Sambil memijit pelipis dengan satu tangan, aku mengetuk-ketukan pena ke meja dengan tangan yang lain sembari membaca soal ulangan matematikaku.
Tek.. Tek.. Tek..
Sejauh ini tak ada yang terganggu dengan bunyi itu. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kelas, semua murid khusyuk dengan soal masing-masing. Di depan, di meja guru Pak Emilio sang guru matematika yang berumur paruh baya sedang berkutat dengan laptopnya.
Menguap bosan, aku memutuskan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan sumber 'sakit kepalaku' ini."Ssttt.. Stella" aku berbisik pada temanku, yang duduk tepat di depan mejaku.
Rupanya ia tak dengar. Punggung dan kepalanya masih condong ke bawah tanda bahwa tangannya sedang menulis. Kugeser bangkuku lebih ke depan agar kakiku dapat menjangkau kaki-kaki bangku yang ia duduki.
Aku nyaris menendang kaki bangku Stella ketika tiba-tiba Pak Emilio bersuara,"Sepuluh menit lagi" ujarnya.
Astaga! batinku.
Tiga puluh pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi kuadrat, trigonometri dan sistem persamaan linear yang tertera di kertas baru kujawab seperempatnya saja. Aku memang tak pintar dalam pelajaran matematika. Aku membencinya!
Aku bisa saja mengabaikan kelas matematika dan menggantinya dengan pelajaran lain. Namun ibuku memaksa untuk mengambil kelas tersebut.Huft!
"Pssttt Stella, ayolah"
panik kucubit punggungnya pelan. Refleks ia menoleh. Gadis itu tak mengatakan apapun namun sorot matanya seolah berkata 'ada apa?'"Tolong bantu aku. Aku baru mengerjakan tujuh soal."
Mata bulatnya melotot.
"Tolonglah" cicitku memohon dengan wajah memelas.
Stella diam sejenak. Lalu memandang ke Pak Emilio, khawatir kalau-kalau akan kepergok berbisik-bisik ditengah ulangan.
Ia mengatakan "sebentar" kemudian kembali menulis. Tak sampai semenit, ia telah menyodorkan lembar jawabannya dengan terburu-buru lewat bawah mejaku.Aku berdecak, gadis itu telah menyelesaikan ulangannya dengan baik dan aku tak perlu meragukan semua jawaban yang ia tulis.
Stella Marquez, murid tercedas kedua di kelas kami setelah si nomor satu, Marco Cavanni.
Pemuda licik yang selalu bersaing dengan Stella untuk menjadi yang terbaik. Marco selalu khawatir posisinya akan direbut Stella, sementara gadis itu memang berniat mengalahkan Marco.Aku menyalin jawaban-jawaban Stella ke lembar jawabanku sendiri dengan kecepatan menulis yang mengagumkan. Persetan dengan tampilannya yang acak-acakan. Yang penting selesai dan hasilnya bagus!
Aku sudah menyalin jawaban ke tiga belas saat sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian.
"Pak?"
Aku mengangkat wajah.
Itu Marco. Anak itu mengangkat satu tangannya.
Pak Emilio beralih dari layar laptop sambil membetulkan letak kacamatanya."Ada apa, Cavanni?" tanya Pak Emilio dengan suara berat, menyebut Marco dengan nama keluarganya seperti yang biasa dilakukan guru-guru di sekolah ini kepada para murid.
Marco tak langsung menjawab. Ia yang duduk di barisan terdepan menoleh kearahku. Sungguh kearahku. Aku merasakan aura mengancam dari sorot matanya yang biru bak lautan dan wajah dinginnya. Aku merasa tak enak namun mencoba memasang wajah seinosen mungkin.
"Cavanni?" ulang Pak Emilio.
"Ya, pak. Ada yang berbuat curang"
Marco kembali menghadapkan wajahnya ke depan.Eh?
Pak Emilio mendesah. Ia bersikap seolah sudah menduga bahwa hal semacam itu akan terjadi.
"Siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stella (OneShot)
Short StoryWaktu begitu tega memisahkan kita. Aku begitu keterlaluan melupakan janjiku ke kamu. Cerita ini aku dedikasikan untuk kamu. Bodoh aku melakukannya sekarang tapi kuharap hutangku terbayarkan. T_T