"aku pasti bisa."
Berkali-kali ku ucapkan kalimat yang sama di depan cermin putih besar milik sebuah caffe di kota bandung ini.
Sudah hampir 5 menit aku berada di ruangan ini hanya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa, dan harus terlihat biasa didepan dia.
Dia yang sengaja kututupi dalam-dalam ceritanya, Dia yang sengaja ku jauhi dengan segala upaya diatas kuatnya rasa, dan dia yang kali ini kembali membawa sejuta tanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, memegang gagang pintu dan membukanya perlahan.
Kaki ku melangkah ke meja nomor 12 di pojok dekat jendela, pemandangannya yang langsung mengarah ke hamparan alam hijau khas kota bandung, membuat perasaanku sedikit tenang.
Sementara kaki ku semakin dekat dengan meja yang sekarang sudah diisi oleh seseorang - dari masalalu ku.
"Udah?." sebuah kata yang pertama kali keluar dari mulutnya setelah beberapa menit yang lalu ketika dia tiba di caffe ini, aku meminta izin pergi ke toilet, padahal aku sama sekali tidak ingin buang air.
Aku mengangguk tanpa suara, dan duduk dihadapannya.
"Apa kabar?." suaranya masih sama, percis seperti beberapa tahun yang lalu ketika dia selalu memanggilku kencang dari kejauhan, hanya saja, suaranya lebih berat.
"Baik, seperti yang terlihat," aku menjawab dengan singkat, entah, aku terlalu takut dan canggung untuk memulai segalanya menjadi biasa.
"Kamu ga berubah ya, masih kaya dulu,"
Deg.
Apa makna dari kata tidak ada yang berubah dariku?
Rupa ku? Atau rasaku padanya?
Sementara ku lihat dia sangat berbeda dari beberapa tahun lalu.
Postur tubuhnya yang semakin meninggi, warna kulitnya yang sudah tidak seputih dulu, dan suara serak basahnya yang semakin berat.
Bisa kupastikan, ini semua adalah metamorfosa indah seorang Alghifari Ardan.
Dulu, sepulang sekolah setiap hari jumat dan sabtu, aku selalu menghampirinya yang sedang baris berbaris dilapangan. Dan dengan lugunya, memberikan minuman yang ku beli di kantin ke celah-celah pagar lapangan untuk Ardan.
Atau jika pelatih Paskibra Ardan sedang baik, Ardan diizinkan untuk menghampiriku diluar lapangan, dan ketika Ardan sudah didepanku, aku menempelkan minuman dingin yang kubawa ke pipinya, menciptakan ekspresi wajah yang selalu sama -- meringis kedinginan.
Dari SMA dulu, dia selalu berambisi pada mimpinya, menjadi seorang TNI juga mengabdi pada Negara.
Dan aku, menjadi korban atas semua ambisinya itu.
"Kamu ga kenapa napa kan Ya?." dan Ardan, masih dengan mudahnya memanggil aku-kamu padaku, meski dengan keadaan yang sudah berubah semenjak beberapa tahun yang lalu.
"Engga ko ga kenapa-napa, langsung aja Dan." aku bangun dari sandaranku di kursi bersofa maroon dan rangkanya yang bewarna putih tulang, mempertegas posisi ku dan menyilahkan Ardan untuk memulai semuanya.
"Udah 5 bulan lebih aku balik ke Bandung Ya, dan 5 bulan itu juga aku cari kamu, tapi hasilnya nihil, bahkan semua temen SMA kita dulu gapernah ada yang berhasil aku cari tau tentang keberadaan kamu, kamu kenapa sih Ya?" Ardan semakin menggebu dalam melontarkan setiap kata nya,
"Dan peristiwa kemarin, ternyata aku masih dikasih kesempatan ketemu kamu walaupun di tempat yang gapernah aku pikir bakal ketemu kamu Ya," Ardan melanjutkan dengan intonasi suaranya yang semakin tidak beraturan.