"Mitsuki, dia anakmu?"
"Dia memang anakku. Ada masalah?"
"Aku tidak percaya ini." Naruto meletakkan tangannya di samping telinga.
"Agar lebih jelas, dia sudah kuanggap anak." Toneri mau tak mau harus mengungkapkan kebenarannya.
"Dia bukan anakmu?" Dalam hati, Naruto bahagia karena itu.
"Ingin dongeng lagi?" Toneri terkekeh karena pertanyaannya sendiri.
"Apa pun yang berhubungan dengan Hinata, akan kudengar." Naruto antusias untuk pengungkapan kebenaran ini.
"Sekitar empat tahun yang lalu ...
Toneri dan Hinata baru saja pulang dari acara makan malam mereka. Pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi. Mereka lebih mengakrabkan diri.
Sekarang, mereka sedang menonton drama kesukaan Hinata. Ditemani keripik kesayangan Hinata yang tak pernah habis stoknya. Telepon berdering mengganggu acara mereka.
"Halo?"
"Toneri, kakakmu. Dia ..., cepatlah ke rumah sakit." Suara panik dari ibu Toneri meresahkannya. Toneri segera bergegas pergi ke rumah sakit bersama Hinata.
Setibanya di rumah sakit, ada dua keluarga yang dirundung kesedihan. Tangis dalam diam dan histeris menjadi satu. Meramaikan acara duka itu.
"Yuki sudah pergi. Anakku ...," bisik sang ibu pada Toneri. Dilanjut tangisan pasrah.
Ayah Toneri angkat bicara. "Yuki terlibat kecelakaan saat dia hendak melihat bayinya. Masa meninggal karena melahirkan bayi itu. Mereka pergi bersama. Satu permintaan Ayah; apakah kalian bisa menjaga anak mereka?"
Mata Toneri melebar. Kakak kembarnya sudah meninggal. Dia tidak percaya ini semua.
"Kami akan menjaganya, Ayah." Hinata menahan air matanya yang jatuh. Dia mengerti bagaimana perasaan Toneri saat ini. Ditinggal saudara satu-satunya, itu sangat menyakitkan.
"Dia anak dari kakakku. Mana mungkin aku membiarkan anaknya dilepas di panti asuhan? Maka dari itu, kami mengadopsinya." Toneri agak tersendat di setiap kata. Dia telah membuka luka lama.
Naruto menepuk punggung Toneri. "Maaf telah mengingatkanmu pada kejadian yang tidak menyenangkan ini."
Toneri mengulas senyum. "Kau ingin mengambil Hinata, bukan?"
Naruto tersedak tehnya. "Ehm ... iya."
"Inilah yang dia bingungkan. Mitsuki masih membutuhkan perhatian seorang ibu. Dia tidak tega meninggalkannya hanya karena cintamu itu."
"Aku bisa mengambil satu paket. Hinata dan Mitsuki sekaligus."
Toneri menghembuskan napas. "Aku tidak bisa melakukan banyak hal. Aku hanya bisa mengurus surat perceraian dan pelepasan Mitsuki padamu. Untuk masalah hati Hinata, hanya kau yang bisa."
"Aku berterima kasih padamu sebelumnya." Naruto mengusap matanya yang sudah berkaca.
"Dia bahagia bersamamu, maka aku akan melepasnya untukmu. Ternyata kalimat Hinata ada yang berlaku untukku. Aku hanya menjaga jodoh orang lain." Toneri tertawa karena nasibnya ini.
"Ayah." Mitsuki dan Hinata datang, lalu Mitsuki duduk di pangkuan Toneri.
"Baiklah. Aku akan memberi waktu untuk kalian berbicara empat mata. Aku pergi." Toneri menggendong Mitsuki ke taman belakang rumah. Bermain bersama kucingnya.
"Hinata," pangil Naruto yang memasang wajah melas.
"Hm," gumam Hinata. Dia mendaratkan tubuhnya di sofa ungu tua itu.
"Hinata, maafkan aku."
"Apa untungnya aku memaafkanmu? Tidak bermanfaat bagiku." Hinata berlagak seperti bos yang memarahi bawahannya.
"Hinata, aku mencintaimu. Kumohon maafkan aku."
"Cinta? Telingaku harus kubawa ke THT agar dokter mengambil semua kata cintamu yang tersangkut."
"Hinata, berilah aku kesempatan."
"Kuberi kau kesempatan, maka kau akan mengulangi kesalahan yang sama, 'kan?"
"Hinata, maaf."
Hinata mendengus kesal untuk keberkian kalinya. "Pergilah. Istrimu pasti menunggu di rumah. Aku kebal dengan kata cinta, maaf, dan temannya itu."
"Hinata, kumohon dengarkan penjelasanku." Naruto memegang tangan Hinata. Apakah ini dèja vu? Dulu dia tidak pernah mendengar penjelasan Hinata. Sekarang, semuanya terbalik.
"Sudah kukatakan pergi! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. Pergi!" Hinata mendorong keras Naruto agar keluar dari rumahnya.
"Hinata."
"Pergi dan jangan menunjukan wajah anehmu itu!" Hinata menutup pintu dengan kerasnya. Dia terduduk di belakang pintu. Terisak, itu yang dia lakukan kini.
"Hinata," teriak Naruto dari luar. Dia menggedor pintu itu.
Hinata berdiri, lalu mengunci pintu itu. Dia acuh pada gedoran rusuh Naruto. Dia memilih istirahat sebentar, menenangkan dirinya yang sedang gundah gulana.
Naruto mengusap wajahnya secara kasar. Cinta itu butuh perjuangan, pikirnya. Dia harus melakukan apalagi agar Hinata kembali padanya. Sudah jelas, dia diusir dan ditolak mentah-mentah.
Smartphone di sakunya berbunyi. Tercetak jelas, panggilan dari sahabat gilanya, Sasuke.
"Apa?" ketus Naruto saat mengangkat telepon.
"Bisakah kita berkencan?" Orang yang menelepon di seberang sana memang sudah gila.
"Apa katamu? Berkencan?" Naruto berteriak.
"Kalau kukatakan bertemu, tidak akan romantis," kata Sasuke dilanjut tawa nista.
"Di mana?"
"Kau ingin menjadi kekasihku? Kau benar-benar berkencan denganku?" Entah kenapa Uchiha satu ini. Sepertinya dia baru saja terpukul benda tumpul.
"Tidak. Aku masih normal," bantah Naruto.
"Coba kau pikir. Mana ada pasangan gay yang idiot? Mereka semua normal. Dasar bodoh!"
"Jangan bercanda, Uchiha. Aku lelah."
"Maaf, aku bercanda. Bertemu di kafe biasa. Ajak anakku juga."
Sambungan terputus menghentikan percakapan mereka. Naruto melesat ke kafe itu. Sebelumnya, dia harus menjemput Sarada.
.
Tbc.
NB : Author udah gak bermutu neeh! Huuu dasar abal-abal!!!! Oh ya, pengumuman hasil UN sebentar lagi, minta doanya agar hasilku memuaskan. Mohon doanya ya. Terima kasih. Baca Strange ya sobat :)
Scat © -05/30/2017-
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Scat
FanficSequel 'Shitteru' Naruto pulang ke Jepang. Dia telah menyelesaikan kuliahnya. Berniat mencari kekasih hatinya yang bahkan tak pernah memberi kabar selama ini. Di mana dia? Di mana Hime-ku? Apa dia sudah menyerah untuk menungguku? Aku mencintaimu. A...