BAGIAN 3 (C)

169 8 0
                                    

...

"
Segera tengok, atau aku akan membunuhmu

"

Tidak! Jika pesan ini terus menerus menerorku, aku bisa gila! Satu persatu kuhapus semua pesan dari seseorang yang misterius itu. Tubuhku terasa semakin kaku sekarang. Bagaimana jika dia membunuhku nanti?! Apa yang harus kulakukan?!!
Suara gesekan kuku dengan kusen jendela yang sedari tadi mengganggu pendengaranku kini semakin menjadi jadi. Entah mengapa aku merasa tidak akan bisa selamat malam ini. Aku megecek semua kontak ponselku untuk mencari seseorang yang sekiranya mungkin untuk menyelamatkanku malam ini.

Ibu.

Yaps, ibu mungkin bisa menolongku. Akupun memutuskan untuk menelfon ibu sekarang juga.

Tapi...
Apakah ibu mau percaya dengan omonganku? Apakah ibu nantinya malah berpikir kalau aku hanya membual?

Tapi tidak apa apa, akan ku screenshoot semua pesan dari orang itu dan akan kukirim ke ibu sebagai bukti bahwa aku tidak membual.

Oh Tuhan, bukannya semua pesan itu sudah kuhapus dan tidak ada satupun yang tersisa. Apakah aku harus menunggu sampai orang itu mengirim pesan lagi? Tidak, itu terlalu lama sementara aku sudah tidak tahan berlama lama kepanasan bersembunyi dibalik selimut ini sambil mendengar suara gesekan di jendela yang mengerikan itu.

Namun,

Jika aku tidak bisa membuat ibu percaya, setidaknya aku harus membuat ibu datang ke kamarku. Mungkin seseorang itu akan pergi ketika melihat ada ibu di kamar ini. Dan mungkin saat ibu berada di kamar ini, aku bisa menutup tirai jendela dengan aman lalu aku bisa tidur dengan tenang. Itu mungkin saja, asalkan orang itu mau pergi saat ibu ada di kamar ini.

Aah, sudahlah! Aku terlalu banyak berpikir. Lebih baik sekarang aku segera melakukan sebuah tindakan sebelum orang itu melakukan sebuah hal yang lebih lagi. Baiklah, aku akan menelfon ibu. Aku akan berbohong kepadanya agar dia mau datang ke kamarku.

Tuuut... Tuuut... Tuuut...

Nada sambung itu terus berbunyi. Mengapa ibu tidak segera mengangkat telfon ku? Apakah dia sudah tidur?

"Halo", sapa ibu.

Ya, akhirnya ibu mengangkat telfon ku juga.

"Halo, ibu! Datanglah ke kamarku! Segera! Lihatlah ada sesuatu yang akan mengejutkan ibu! Kamarku terbakar, bu!"

Tuuuuttt....
Ibu mematikan panggilanya.
Yaaah, ibu tidak percaya dengan omongan bohongku.
Bagaimana ini?! Apa aku harus seperti ini terus sampai besok pagi? Tidur kaku di kamar yang terkunci sambil bersembunyi dibalik selimut?!! Aku benci situasi seperti ini!

Tiba-tiba, pendengaranku menangkap suara langkah kaki berlari menuju kamarku. Sesekali terdengar suara tetesan -oh, bukan-tumpahan sesuatu yang cair turut serta bersama langkah kaki itu. Rasa takut yang sedari tadi menguasai diriku membuatku berpikir bahwa cairan yang menetes itu adalah darah. Rasa takut ini membuat akal sehatku lenyap seketika. Aku mengira hantu di jendela itu sedang berlari menuju kamarku. Tapi, untuk apa aku merasa takut, bukannya pintu kamarku terkunci.

Ini berarti hantu itu sekarang tidak berada di depan jendela. Kesempatan baik bagiku untuk menutup tirainya. Baiklah, aku akan menutup tirainya!

Aku membebaskan diri dari selimut panas ini dan berlari menuju ke arah jendela dengan pandangan yang menuju ke arah pintu, memastikan bahwa hantu itu tidak bisa masuk. Sesampainya di depan jendela, baru aku mengarahkan pandangan ke jendela, dan aku terperanjat setelah melihat sesosok hantu kakek tua dengan wajah penuh darah dan luka yang sedang berdiri tepat dihadapanku. Wajahnya benar benar hancur. Rambutnya acak acakan. Tangannya hilang sebelah. Dan yang paling buruk, giginya. Tajam, kotor, penuh darah, dan mengerikan. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa suara gesekan kusen jendela yang mengerikan tadi bukan berasal dari kuku yang tajam, melainkan gigi yang runcing. Matanya melotot memandangiku. Jarakku dengan sesosok itu kini sangatlah dekat, hanya dipisahkan oleh kaca jendela.

Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Ia terus menatapku tanpa berkedip. Tubuhku kaku. Sangat kaku. Aku tidak mampu bergerak sedikitpun. Tiba-tiba tubuhku melemas. Kepalaku terasa sakit. Pandanganku mengabur. Lututku bergetar. Diantara kaburnya pandanganku aku masih bisa melihatnya menghilang begitu saja saat mendengar suara kenok pintu dibuka.

Tubuhku semakin sempoyongan. Mataku semakin mengabur. Akhirnya, aku jatuh pingsan

MBAH JAMBRONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang