Entah kenapa hari ini suntuk sekali. Mungkin sudah lebih dari satu bulan kita ga saling tukar kabar. Mungkin?
Sebenarnya aku heran dengan sikapmu yang sekarang. Aku heran dengan kamu yang aku telfon ga pernah diangkat. Aku juga heran pesan-pesan yang ku kirimkan terabaikan begitu saja. Tak satupun dari mereka mendapat balasanmu.
Tak mengapa, mungkin kamu sedang membagi waktumu. Dulu kebanyakan waktumu kamu habiskan denganku. Tapi sekarang dengan kehadirannya kamu sedang belajar cara membagi waktu. Aku paham dan aku mengerti. It's ok.
Yang aku tanyakan kenapa setiap aku kirimi pesan tidak kamu balas. Mungkin kamu sibuk dengan tugas sekolahmu, pikirku begitu. Tapi aku menelfonmu saat jam 5 sore. Itu waktu biasa kamu sedang bersantai bukan? Sembari menunggu adzan magrib berkumandang?
Baru kali ini kamu mengabaikan aku sampai lama seperti ini.
Aku beberapa kali bertanya pada Miya tentang kamu yang sekarang. Miya menjawab ia juga merasa jauh darimu. Meski Miya jarang berhubungan denganmu tapi ia juga merasa kamu semakin menjauh.
Pernah terlintas di fikiranku bahwa ada yang mengadu domba kita. Mungkin dia. Tapi aku tak mau berburuk sangka. Untuk sekarang, aku menganggap kamu sedang sibuk.
***
Bruk!
"Ahhh," ringis Maya saat tubuhnya berbenturan langsung dengan aspal.
Sebuah tangan menjulur dari atas. Maya memperhatikan tangan itu dan ia menelusuri tangan itu. Tangan seorang pemuda.
"Kamu baik-baik aja? Maaf tadi buru-buru." Terang pemuda itu dengan tangan masih menjulur.
Maya tak menggapai tangan itu, Maya berdiri sendiri sambil meniup goresan luka di sikunya.
"Gapapa. Lain kali santai aja. Untung bawanya sepeda. Kalo motor ga tau bakal jadi apa." Maya berkata seperti itu karena tak tega melihat ekspresi pemuda yang ada di depannya terlihat khawatir.
"Duluan ya." Pamit Maya karena Maya merasa risih dengan pemuda itu. Pemuda itu hanya memandang Maya tanpa berkata lagi.
Maya berjalan menuju cafe yang sudah dari dulu menjadi langganannya. Di dalam cafe sudah ada dua temannya, Miya dan Meira.
"Duh, sorry gue telat. Tadi taksinya mogok gitu." Jelas Maya setelah menduduki kursi yang masih tersisa satu. Maya melihat ekspresi jengah dari dua temannya.
"Tau ga? Satu setengah jam lebih kita nunggu, May!" Mood Meira hancur, tadinya ia mengajak temannya berkumpul di sini agar ia bisa curhat tentang permasalahannya dan mendapat solusi.
Tapi Maya menghancurkan moodnya yang awalnya sudah hampir hancur. Hampir hancur. Iya mau hancur.
Miya hanya diam melihat Meira yang sudah memasah wajah menyeramkan. Sedangkan Maya merasa bersalah.
"Ya udah, lo pesen minum dulu aja, May." Kata Miya setelah melihat situasi tegang ini.
Maya mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. Saat itu pula Meira melihat goresan luka pada siku Maya. Meira yang semula marah pada Maya langsung berubah menjadi Meira yang perhatian.
"Ya ampun, May! Tangan lo luka." Teriak Meira. Meira langsung mengambil tangan Maya dan juga ia mengambil plester luka dalam tasnya.
"Kok sampe luka gini sih? Jatoh ya? Sakit ga?" Diam-diam Maya tersenyum pada Miya. Inilah sifat asli Meira. Meira yang perhatian, tapi juga Meira yang galak.
***
"Halo, May?" Sapa Meira dari seberang telfon.
"Ya? Dapa?" Jawab Maya.