That Man

825 22 0
                                    

Mataku menyipit refleks. Ketika cahaya matahari itu menyinari tepat di wajahku. Melewati kaca jendela kamarku yang bening.

Tunggu. Gorden warna biru langit kesukaanku sudah terbuka lebar.

"NEYSA BANGUN!" Teriakkan ibuku begitu memekakkan telinga. Ya Tuhan, memangnya jam berapa sih?

"Iya, Bu." jawabku sembari melirik malas ke arah jam dindingku.

08.00

"AAA!" Tanganku segera menyingkap selimut tebal yang meliliti tubuh mungilku.

"Aku terlambat! Aku terlambat! Aku terlambaaaaat!" Gumamku gelisah dengan kalimat yang sama sembari mengambil baju dan handuk, lalu menuju kamar mandi yang terletak satu ruangan dengan kamarku.

***

TOK TAK TOK TAK

Suara gemuruh kaki yang berlari terdengar begitu keras saat menginjak anak tangga demi anak tangga rumah berlantai dua itu.

"Aku pergi, Ibu ...." Neysa segera menghampiri ibunya yang sedang mencuci piring.

"Sarapan dulu, Sa." Ibunya memperingati anak gadisnya itu.

"Nanti Neysa beli di jalan saja ya, Bu," serunya sembari mencium tangan kanan ibunya.

"Hah, anak itu ...," gumam sang ibu yang terdengar oleh Neysa. Gadis itu tersenyum kecil.

"Aku sayang ibu!" teriaknya, lalu menutup pintunya pelan.

Neysa membuka pagar rumah lalu berlari menuju terminal bis tak jauh dari rumahnya. Fokusnya terbagi dua ketika dia berniat untuk mendengarkan lagu seperti biasanya. Kedua tangannya sibuk membuka sleting tas selempangnya, kemudian mencari headset putihnya. Setelah dapat, ia keluarkan ponselnya dari saku celananya. Sambil tetap berlari, gadis itu menyambungkan headset ke ponselnya, lalu memakai di kedua telinganya.

Gadis itu duduk menunggu bis berikutnya datang. Senyumnya berseri-seri. Akhirnya mereka akan bertemu lagi.

Bis berwarna biru datang tepat di hadapannya. Neysa segera memasuki bis, tak lupa ia tebarkan senyum lebarnya ke arah supir bis. Bukan maksud menggoda, ia hanya ingin berbagi kebahagiaan saja. Berhubung hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu olehnya.

Neysa mengambil tempat duduk di kursi paling belakang dan paling ujung. Tempat kesukaannya. Semenjak ia bertemu dengan dia.

Pikirannya terbang ke masa lalu. Ingatan tentang kenangan-kenangan yang pernah ia lalui dengan pria itu. Semuanya begitu menyenangkan. Dia, tak pernah membuat Neysa menangis. Tidak ada kesempatan untuk bersedih. Yang ia tahu, hanya bahagia. Percayalah, ia pria hebat.

***

Tak lama kemudian, ia sampai di halte tujuannya. Ia berjalan menuju pintu bus sambil melepas headset yang terpasang di kedua telinganya sejak tadi. Setelah itu, ia mengecek ponselnya sembari mematikan musik. Neysa kebingungan. Kenapa 'dia' tidak menghubunginya?

Neysa duduk di halte. Ia menunggu kabar'nya'. Karena tak kunjung dikabari, Neysa meneleponnya terlebih dahulu.

"Halo?" ucap pria itu di seberang sana.

"Aku sudah sampai," ucap Neysa dengan nada yang sedikit kesal.

"Aku juga," balas pria itu datar.

Neysa merasa heran dengan nada'nya'. Tidak, ia tidak mau berpikiran yang negatif.

"Baiklah, aku ke sana."

"Hm ..." Dan pria itu menutup teleponnya.

Mood-nya turun seketika. Neysa jadi tidak begitu bersemangat menemui dia. Apakah ia pulang saja? Rasanya ia tidak mau bertemu dengan'nya' dalam keadaan seperti ini. Perasaannya tidak enak dan itu membuat mood-nya hancur.

Tidak biasanya, batinnya.

Neysa bangun dari duduknya. Baiklah, ayo kita hadapi apapun yang terjadi nanti.

***

Butuh waktu 5 menit dari halte menuju taman tempat Neysa dan pria itu bertemu.

Neysa berjalan pelan sembari mencari-cari keberadaan'nya'. Dan tak lama kemudian dia menemukan sosok itu. Pria yang dirindukannya.

Ia menghampiri kursi taman yang tak jauh darinya sesegera mungkin. Neysa seakan lupa dengan perasaan tak enaknya barusan.

"Hei ..," sapanya dengan senyum yang hangat sesaat setelah dirinya berhadapan dengan pria-nya.

Pria itu mendongakkan kepalanya sedikit. Ia menatap Neysa yang tersenyum lebar begitu tulus. Dan ia ikut membalas senyuman gadisnya.

"Kemarilah ..." Pria itu bergeser untuk memberi ruang duduk pada Neysa. Kemudian gadis itu menurutinya dan dudk di sebelahnya.

"Apa kabar?" tanya pria itu memulai perbincangan.

"Merindukanmu. As always." Neysa menatapnya tanpa melepas senyum di bibirnya.

Pria itu tak berani menatap Neysa lebih lama lagi. Ada jeda di antara mereka. Sepi melanda tanpa tau mengapa. Neysa ingin menambah topik, tapi ia tidak percaya diri dengan keadaan sekarang. Karena pria itu berbeda dari biasanya. Ia tau, ada sesuatu yang mengganggu pria-nya.

Neysa tidak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan di otaknya. Akhirnya ia menyuarakannya, "Ada apa?"

Tepat setelah gadis itu berbicara, pria di sampingnya berdiri tegak dan membuat Neysa mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Maafkan aku, Ney. Aku tidak bisa lanjut." Pria itu menatap pandangan di depannya tanpa menoleh sedikitpun.

Seketika, kedua matanya berkaca-kaca membuyarkan pandangannya diikuti senyum yang pudar dari bibirnya. Neysa menahan tangisnya. Hatinya terasa dicabik-cabik. It's too hurt to hear that. Neysa tidak bodoh, ia tentu tahu maksud perkataan'nya'. Tidak bisa lanjut berarti putus. Pria-nya sudah lelah. Tidak, pria itu sudah bukan miliknya lagi.

Bulir-bulir air mata itu turun tanpa bisa ditahan. Neysa mengumpulkan suaranya, "Baiklah". Kemudian dia berlari meninggalkan taman tersebut.

Neysa tidak perlu meminta penjelasan atau mendengar alasan pria itu. Ia tidak ingin menambah sakitnya. Cukup dengan satu kata itu saja sudah berat baginya untuk bersuara. Ia salah. Pria itu bukan pria hebat. Nyatanya, pria itu membuatnya menangis sekarang.

***

TAMAT

ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang