tangannya menyeka air mata yang masih tersisa di pipi putih nan mulusnya. Hidungnya merah, matanya masih terlihat sembab. Mungkinkah dia menangis? Sendiri? Karena aku?
Mungkin benar apa katanya tadi, sahabat macam apa diriku ini? Membiarkan sahabatnya menangis sendirian? Sedangkan aku, ditemani dengan orang yang harusnya bersama dengannya. Jahat sekali diriku ini. Tapi, mau bagaimana lagi, bila aku datang, tak menutup kemungkinan akan menambah rasa sakitnya semakin dalam. Biarlah sekarang, dia menenagkan dirinya dahulu.
"Ashla!", teriakku membuatnya menoleh. Aku kira dia akan berlari kearahku. Tapi, perkiraanku salah. Dia hanya menatapku, itu pun hanya beberapa detik saja. Setelahnya, ia buang tatapannya ke arah lain. Apalagi yang bisa aku lakukan sekarang, masih dengan perkataan Dika yang entah mengapa aku rasakan itu bersumber langsung dari hatinya. Mungin aku bukan peramal, tapi bisa kulihat dari kesungguhan di matanya.
"Gue suka lo"
Cukup sudah, aku dihantui dengan orang-orang yang berebut perasaan. Mengapa di dunia ini, hanya diciptakan satu Dika, kenapa tidak 2 sekaligus. Kalau ada 2 Dika, mungkin Dika yang satu akan menjadi milikku, dan yang lain akan menjadi milik Ashla. Andaikan bisa.
Aku hanya berjalan membuntut di belakang Ashla. Kulihat punggungnya yang tegap berusaha menyembunyikan rasa sakitnya yang dalam. Bisa kubayangkan diriku berada di posisinya, mungkin saja aku akan bertindak seperti apa yang dilakukannya tadi.
Langkahnya terhenti, begitu pun dengan langkah kakiku. Dia terdiam sebelum berbalik dan berhadapan denganku. Tak ada senyum di sana, hanya wajah datar yang ia suguhkan untukku.
"La", ujarku lembut. Sembari mendekat ke arahnya berdiri. Tidak, sebelum dia mundur satu langkah.
"Gue bisa jelasin", kataku yang masih gentar mendekatinya.
"Gue nggak butuh penjelasan lagi!!", sentaknya dengan suaranya yang serak.
"Tapi lo nggak ngerti", sahutku perlahan dan hati-hati.
"Gue bisa ngerti, asal lo jauhin kehidupan gue" kali ini suaranya sedikit tenang, tapi masih terdengar serak.
"Dan lo bukan sahabat gue lagi!", air matanya menggenang kembali, sebelum menetes. Begitu pula denganku. Aku terdiam, hanya menatapnya yang kini sudah masuk ke dalam ruangan kelas. Kakiku terasa sangat menempel dengan rekat di ubin teras kelasku. Ada banyak murid yang berbincang dan melewatiku. Menyenggol lenganku. Karena memang posisiku sekranglah yang salah, aku berdiri di tengah jalan mereka. Kini, air mataku yang sedari tadi membendung, tak lagi bisa kutahan. Ia keluar menetes nembasahi pipiku. Aku cepat-cepat mengusapnya kasar. Harus kutahan hingga sekolah usai. Kutegarkan diriku dan masuk ke dalam kelas.
👟👟👟👟
Dika's POV
Bukankah dia Adelle? Mengapa berdiri di tengah jalan? Haruskah kudekati?
"D--", dia sudah pergi.
Aku mengikutinya masuk. Memang jam pelajaran berikutnya sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Lebih tepatnya, setelah aku mengungkapkan perasaanku pada Adelle. Namun, aku harus berbincang sebentar dengan anggota Osis yang secara sengaja menemuiku tadi di kantin. Mereka bilang sudah berada di sana sejak lama, bahkan mereka melihatku mengutarakan perasaanku. Ku jitak saja kepala mereka berdua. Untunglah mereka laki-laki. Kalau saja perempuan aku mungkin tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menatapnya sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelle
Teen FictionDijodohkan sejak SMP tanpa tahu menahu siapa dia? Ini adalah kisah Aldric Azka Riandika yang sudah memperhatikan gadis manis sejak mendengar perjodohan dengannya. Si gunung es yang bisa luluh karena kecantikan dan sifatnya yang baik. Ia berani memb...