Emma in Trouble

53 4 18
                                    

Kau tahu apa yang paling membuatku bersemangat setiap muffin-muffin buatanku siap di rak display? Ya, hanya satu hal. Saat aku menekan saklar papan reklame hingga lampunya yang berwarna merah dan biru menyala. Tanda tersedianya muffin dengan aneka bentuk dan rasa yang bisa langsung diserbu oleh para pelanggan toko kueku, tepatnya toko kue almarhumah ibuku, Cakes in Heaven.
Sayangnya, Cakes in Heaven belum seterkenal Krispy Kreme yang begitu lampu papan reklamenya yang bertuliskan HOT DOUGHNUTS NOW menyala akan membuat orang-orang membayangkan kumpulan donat hangat yang siap disantap. Belum lagi ditambah chain belt-nya dan jendela kaca yang membuat orang-orang bisa melihat langsung bagaimana donat kesukaan mereka dibuat. Aku saja sampai lupa mengatupkan mulutku saking terpukaunya. Andai ibuku tidak menepuk bahuku untuk menyadarkan aku dari keterpukauan, aku yakin mulutku akan terus terbuka lebar.
"Mereka bilang dengan cara ini para pelanggan Krispy Kreme dapat merasakan the donut's ochestra experience." Begitu kata ibuku yang jika punya waktu luang akan mengajakku berkunjung ke toko-toko kue atau kafe di seantero New York. Bukan saja untuk merasakan kelezatan kue buatan mereka tapi juga mempelajari bagaimana mereka mendesain toko-toko mereka hingga menarik hati dan bagaimana mereka melayani pelanggan.
Ibuku menyebutnya sebagai kunjungan sang mata-mata.
Setiap kali pulang dari melakukan kunjungan sang mata-mata, ibuku akan menuliskan apa yang dia lihat dan dia rasakan di dalam buku catatannya. Buku yang sekarang menjadi warisannya yang paling berharga. Setiap kali aku memegang buku tebal bersampul beludru berwarna lavender itu, aku merasa ibuku tengah berbicara padaku. Tentang cita-citanya. Tentang impiannya.
Ayahku pernah mengatakan dia agak khawatir aku memilih jurusan Baking and Pastry Arts hanya karena aku ingin mewujudkan impian ibuku. Aku berusaha menyakinkan ayahku bahwa itu tidak benar. Aku suka bahkan jatuh cinta pada dunia yang dikenalkan ibuku, mungkin, sejak aku berada di dalam kandungannya.
Tapi sebenarnya ayahku tidak sepenuhnya salah. Aku berusaha keras untuk diterima di Culinary Institute of America karena kuliah di universitas itu adalah impian ibuku. Setelah menikah dengan ayah, melahirkan aku dan mengurusi Cakes in Heaven, ibuku tidak lagi memiliki kesempatan untuk menjadi mahasiswa. Ibuku cukup puas hanya dengan mengikuti short course yang diselenggarakan CIA di waktu-waktu tertentu.

"Selamat pagi, Emma!"
Sebuah sapaan terdengar akrab di telinga gadis itu, membuyarkan lamunannya. Bergegas Emma berdiri dari duduknya, merapikan celemek dan memasang tampang ceria. Peraturan pertama: Tidak boleh lupa memberikan senyum terbaik pada pelanggan yang datang ke toko!
"Selamat pagi juga, Grace."
Perempuan dengan rambut pirang yang terurai menutupi pundaknya itu tampak tersipu. Ia lalu menutup pintu dengan tangan kirinya. Kemudian berjalan dengan anggun menuju muffin-muffin kesukaannya terpajang. Siap untuk dipilih.
"Kau kelihatan lebih segar dengan atasan warna lemon itu, Grace."
"Benarkah?"
"Dan selalu cantik seperti biasanya. Membuatku iri."
Grace tertawa. Selain pandai membuat muffin yang lezat, Emma juga pintar memuji dan tahu benar apa yang membuat pelanggannya senang. Perempuan paruh baya itu selalu harus memastikan penampilannya di depan cermin sebelum pergi ke Cake in Heaven. Semenjak putri semata wayangnya sibuk dengan dunianya sendiri, Grace kadang-kadang merindukan percakapan ibu dan anak. Dan Emma bisa mengobati kerinduan itu.
"Kau yang membuatku iri, Miss Grant. "Tidak ada yang bisa mengalahkan usia muda."
Emma menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dengan wajah serius dia berkata, "mau kuberitahu sesuatu?" Emma berusaha mencondongkan tubuhnya agak ke depan agar jarak mereka semakin dekat meskipun terpisahkan oleh rak display. Melihat tingkahnya, Grace yang berusia nyaris setengah abad itu mengerutkan keningnya. "Tapi, apakah Anda mau berjanji tidak akan marah?"
"Emmanuella Grant sebenarnya apa yang mau kau katakan?" kata Grace dengan ekspresi gelisah.
"Sebenarnya aku bisa melihat kerutan bertambah satu di dekat mata. Tapi kau tahu, keceriaanmu membuat mataku seakan-akan tidak bisa melihatnya. Maukah kau membagi rahasia itu padaku? Mengapa kau selalu bisa terlihat ceria."
Grace tampak berpikir sejenak. Dalam hati merasa senang sebab dia berhasil menyembunyikan luka-luka masa lalu hingga tidak seorang pun akan mengira hidupnya sesungguhnya pun dipenuhi dengan penderitaan. Waktu telah membantunya menjadi Grace yang baru.
"Kurasa... karena aku sering makan berry muffin buatanmu."
Emma memekik. Sedangkan Grace tertawa, merasa senang bisa mempermainkan gadis itu. Padahal ia tahu, bukan kalimat itu yang mau Emma dengar.
"Tentu saja bukan itu, Emma. Tepatnya adalah...," Grace memasang tampang serius. Lalu mengatakan, "kurasa karena aku selalu bersyukur atas apa yang aku miliki. Yah, seperti itu. Aku tidak iri pada kehidupan orang lain, sehingga aku selalu merasa puas atas hidup yang Tuhan berikan padaku."
Emma menelan ludah.
"Kau pasti bisa melakukannya, Emma."
Gadis itu menunduk.
Bersyukur, ya? gumannya dalam hati. Sekilas itu adalah kata yang sederhana tapi jika kau punya banyak keinginan dan menuntut banyak hal dalam hidupmu apa itu bisa membuatmu menjadi orang yang bersyukur?Ah, aku tidak bisa menjawabnya.
"Kau melamunkan apa, Emma?" Grace menyodorkan muffin-muffin pilihannya. Seperti biasa, berry muffin menjadi pilihan faforitnya. Dan seperti biasanya juga, Emma akan menambahkan dua buah muffin sebagai bonus pelanggan pertamanya pagi ini.
"Terima kasih," kata Emma sambil menyodorkan kotak kue dan juga uang kembaliannya, "untuk nasehatnya."
Grace mengedipkan matanya. Lalu melambaikan tangan dan meninggalkan Emma sendirian bersama muffin-muffin dan kue lain buatannya yang menunggu para pelanggan lain untuk membawanya pulang ke rumah-rumah mereka.
Sepeninggal Grace, Emma duduk di kursi belakang meja kasir. Matahari di luar sana bersinar hangat. Musim panas tahun ini adalah musim panas kedua tanpa ibunya. Sejak kepergiannya, tidak ada lagi yang mengajak Emma untuk melakukan kunjungan sang mata-mata. Lagipula kuliahnya di Baking and Pastry Arts di Culinary Institute of America begitu menyita waktu. Di antara setumpuk tugas kuliah, dia juga harus menyelesaikan delapan belas minggu kerja magang baik di Apple Pie Bakery Cafe atau di tempat lainnya.
Karena jadwalnya yang padat itulah, Emma belum bisa sepenuhnya mengurusi Cakes in Heaven sepeninggal ibunya. Tapi ia beruntung sekali sebab ada bibi Jules dan Amy yang tetap setia meski pemilik toko kue itu bukan lagi Emilia Grant.
Ya, sekali lagi aku benar-benar beruntung. Sebab jika mereka tidak ada, aku mungkin tidak bisa mempertahankan Cakes in Heaven ini sebagai milikku.
Sejak ibunya meninggal, mereka -Emma, bibi Jules dan Amy- berbagi tugas. Dari Senin sampai Jum'at, bibi Jules dan Amy yang bertugas untuk membuat kue-kue dan menjaga toko sampai pukul tiga sore. Sedangkan dua hari sisanya, Emma dan Amy-lah yang akan mengambil alih. Pada awalnya Emma belum sepenuhnya merasa yakin untuk mengurusi Cakes in Heaven bersama Amy. Tapi setelah kerja magang selama tiga minggu di New York, Bibi Jules bersikeras agar Emma sepenuhnya mengurusi Cakes in Heaven pada hari Sabtu dan Minggu. Hari dimana ia ingin berkumpul bersama anak dan cucu lelakinya yang bernama Kevin. Bocah menggemaskan berusia empat tahun itu memang pantas untuk mendapatkan waktu dan kasih sayang Bibi Jules.
Emma menghela napas.
Sabtu ini Amy pulang lebih awal dari biasanya. Bahkan ketika muffin-muffin setengah jadi itu masih ada di dalam oven. Amy bergegas sebab ia harus pergi ke New York pukul sepuluh nanti. Besok pagi sepupunya akan menikah.
Setiap kali berjaga di toko sendirian, Emma merasa begitu lelah, kehabisan semangat. Kesendirian ini benar-benar mengganggunya. Tanpa Amy, Cakes in Heaven lebih mirip pemakaman. Sepi. Sabtu dan Minggu sering menjadi hari-hari dimana dia harus berjuang untuk mengeyahkan kesepian dari hatinya. Berusaha untuk tetap ceria di saat dia ingin menangis karena kerinduan pada ibunya yang tak akan pernah berbalas.
Emma sedang memijat tengkuknya yang terasa pegal ketika pintu toko terbuka.
"Kejutan!"
Emma langsung berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka dengan pandangan tidak percaya. Lelaki itu beralasan sangat sibuk selama berminggu-minggu dan hanya memberi kabar sekedarnya.
"Apa toko kue ini menyediakan magical treacle tart selain muffin?" tanya pemuda itu dengan senyum yang membuat Emma semakin tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. "Emma, kau tidak sedang mengira melihat hantu, kan!" katanya melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya setelah Emma diam saja tak merespon kehadirannya.
Gadis itu tersadar, tersenyum malu sambil menyelipkan rambut di belakang telinga. "Aku... hanya tidak menyangka kau akan datang," katanya dengan kegembiraan yang tampak nyata. Dia sepertinya tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagia karena Ethan datang berkunjung setelah sekian lama mereka tidak pernah lagi bertemu.
"Ya... aku hanya kebetulan lewat," kata pemuda itu sambil menarik satu kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Ia tampak lebih berantakan dari biasanya. Lihat saja! Kemeja kotak-kotaknya bahkan tidak tersentuh setrika. Celana jeans yang robek di dengkul, mungkin sudah satu abad tidak dicuci. Ditambah lagi dengan rambut lurus pirangnya yang panjangnya di atas pundak, ia terlihat semakin menyeramkan. Mengingatkan Emma pada Kurt Cobain, vocalist Nirvana idola ibunya.
Tapi harus aku akui, dadaku tetap berdebar sama meriahnya. Dalam bentuk seperti apapun dia hadir di hadapanku.
"Apa kau sangat sibuk belakangan ini?" tanyanya tanpa melepaskan senyumannya yang membuat Emma mendadak gugup. Lagipula dengan sepasang mata birunya yang terus menatap gadis itu, bagaimana bisa tidak membuatnya meleleh dalam sekejap. Emma bahkan nyaris menuangkan semua isi kotak jus apel ke dalam gelas karena konsentrasinya melayang. "Ya, ampun! Apa sih yang kau lakukan!" gumannya berusaha menenangkan diri dan melap genangan jus apel di atas meja.
"Apa kau bilang?" tanya Ethan berusaha mendengar ucapan Emma yang lebih mirip orang berkumur.
"Ah, tidak. Jadwal kuliahku lumayan padat. Kau sendiri?"
"Rocky mengajakku ke beberapa kota untuk menjadi bagian dari pertunjukannya. Bayarannya lumayan," jawabnya lalu mencomot sebuah banana muffin yang diletakkan di depannya. Ia memakannya dengan lahap. Emma suka sekali melihatnya.
"Kata Lilian, kau jarang mampir ke rumahnya. Apa kalian sedang bertengkar?"
Lilian yang Ethan maksudkan adalah adik sepupunya yang sebaya dengan Emma. Mereka bersahabat dan bersekolah di SMU yang sama sebelum memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas yang berbeda.
Dari Lilianlah Emma mengenal Ethan. Selepas SMU, Ethan memilih menjadi seorang gitaris freelance yang benar-benar mengandalkan hidupnya dari bermain gitar. Padahal setahu Emma, ia bisa lebih hebat daripada seorang gitaris yang hanya bermain dalam pertunjukan orang lain. Tapi dia tidak tahu apa yang menyebabkan Ethan tidak ingin melakukan lebih dari apa yang dia lakukan saat ini.
"Emma!" Ethan mendapatinya melamun. "Benar kalian baik-baik saja?"
"Siapa?"
"Kau dan Lilian!"
"Tentu saja kami masih berteman." Emma memutar matanya. "Kau tahu kan, kami tidak pernah bertengkar," seloroh Emma yang sedetik kemudian membuatnya menyesal karena perkataannya itu tidak benar.
Ethan memajukan bibir bawahnya sambil mengangguk-angguk serius. Mimik khasnya ketika menggoda Emma atau siapa saja yang dia inginkan. "Tentu saja. Kecuali... yang satu itu. Iya, kan?"
Wajah Emma sudah berubah menjadi tomat matang sedetik kemudian. Ingatannya terbang mengenang pertengkaran terhebat sepanjang sejarah persahabatannya dengan Lilian. Sebuah pertengkaran yang dipicu oleh rasa cemburu. Emma tidak tahu kalau Lilian jatuh cinta pada Rooney yang malah jatuh cinta padanya.
Hampir tiga minggu lamanya Emma berusaha menjelaskan pada Lilian bahwa dia tidak menyukai anak lelaki dengan bintik-bintik hitam di wajahnya itu. Sampai akhirnya Emma benar-benar kesal dan mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi bersahabat dengan Lilian.
Tapi, Emma menyadari bahwa tanpa Lilian hidupnya sama sekali tidak menyenangkan. Dengan bantuan Ethan, dia mencoba untuk mengajak Lilian berbaikan. Syukurlah! Lilian akhirnya mau kembali berteman dengannya. Itupun dengan sebuah bonus! Emma harus merelakan sebuah rahasia paling rahasia dalam hidupnya terbongkar.
"Jangan ingatkan aku pada kenangan buruk itu!"
"Itu tidak buruk, Emma. Bukankah malah menguatkan persahabatan kalian?"
Sepasang mata hazel itu menatapnya tajam.
"Sesekali sebuah konflik diperlukan dalam sebuah hubungan. Hubungan apapun," katanya dengan mimik sok tahu.
Emma masih juga menatapnya sebal.
Kau tidak tahu, Sir. Karena itu aku tidak punya rahasia lagi! Gumannya dalam hati. "Ya, sepertinya memang begitu," jawabnya malas.
"Treacle tart, apa kau membuatnya hari ini?" Ethan mengubah obrolan mereka. Dia tahu, Emma tidak suka mengungkit hal itu lagi.
Emma menggeleng.
"Kenapa?
Emma sengaja tidak menjawab pertanyaannya. Rasanya tidak mungkin mengatakan alasan yang pasti akan membuat rasa ingin tahu Ethan terus bertambah. Emma menghindari banyak pertanyaan yang akan diajukan pemuda itu.
"Bukankah itu salah satu kue andalan kalian."
"Sekarang tidak lagi," sergah Emma.
Gadis itu menghindari tatapan mata Ethan yang berusaha memancingnya untuk mengatakan alasan mengapa Cakes in Heaven tidak lagi menyediakan treacle tart, makanan pencuci mulut khas Inggris yang juga disukai oleh Harry Potter. Kue yang selalu membuat Ethan berkata, "this is the most powerful love potion in the world." Dengan aksen Inggrisnya yang nyaris pudar, ia bisa membuat Emma tersihir dan berjanji bahwa seumur hidupnya, dia akan membuat treacle tart terlezat untuk Ethan.
"Hei, aku hanya tidak bertemu denganmu selama...," Ethan menghitung dengan jarinya. "Hampir dua bulan dan kau begitu banyak berubah. Katakan padaku, Emma, apa yang sedang kau sembunyikan?"
Emma menghela napas.
"Tidak ada apa-apa, Ethan. Percayalah."
Gelengannya membuat Emma semakin serba salah.
"Emma..."
Gadis itu bernapas lega ketika seorang pelanggan membuka pintu toko dan memenggal percakapan mereka. Emma bergegas menghampiri wanita muda itu dan melayaninya dengan penuh senyuman. Emma sepertinya mencoba untuk melupakan pembicaraannya dengan Ethan beberapa saat yang lalu. Mungkin belum saatnya untuk membagi apapun padanya.
Emma hanya merasa takut, dia akan membutuhkan dukungannya lebih dari apa yang ia pikirkan.
"Apa kau punya acara minggu depan?"
Ethan menaikkan alisnya.
Emma sengaja membuka percakapan dengan tema lain begitu pelanggannya meninggalkan tempat itu.
"Kau ingin pergi ke suatu tempat?"
"Daphne akan pindah ke Hudson dan tinggal bersama kami. Aku berencana untuk menjemputnya."
"Dia akan tinggal di sini?"
Emma tiba-tiba merasa tidak suka dengan binar di sepasang mata biru milik Ethan. Ya, aku hampir saja lupa kalau Ethan adalah salah satu pengagum sang balerina.
Emma mengangguk pelan.
"Minggu depan aku bebas. Kau boleh menggunakanku untuk apa saja."
Mendengar celotehnya, Emma langsung tertawa.
"Baiklah. Aku akan menggunakanmu sebagai supirku. Kau tidak keberatan, kan?"
"Demi bertemu Daphne, aku tidak keberatan," katanya mengerling senang.
Emma memutar bola mata, kesal.
Ethan tertawa.
"Baiklah, Emma... kita bertemu lagi minggu depan. Aku harus pergi," katanya sambil bangkit dari kursi.
Ethan masih ada di hadapannya tapi rasa sepi itu kembali membuatnya merasa sangat kosong. Emma berharap Ethan tetap tinggal menemaninya menjaga toko kue ini sampai pukul tiga sore nanti. Tapi Emma tahu, itu tidak mungkin terjadi setelah ia pamit beberapa detik yang lalu.
"Sampaikan salamku pada nenekmu. Katakan aku merindukannya," kata Ethan sambil mengedipkan matanya. "Dan satu lagi... aku memerlukan restunya untuk menikahi cucu tersayangnya."
Hah!
Emma nyaris kehabisan napas.
Apa katanya? Menikahi cucu tersayang? Daphne? Emma membeku di tempatnya berdiri. Sama sekali tidak menyangka kalau kadar kagum yang Ethan miliki telah berubah menjadi rasa cinta. Arrrggggh! Aku tidak rela. Sama sekali tidak rela. Sepertinya mengajak Ethan ke New York City minggu depan adalah rencana paling tolol yang pernah aku buat.
"Jangan mimpi Daphne akan melirik bocah sepertimu!"
Dia terkekeh.
"Bocah katamu? Umurku sudah dua puluh tahun, tau!"
"Ya, tetap saja kau adalah seorang bocah di matanya."
"Sok tahu!"
Emma memeletkan lidah.
"Kalau kau cemburu, bilang saja...," kata Ethan mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. Membuatnya gelagapan dan mundur dua langkah. Emma sepertinya tak bisa menahan debar jantungnya ketika hembusan napas pemuda itu menyapu wajahnya. Sial! Wajahku pasti memerah dengan sempurna.
Ethan tertawa senang.

***

Sore harinya Emma tiba di rumah dengan semangat yang melorot hingga ke pergelangan kaki. "Aku pulang," katanya begitu melihat Granny sedang duduk di sofa sambil membaca buku yang lumayan tebal. Entah apa judulnya. Dia tidak bisa melihatnya karena tertutup tangan Granny.
"Bagaimana penjualan hari ini?" tanya Granny menyambutnya dengan riang. Ia memperbaiki letak kacamata bacanya yang melorot. Lalu meminta Emma duduk di sampingnya.
"Seperti biasa. Lumayan."
"Apa ada muffin yang tersisa untukku?"
Tanpa bersuara Emma menunjuk ke arah kantong kertas yang diletakkan di atas rak. Emma menyandarkan tubuhnya di sofa. Mencoba untuk mengembalikan tenaganya yang berkuras seharian ini.
"Istirahatlah, Emma."
"Kurasa aku memang membutuhkannya, Granny."
"Kau baik-baik saja?"
Emma menghela napas.
Pertanyaan itu membuat Emma mulai percaya kalau di wajahnya ini tertulis kalimat: aku sedang ada masalah. Setelah Grace dan Etham, Granny adalah orang ketiga yang bisa membaca bahwa dia tidak seperti biasanya.
"Aku baik-baik saja, Granny. Jangan khawatir."
Granny tersenyum.
"Ayahmu masih sering meneleponmu?"
Emma membeku tepat ketika kakinya hendak melangkah di tangga pertama. Tangannya terkepal kuat. Dia berusaha keras untuk mengatakan sesuatu tetapi otak dan lidahnya terasa beku.
Sedetik...
Dua detik...
Tiga detik...
Emma tahu Granny membutuhkan jawabannya.
"Ya, masih." Akhirnya Emma memilih untuk berbohong. "Apa Granny ingin aku menyampaikan sesuatu padanya?"
Granny menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting, Emma. Sampaikan saja salamku padanya."
Emma mengangguk lalu bergegas berlalu dari hadapan Granny. Dia tidak mau Granny melihat matanya yang menghangat lalu mengalirkan cairan bening yang sejak pagi tadi berusaha untuk dia tahan.
Ya, sekarang, bendungan pertahananku jebol. Aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa aku tidak punya masalah.
Emma bergegas naik ke atas dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

***

Stolen HonorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang