Ruang Khusus

44 2 0
                                    

Siang itu terik matahari sangat menyengat tubuh. Semua orang menyerbu satu-satunya kedai minuman dingin di jalanan siang itu. Bahkan manusia-manusia berjas dan berdasi tak luput dari keramaian tersebut. Mau bagaimana lagi, itulah kota metropolitan. Di jalanan kota besar itu, kau tidak akan pernah bisa menemukan mana yang memiliki niat buruk. Kalau pun bisa, itu pasti akan sangat sulit. Semua terlihat hampir sama.

“Mas, duluin punyaku lah. Udah mau meeting lagi ini.” Teriak salah seorang di antara kerumunan itu.

Dari samping wanita itu tampak ada yang memasang raut wajah tak terima, “Ih, sabar mbak, sini juga antri. Jangan seenaknya dong!”

Tanpa mereka semua sadari, ada seorang anak kecil, ya anak kecil. Sudah kubilang kan kalau semuanya akan terlihat hampir sama jika kau terjun di jalanan kota metropolitan.
Anak itu sedang memerhatikan mereka mengawasi gerak-gerik mereka. Memantau sekeliling, layaknya seekor singa yang sedang mengawasi mangsanya. Memastikan si mangsa tak akan lepas kali ini. Celingak-celinguk, mengendap-endap, perlahan mendekat. Ia yakin hari ini akan dirasakannya makan enak untuk nanti malam. Dan….

SYUTT!!

Gerakannya nyaris tak terbaca. Namun sayangnya, keberuntangan tak sedang memihak bocah kecil itu. Seorang bapak-bapak menyadari gerakannya yang seharusnya sangat sulit untuk disadari.

“Woii, copettttt!!!” Seru bapak tadi sambil menunjuk-nunjuk ke arah si bocah tadi.

“Eh, iya. Tasku itu.” Ujar salah satu wanita yang tadi bertengkar dengan wajah sedikit cengo.

Tanpa diberi komando, serentak kerumunan orang tadi berlari mengejar si bocah. Tentunya, untuk ukuran bocah belasan tahun dengan tubuh kerempeng dan skill mencuri yang sudah cukup lihai, si bocah pasti dapat berlari kencang untuk menghindari gebukan massa. Juga pastinya demi keselamatan dirinya sendiri.

Si bocah sudah hafal betul dengan jalan tikus yang tersembunyi di balik jalanan megah ini. Meliuk ke sana dan ke sini. Mencoba menghilangkan jejak dari para massa yang semakin lama semakin geram. Mulai dirasakannya keringat dingin keluar dari tangannya, jantungnya mulai berdegup kencang. Ia mulai kelelahan.

“Di depan ada gang kecil ke kiri, banyak sawah di sana, lumayan buat sementara waktu. Oke sip.” Bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia mulai mengambil arah jalan itu. Namun, tak jauh setelah dia berbelok, ada seseorang yang menarik bajunya dari balik salah satu sawah.

GUBRAK!

Ia terlempar ke dalam sebuah sawah tebu. Pohon-pohon tebu yang saat itu siap panen, sekarang telah rusak karenanya. Dan tas yang tadi sangat digenggamnya erat, kini terlepas ke jalan.

“Ke mana tadi itu bocah sialan?” Si wanita pemilik tas tadi memungut tasnya yang tergeletak di jalan.

“Ada yang diambil gak?” Tanya si bapak dengan nafas yang masih terengah-engah.

“Untungnya nggak ada. Udah yuk pulang.” Jawab si wanita dengan wajah yang masih nampak kesal.

Bocah tadi duduk termenung meratapi hasil usahanya yang gagal. Mengingat semua yang diharapkannya hilang seketika karena seseorang yang menariknya tadi.

“Ish! Siapa sih tadi main narik orang aja, sini!” Ia menggeram sambil keluar dari sawah yang mulai membuatnya merasa gatal.

“Jaga suaramu, Eric! Mereka masih di dekat sini.” Si pelaku keluar dari dalam sawah dengan jari telunjuk kanannya diletakkan di depan mulut, tanda menyuruh diam.

“Lah, Nilam?!”

“Sudah kubilang jaga suaramu Eric!”

“Kenapa? Kenapa kau ikut campur lagi? Bukannya kamu nggak suka dengan orang yang mencuri, kan? Seharusnya kau membiarkanku digebukin di tengah jalan. Biar sekalian aku mati di sini terus jadi arwah gentayangan yang jagain tebu aja!” Teriak Eric dengan nada bicara yang meninggi.

Ruang Khusus [One Shoot] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang