Inilah diriku sekarang. Seorang wanita karier yang menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja. Namun takku sadari akibat dari profesiku ini. Sebenarnya aku tak bekerja seharian penuh, hanya dari pukul delapan pagi hingga pukul tiga siang. Namun apa daya hati ini tak kuasa antara suami dan pekerjaan.
“ Makanlah mas, aku sudah menyiapkannya dari tadi pagi”, tegurku pada mas Ikhwan, suamiku. Aku terus memandangnya berharap masakan yang ku buat dimakan dengan lahap. Detik berganti menit namun makanan yang telah ku hidangkan tak digubrisnya.
Segelas susu segar diteguknya dengan cepat. “Mas mau kemana? Kenapa tidak sarapan?”, aku mulai gusar saat mas Ikhwan mendorong kursinya ke belakang dan bersiap meninggalkanku. “Anak didikku perlu ku beri sarapan pelajaran”, jawabnya ketus tanpa memandangku. Aku hanya bisa bernapas berat dan tak bisa mencegahnya pergi.
Aku bergegas membereskan sisa-sisa makanan dan merapikan alat-alat dapur. Jarum pendek menunjuk diantara angka tujuh dan delapan. Aku cepat-cepat takut telat masuk kantor.
Sebenarnya suamiku atau aku yang berubah. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk suamiku. Karena dia ada diurutan ketiga yang wajib aku cintai dan kuhormati setelah Rabb dan Rasul-Nya. Tapi sepertinya suami ku semakin hari semakin berbeda sikap dengan pertama kali kami bertemu. Pertemuan antara kami memang tak seromantis kisah-kisah di novel namun insyaallah pertemuan kami penuh berkah.
* * *
“Dinda cobalah dulu bertemu dengan pemuda itu, jika tidak cocok ya tidak apa-apa”, tangan halus Umi mengelus-elus kepalaku. Namun aku tak bergeming dan tetap dalam posisiku, tengkurap dan mendekap bantal. Aku jengkel dengan niatan Abi dan Umi menjodohkanku. Aku masih kuliah dan aku ingin menjadi wanita karier.
“Dinda tak harus menikah sekarang, terserah kapan Dinda mau menikah. Abi dan Umi hanya ingin mengenalkan pada pemuda yang insyaallah soleh, kalaupun Dinda tidak suka ya tidak apa-apa, Sayang”.
“Dinda ingat riwayat Al-Bukhkari “Wanita itu dinikahi karena empat hal : Karena hartanya, karena garis keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang baik agamanya maka engkau akan selamat” begitulah Sayang”.
Senyuman kecil yang selalu Umi perlihatkan. Aku mulai berpikir rencana apa yang kedua orang tua ku akan lakukan. Akhirnya aku menyetujui pertemuan itu.
* * *
Udara kampus sangat segar memang tak seperti biasa namun pikiran dalam otakku terus berkecamuk dan pikiranku pun tidak tenang. Aku memutuskan untuk mengikuti motivasi training barang dua jam sebelum pulang. Terlambat dalam pertemuan itu tak masalah, pikirku.
“Suhanaallah ya Ukhti Dinda, mentoringnya keren abis”, bisik teman disebelahku. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Memang mentoring kali ini lain, beliau hampir menyelesaikan skripsi namun kata-kata motivasinya seperti seorang yang bergelar master atau lebih tepatnya ustadz. “Kang Ikhwan itu bukan hanya pandai tapi tampangnya juga oke, wah laki-laki idaman ni”, celoteh temanku lagi. Dia memang tidak bisa berhenti bicara jika masalah laki-laki.
Segera aku bergegas pulang takut Abi dan Umi marah karena aku terlambat pulang. “Umi pemuda itu gak jadi datang ya?”, aku celingukan mencari tamu yang takku harap kedatangannya.
Umiku hanya geleng-geleng kepala dan aku pun semakin binggung. “Sejak kapan Dinda masuk rumah gak salam?”, aku langsung melotot, menyadari akan kesalahanku. “Mungkin dia akan datang telat”.