Chapter 2 : I will always find you

47 6 11
                                    

"Iris, hati-hati ya kamu pulangnya. Hujannya deras, nih."

"Iya, Tasha, aku tahu. Sudah sana, kamu ditungguin sama kakakmu, tuh."

Memang sudah biasanya saat hujan pasti Tasha akan di jemput oleh kakaknya. Dan juga seperti biasanya, Iris berusaha menyakinkan kawannya itu bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Kalau ditanya, kenapa Iris tidak bersama saja dengan Tasha pulangnya? Ingin Iris juga demikian, tapi sayangnya arah rumah mereka berdua bertolak belakang.

Bagi Iris, memang hanya Tasha seoranglah yang cukup mengerti tentang dirinya, meskipun belum keseluruhannya. Tapi begitu saja sudah cukup mengisi bagian kosong di dalam dirinya.

Keduanya berpisah di depan pintu utama sekolah, lalu sekarang saatnya Iris harus bersiap untuk berperang.

Padahal prakiraan cuaca mengatakan hari ini tidak turun hujan, beda seperti tiga hari yang lalu, tapi sayangnya Iris harus berhadapan lagi dengan hal yang tidak ia sukai. Hujan.

Tapi tenang saja, alat tempurnya selalu siap setiap saat, malah lebih lengkap lagi hari ini. Payung lipat dan juga jas hujan yang warnanya senada, kuning. Warna favoritnya.

Sudah belajar dari pengalaman semenjak tiga hari yang lalu. Mau itu saat berangkat atau pulang sekolah, Iris akan siap sedia.

Kalau mau berlaku manja ingin di jemput juga, dengan siapa pula?

***

Iris sudah di perjalanan pulang. Selang tiga puluh menit kedua tungkainya melangkah dengan pelan agar tak membuat sepatunya semakin basah, akhirnya Iris ingat akan sesuatu yang kurang dari segalanya—sepatu bot.

Ah, pantas saja.

Padahal segala persiapannya sudah sempurna. Dari payung hingga jas hujan yang sudah Iris uji coba sebelumnya dirumah, jas ini hebat mampu melindunginya dari terpaan air hujan yang kencang sekalipun.

Ya, anggap saja guyuran shower yang kencang itu sebelas dua belas kencangnya dengan yang aslinya.



JLEB!

Ah, sial. Baru saja ia batin.

Iris tidak menyangka bahwa genangan air yang dipijak kaki kirinya itu barusan ternyata adalah sebuah jalanan yang berlubang. Ada tanahnya juga, jadinya seperti lumpur.

Tidak dalam, tapi lumayan merendam sampai atas mata kaki yang sudah pasti mengakibatkan sepatu dan kaos kakinya basah. Kaki juga mempunyai mempunyai mata, namun sayangnya bukan untuk melihat.

Instant bad mood, bahasanya Iris. Memang seharusnya dalam keadaan hujan itu lebih baik selalu memasang fokus agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Jangan mengulang kesalahan lagi seperti orang tuamu, Iris..

"Aku bawa sandal, kalau kamu mau pinjam."

Gadis berjas hujan warna kuning itu membeku, merasa terkejut? Pastinya.

Ia tahu benar dengan suara itu, suara yang begitu ia kenali karena menorehkan sebuah cerita menyebalkan yang sebetulnya belum bisa sepenuhnya Iris lupakan. "Kamu.." Suaranya mendesis, "Mau menertawakanku seperti kemarin, hah?"

Terlalu malas untuk membalikan kepala atau badannya, Iris masih sibuk dengan satu kakinya masih berada di jalanan yang berlubang itu. Mau ia tarik sekarang atau tidak.

Rasanya sudah seperti kapal yang tenggelam, isi sepatunya air dan tanah semua.

"Maafkan aku yang kemarin, aku yang salah. Sudah menabrakmu dan malah tak menolongmu sepenuhnya." Terdengar suara pemuda itu melemah, lirih. "Bagaimana keadaan lututmu? Sudah sembuh?"

March RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang