"Berapa lama?" kini Tosca memberanikan diri menatap Navy.
"Tidak akan lebih dari seminggu," Navy mengusap puncak kepala Tosca. "Kamu mau oleh-oleh apa?"
Tosca menggeleng, lalu menarik napas pelan. "Memangnya di gunung ada oleh-oleh apa?"
"Banyak dong!" Navy merentangkan tangannya.
"Saya hanya ingin kamu kembali cepat dan selamat, itu saja."
Tak disangka, jantung Navy berdebar mendengarnya.
"Satu lagi, Nav."
"Apa?"
Tosca mengeluarkan sebuah toples kaca kecil berisi kupu-kupu mainan yang lucu. "Ingat ya, teori kepakan sayap kupu-kupu."
Navy membawa toples itu dengan mata berbinar, "Maksudnya?"
"Perubahan sekecil apapun akan berdampak besar nantinya. Saya harap kamu akan mengerti. Dan jangan pernah berubah, kecuali berubah untuk kebaikan."
Navy mengangguk mantap, "Tapi kenapa harus kupu-kupu?"
"Karena satu kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian."
"Kalau gitu, terimakasih kupu-kupu."
Kini raut wajah Tosca yang bingung.
"Iya, mulai sekarang kamu aku panggil kupu-kupu. Karena, yang dapat aku simpulkan yaitu kupu-kupu itu adalah hewan mungil yang hebat. Sama kaya kamu. Manusia mungil yang hebat."
Bibir Tosca berubah membentuk bulan sabit terbalik. Tetapi pipinya memerah seperti tomat masak. Lucu! "Emang tubuh saya semungil itu?" Tosca memalingkan wajahnya.
"Sengaja aku kasih tau biar gak kepedean!" Navy tertawa.
"Kita liat nanti! Kamu pulang saya gendut!"
"Siapa takut?"
Tosca semakin mengerucutkan bibirnya. "Tapi nih ya, kamu licik. Masa kamu panggil saya kupu-kupu."
"Itukan panggilan spesial. Masa gak peka sih."
"Bukan itu maksudnya. Saya bingung harus manggil kamu apa."
"Apa aja. Yang biasa sama kupu-kupu apa?"
"Ah! Ulat!"
Mata Navy membelalak, "Berarti aku gatel dong."
"Iih apa dong!"
"Kum..."
"Kumbang?"
Navy tersenyum.
"Aaaa! Kumbang!" dengan gerakan tanpa sadar, Tosca memeluk Navy. "Iya! Kupu-kupu sama kumbangkan emang sering bersama!"
Perlahan, Navy membalas pelukan itu dengan tubuh yang bergetar karena kaget. "Loh loh loh. Biasanya aku peluk gak mau, sekarang kok malah kamu yang meluk?"
Dalam satu hentakan Tosca melepas paksa pelukan itu. "Saya baru sadar saking senengnya! Tuhkan saya jadi malu," Tosca tertunduk. "Minta maaf gak?"
Navy tertawa,"Kenapa jadi aku yang minta maaf?"
"Peka dong! Saya,kan perempuan, jadi saya gengsi mau minta maaf duluan."
Kali ini Navy sudah tidak tahan melihat tingkah Tosca yang begitu polos. Dia lantas memeluk Tosca erat, seakan tak mau melepaskannya lagi. "Aku sayang kamu, kupu-kupu. Jaga diri baik-baik ya selama aku muncak."
*
Tosca masih setia terjaga di kursi dekat pintu. Padahal jam dinding sudah menunjukan tengah malam. Jika dihitung-hitung, sudah puluhan kali dirinya menguap sampai menitikkan air mata. Ingin rasanya berteriak, atau memecahkan segala perlatan dari kaca yang ada di sini. Tapi Tosca tidak bisa. Prinsip utamanya yaitu sabar. Karena sabar adalah kunci bahagia.
Pintu terbuka memperlihatkan perempuan berambut pirang karena cat rambut dengan tubuh yang hanya dibalut dress mini bermotif, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah.
"Ke tempat itu lagi?"
Suara Tosca sukses membuat Jingga kaget.
"Saya lelah,kak." Tosca bangkit. "Tubuh kakak indah. Wajah kakak cantik. Tapi, hati kakak tidak."
Jingga diam tidak berkutik.
"Kebanyakan orang melakukan apa yang kakak lakukan karena faktor ekonomi, tapi kakak bukan karena itu. Melainkan ketergantungan yang sekarang menjadi seolah kewajiban."
"Kamu pikir kakak gak cape, hah?"
"Kalau cape, kenapa gak berhenti?"
"Kamu pikir kakak bisa? Kakak mau makan apa?"
"Mama sama Papa masih sanggup cari uang kak!"
Jingga tersenyum kecut. "Mereka Cuma sayang sama kamu, tapi enggak sama kakak. Anak mereka yang dianggap Cuma kamu, bukan kakak." Jingga berlari secepat kilat menuju kamarnya.
"Maksud kakak apa?"
Tak ada jawaban lagi selain bantingan pintu kamar.
*
Holla! Ikutin terus kisah mereka ya. dijamin kalo gak baca basi nyesel! wkwk. tapi asli loh pasti nyesel.
jangan lupa Voment ya guys!
Luvluv kalian!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Butterfly
Teen FictionPemerkosaan itu benar-benar terjadi. Semuanya begitu gelap tak terlihat. Tapi Tosca yakin apa yang terjadi. Tubuhnya beberapa kali mengejang mencoba berontak. Tapi para bajingan itu lebih kuat dari tubuh mungil milik Tosca. Semua gara-gara Jingga...