“Ali kau sudah menyelesaikan proker untuk LDK minggu depan?”, sapa Zahra dari pintu kamar Ali yang kebetulan terbuka.
“Tinggal sedikit, besuk akan ku kerjakan lagi?”, jawabnya ketus.
Setiba di kamarnya Zahra memikirkan Ali, kenapa dia berkata ketus seperti itu. Mata pun sudah dipejamkannya namun tak bisa tertidur juga. Rupanya perkataan ketus Ali masih menempel di hati Zahra. Beberapa jam dia membolak-balikkan badan namun tetap saja matanya sulit terpejam
“ Sudah di mulai ya?”, tanya Zahra khawatir. Menurutnya ini amanah yang tak boleh dilalaikan sedikit pun. Semenjak memasuki dunia kuliah dia aktif sebagai aktivis begitu juga dengan Ali, mereka dalam satu forum.
“ Masih baru dimulai”, sambung Dita
“ Ali sudah datang dari tadi ya?”, tanya Zahra lagi, karena tadi Ali buru-buru dan meninggalkan Zahra padahal tujuan mereka sama.
“ Belum tu, dari tadi aku belum liat Ali, memangnya kamu gak bareng dia?”, Dita balik bertanya karena Zahra memang satu kelas dengan Ali.
Zahra tidak mau berburuk sangka tentang Ali. Di forum tadi dia tidak muncul padahal dia juga membawa amanah yang tak kalah berat dengan Zahra. Bahkan dia yang menjadi ketua di suatu kementerian sedangkan Zahra hanya sebagai sekretarisnya.
Malam pun sudah menunjukkan mukanya, sedangkan Ali belum juga pulang. Sudah pula ia tanyakan pada Bundanya.
“ Lho bukannya seharian sama kamu terus ya Zah?”, Bundanya pun malah balik bertanya.
“ Sejak pulang kuliah dia gak sama Zahra Bun”.
“ Mungkin Ali ada keperluan lain, sudah kamu belajar saja sana”.
Zahra hanya melenggeng tanpa sepatah kata pun. Belajar pun jadi tak konsentrasi, Zahra terus memikirkan Ali. Terdengar suara berisik dari kamar Ali, tapi Zahra mengurungkan niatnya untuk melihat ke dalam kamar Ali. Dia hanya bersyukur Ali sudah pulang dan kekhawatirannya pun berkurang. Tapi ada yang aneh, tak seperti biasa di kamar Ali sangat ribut. Kalau pun ada teman-teman rohisnya datang keadaan tak seribut ini.
“ Ali ada temanmu ya, kok berisik banget padahal ini kan sudah malam”, sapa Zahra sewaktu Ali mengambil minuman untuk temannya.
“ Iya temanku, nanti aku kasih tau agar tak ribut”, jawabnya polos dan sedikit ketus. “ Siapa? Ikhwan yang mau ngerjain proker ya?”, tanya Zahra pula.
“ Bukan, ini temanku yang lain”.
Kenapa bicaranya ketus, lantas siapa temannya kalau bukan teman kampus atau teman aktivis? Apa dia punya teman lain, sejak kapan? Dan kenapa aku tak mengetahuinya, padahal selama ini temanku temannya dan temannya adalah temanku juga. Pikiran Zahra mulai tak tenang, dia memberanikan diri melihat siapa teman yang dibawa Ali ke rumah.
Zahra hanya bisa mengucap istigfar setelah tahu siapa teman Ali. Tak bisa menahan kecewanya Zahra lantas pergi ke kamar. Dia hanya bisa menangis menahan semuanya, dia juga tak menyangka Ali berteman dengan orang seperti itu.
“ Kau mau berangkat bareng aku gak?”, kali ini Zahra yang berucap ketus.
“ Iya lah, aku kan selalu bareng ama kamu”, seperti biasa Ali mengandeng tangan Zahra sebelum berangkat. Tapi kali ini Zahra menolak, bahkan menjauh dari Ali.
