"Hoi, Hyuuga. Pinjam pensil." Tangan Naruto terjulur untuk meminta barang dari teman sebelahnya, Hyuuga Hinata.
"Ini." Hinata meletakkan pensil birunya di telapak tangan Naruto.
"Terima kasih," gumam Naruto setelah menarik tangannya.
"Kembali kasih." Hinata melirik dari sudut matanya. Mengamati Naruto yang fokus menggarap soal. Pahatan Tuhan yang sempurna. Aku suka, pikirnya.
"Ada masalah, Hyuuga? Apa kau tidak ikhlas meminjamiku pensil ini?" tanya Naruto mendadak. Hinata kelabakan karena ketahuan mengamati putra sulung Uzumaki itu.
"Tidak ada. Aku ikhlas meminjamimu, Uzumaki." Hinata menarik sudut bibirnya. Memberikan senyum termanis pada Naruto.
"Tidak perlu tersenyum. Kau jelek," kata Naruto. Tanpa dia ketahui, Hinata teramat sakit hati karena mulut kasar Naruto.
"Aku memang jelek, Uzumaki. Aku sadar diri," bentak Hinata. Dia pergi tanpa menghiraukan tugasnya sebagai penanggung jawab saat jam kosong.
"Merepotkan." Naruto bangkit dari duduknya. Dia mengejar Hinata. Dia hapal di mana Hinata ketika kesal padanya. Markas klub fotografer yang tak aktif lagi.
Hinata menangis sesenggukan. Berjongkok di belakang kursi agar Naruto tak menemukannya. Dia mulai menggores lantai yang berdebu dengan jari telunjuk.
"Hyuuga." Naruto menduduki kursi itu. Hinata tidak memiliki kemampuan bersembunyi yang baik. Jelas sekali dia bersembunyi di kursi biasa yang bahkan tak mampu menyembunyikan tubuh mungilnya.
"Hyuuga, laki-laki memang seperti itu. Berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Maka dari itu, aku tidak menyukai laki-laki," ujar Naruto dengan nada yang terkesan santai.
"Aku menyukaimu, Uzumaki yang gila." Hinata tak menghiraukan ocehan tak bermutu dari Naruto. Dia berdiri, lalu menendang kursi yang Naruto duduki. "Aduh, sakit," umpatnya.
"Aku benci." Dua kata yang keluar dari mulut Naruto tak cukup memberi pengertian pada Hinata. Benci apa yang Naruto maksud? Hinata tak mengerti itu semua.
"Kembali ke kelas." Naruto menarik paksa tangan Hinata. Menyeretnya sampai ke kelas. Dan menyuruhnya duduk manis.
.
"Aku menyukaimu, Uzumaki." Sudah berkali-kali Hinata mengucapkan kalimat itu saat menikmati istirahat di taman belakang bersama Naruto.
"Aku benci." Naruto menyumpal telinganya dengan earphone. Dia membaringkan tubuhnya di rerumputan.
Hinata ikut membaringkan tubuhnya, lalu mencabut earphone yang bertengger di telinga Naruto.
"Aku menyukaimu, Uzumaki," ucap Hinata tepat di telinga Naruto. Dia menarik seulas senyum manis lagi.
"Aku benci." Naruto tak gentar mengucapkan kata benci untuk Hinata.
"Terserah apa katamu. Yang terpenting, aku amat menyukaimu, Uzumaki." Hinata mengecup pipi bergurat itu.
"Hm." Naruto memejamkan mata.
Bel pertanda berakhirnya jam istirahat telah berbunyi. Mereka; Naruto dan Hinata, berjalan berdampingan menuju kelas.
Hinata yang lebih tertarik memandang Naruto, tidak melihat ke depan. Alhasil, dia menabrak siswa lain. Siswa itu terhuyung, reflek dia memegang tangan Hinata, juga mencakarnya. Siswa itu meminta maaf, kemudian berlalu begitu saja karena terburu-buru.
"Hyuuga, ayo ke ruang kesehatan. Tanganmu berdarah." Naruto panik sekali. Belum sempat Hinata menyahut, Naruto terlebih dulu menyeretnya ke ruang kesehatan.
"Uzumaki, pelan-pelan. Sakit." Naruto tak bisa santai saat mengobati Hinata. Dia menekan kapas beralkohol itu dengan keras pada luka Hinata. Tak dipungkiri, pengobatan diiringi pekikan Hinata.
"Kenapa kau tidak melihat ke depan? Aku khawatir padamu, Bodoh!" Naruto menarik pipi Hinata.
"Aku menyukaimu, Uzumaki." Hinata mengulas senyum lagi. Tidak kenal tempat dan waktu, Hinata terus mengeluarkan kalimat itu.
"Aku benci." Selalu dibalas ketus oleh Naruto.
.
"Aku akan mengantarmu pulang." Naruto menggandeng tangan Hinata.
"Bukankah setiap hari kau mengantarku pulang? Tidak perlu meminta persetujuanku karena aku pasti mau." Hinata mengecup lagi pipi bergurat itu.
"Hm." Sudah biasa Hinata hanya dibalas gumaman itu.
"Aku menyukaimu, Uzumaki." Sepanjang perjalanan, Hinata mengucapkan kalimat itu tanpa lelah. Sembari memberikan senyum.
"Hentikan ini semua, Hyuuga." Mereka berhenti di bawah pohon Sakura yang bunganya belum bermekaran.
"Aku menyukaimu, Uzumaki. Aku tidak bisa menghentikannya." Hinata menarik napas, lalu melanjutkan perkataannya. "Aku ingin bertanya satu hal; kenapa kau membenciku? Apa arti kebersamaan kita dan kepedulianmu selama ini?"
"Aku membencimu karena kau tidak mencintaiku. Jujur saja, aku mencintaimu, Hyuuga. Aku ingin kau tidak hanya menyukaiku, tapi mencintaiku." Naruto memeluk erat tubuh mungil Hinata.
"Uzumaki, aku mencintaimu, bukan menyukaimu. Aku tidak pernah menyukaimu. Suka hanya mengekspresikan saja, tidak mengungkap perasaanku yang sesungguhnya. Aku mencintaimu, Uzumaki Naruto." Hinata menangis untuk kedua kalinya hari ini.
"Kuharap begitu. Aku mencintaimu, Bidadari. Kau tidak punya pilihan lain, selain mencintaiku." Naruto mengelus puncak kepala Hinata. Nyaman sekali menghirup wangi rambut gadis itu.
"Di mana banyak pilihan, aku akan selalu memilih mencintaimu, Uzumaki." Setelah ketidakpahamannya tentang kebencian Naruto, Hinata mendapat pengertian terhadap perasaan Naruto. Terima kasih, Tuhan. Memang benar, semua akan berakhir bahagia setelah kesakitan yang menerpa, ucap Hinata dalan hati.
End.Sylph © 05.27.2017
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Sylph
FanfictionNaruto, teman semeja Hinata, selalu mengatakan 'aku benci' saat Hinata mengungkapkan perasaanya. Entah karena apa, Naruto selalu berada di samping Hinata. Cinta tak butuh alasan, maka Hinata menerapkan prinsip itu. Hinata bukan lagi menyukai Naruto...