"Hinata, kau belum siap?"
"Aku tidak ingin melihatnya. Aku membencinya," jawab Hinata dengan ketusnya.
"Hinata, cobalah mengerti. Dia melakukan ini karena persahabatannya." Toneri menepikan mobilnya, bersiap mendengar curahan Hinata setelah bertemu Naruto.
"Tidak. Aku tidak percaya. Dia pasti masih cinta pada Haruno itu." Hinata menggelengkan kepala. Membantah argumen Toneri.
"Hinata, aku mencintaimu. Aku tidak ingin kau menghindar dari kebahagiaanmu." Toneri adalah orang yang suka bersaing secara sehat. Kalau saingannya sudah lebih dulu mundur, dia tidak akan mengambil kesempatan.
"Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi. Aku ingin belajar mencintaimu. Kau sudah menyelamatkan hidupku." Air mata Hinata berlomba untuk jatuh. Isakan pun mulai keluar.
"Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena hutang budi." Mereka terbawa suasana mengingat kecelakaan lima tahun yang lalu.
Brak
"Tolong panggil ambulan. Temanku tertabrak." Hinata menepuk pipi Toneri berulang kali. Berusaha mempertahankan kesadarannya.
Toneri mengalami luka yang cukup serius. Dia bahkan sempat mengalami kritis beberapa hari. Namun, Tuhan masih berbaik hati. Toneri diberikan kesempatan untuk melihat dunia.
Hinata sangat terpuruk saat itu. Dia diselamatkan oleh temannya. Tentu rasa bersalah masih menyelimuti. Kekasihnya yang tiba-tiba pergi. Belum sempat dia mengucap perpisahan.
Toneri datang memberi uluran tangan untuk tetap bersemangat. Dia sengaja melupakan kecelakaan itu agar Hinata tak berlarut dalam rasa bersalah.
Toneri mencari info mendukung kenapa sang kekasih dari Hyuuga Hinata ini pergi. Ternyata, Naruto pergi bersama Sakura. Dia tahu itu dari Shion, adik Naruto. Yang jelas memata-matai gelagat kakaknya.
Hinata sungguh terkejut mengetahui kalau kekasihnya pergi bersama Sakura. Dia berpikir; Naruto dan Sakura bersama karena adanya hubungan. Toneri membantah itu. Menjelaskan pada Hinata hubungan mereka tak seperti apa yang Hinata bayangkan. Dia tahu kalau Naruto terpaksa bertanggung jawab pada bayi yang dikandung Sakura.
"Aku ingin belajar mencintaimu," bentak Hinata pada Toneri.
"Keinginanku hanya satu; kau yang kucintai bahagia. Itu terlampau cukup untukku yang mencintaimu dari jauh." Toneri terlihat lemah sekarang. Dia menangis di hadapan Hinata.
"Kubilang, aku akan belajar mencintaimu. Tidak hanya ingin, tapi akan kulakukan."
"Cukup, Hinata! Cukup. Kau tidak akan menemukan kebahagiaan apabila bersamaku."
"Toneri, aku tidak bisa meninggalkan Mitsuki. Dia anakku. Aku pun tak ingin bersama laki-laki itu. Dia pembohong. Berkata akan selalu bersamaku dan mencintaiku, kata-kata busuknya sungguh memekakkan telinga."
"Hinata, kita pulang saja. Kau sangat kacau." Mereka memutuskan pulang sebelum keadaan semakin memanas. Perdebatan tentang perasaan yang tak pasti; tak berujung.
.
Naruto meminta sebuah pisau dari pelayan. Dengan sigap, pelayan memberikannya pada Naruto.
"Naruto, kumohon jangan membunuhku. Aku belum melihat anakku secara langsung." Keringat dingin mengucur di pelipis Sasuke. Naruto yang sedang marah cukup menyeramkan.
"Siapa juga yang akan membunuhmu? Membuang tenaga saja. Aku hanya ingin mengupas apel ini. Pelayan itu aneh, aku tidak suka apel yang masih ada kulitnya. Apa dia tidak tahu?" Naruto menggerutu seraya mengupas apel yang disajikan di meja.
"Kukira kau akan membunuhku." Sasuke menghela napas lega.
"Aku tidak ingin masuk penjara." Naruto mengacungkan pisau tepat di depan hidung Sasuke.
"Santai." Sasuke menurunkan pisau itu.
"Kau harus tanggung jawab. Kembalikan Hinata padaku. Atau aku akan benar-benar membunuhmu. Hm ...." Naruto berkata secara tidak jelas karena apel di mulutnya.
"Apa yang kau katakan?"
Naruto menelan apelnya yang tak berbentuk. "Hinata harus menjadi milikku, apa pun caranya. Dan kau, Uchiha gila, kau harus mencari cara agar dia kembali ke pelukanku."
"Pertemukan aku pada anakku terlebih dulu," pinta Sasuke. Wajahnya menampilkan ekspresi aneh; bahagia dan sesal.
"Baiklah."
Naruto dan Sasuke segera meluncur ke kediaman Namikaze. Jerit bahagia dari Sarada begitu kentara sesampainya mereka di sana. Terlihatlah Sarada yang bermain bersama musang peliharaan Minato, Kurama.
"Apa kau anakku?" tanya Sasuke. Mengejutkan bagi Sarada karena orang asing mendadak bertanya.
"Papa, paman ini tidak waras. Sarada anak dari Papa, bukan paman ini." Sarada bergidik ngeri, lalu menyembunyikan badannya di balik kaki Naruto.
"Sasuke, kau membuatnya takut. Bertanyalah dengan perlahan, jangan tergesa." Naruto mendorong Sasuke duduk di bangku taman.
"A ... p ... a," eja Sasuke perlahan.
"Dasar Uchiha ini, otakmu sudah tidak di tempat yang seharusnya. Maksudku dengan halus, bertanyalah secara perlahan tidak berarti dieja." Naruto memberi satu tamparan di kepala Sasuke.
"Apa kau anakku?" bisik Sasuke pada Sarada.
"Haruskah kubawa dirimu ke rumah sakit jiwa?" Naruto menggendong Sarada menjauh dari Sasuke. Lalu dia berkata pada Sarada, "Papa akan melindungimu dari orang gila."
"Apa kau anakku?" Sasuke mulai serius, acuh pada Naruto yang terus mengoceh.
"Bukan. Aku anak dari Namikaze Naruto." Sarada memeluk Naruto. Dia menangis karena takut pada ayah biologisnya sendiri.
"Sasuke, lebih baik kau datang ke sini lagi besok. Aku sampai lupa, berikan alamat Toneri itu. Carilah alamat itu, kemudian kau kirimkan padaku." Naruto mengusir Sasuke. Menendang punggung tegap Sasuke.
.
Naruto membaringkan Sarada yang tertidur karena terlalu lelah menangis. Dia mendapat kiriman alamat dari Sasuke. Kerja bagus, pikirnya.
Tanpa babibu, Naruto menuju kediaman Otsutsuki. Yang nyatanya, masih sama dengan alamat terdahulu.
Setibanya di sana, Naruto mengetuk pintu bersama kesopanannya. Sebenarnya dia sudah tak sabar menculik Hinata, tapi dia ingat posisinya saat ini.
Pintu terbuka, menampilkan sosok cantik berkantung mata. Siapa lagi kalau bukan Hinata?
"Hinata."
"Kenapa Anda ke mari?"
.
Tbc.
Nb : Apa kesan kalian saat membaca chapter ini? Garing? Jangan lupa baca Strange, kawan-kawan. Salamku untukmu, Sayang, Reader.
Scat © -05/26/2017-
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Scat
FanfictionSequel 'Shitteru' Naruto pulang ke Jepang. Dia telah menyelesaikan kuliahnya. Berniat mencari kekasih hatinya yang bahkan tak pernah memberi kabar selama ini. Di mana dia? Di mana Hime-ku? Apa dia sudah menyerah untuk menungguku? Aku mencintaimu. A...