Air mata takkan abadi

17 2 0
                                    

Seolah terkena sihir tangannya begitu lihai menggerakkan pensil di atas kertas putih, goresan pensil yang penuh ambisi menghasilkan sebuah gambar rancangan baju yang indah. Inilah kebiasaan Tia saat terbebas dari tugas perkuliahan bermimpi menjadi seorang desainer terkenal meskipun dalam benaknya sering muncul bahwa desainer adalah hal yang mustahil bagi dirinya namun hobbi-nya takkan pernah berhenti dia tetap suka menggambar desain baju dan mengumpulkannya di blog. Dia tak pernah yakin blog-nya akan banyak dikunjungi hanya saja jika disimpan di internet dia yakin koleksi desainnya takkan hilang.
Pagi hari saat Tia tiba di kampus tiap mading penuh dikerumuni banyak orang menimbulkan penasaran hingga dia menyeruak kerumunan dan terpampang berita ‘lima orang yang terpilih seleksi model’. Dia begitu gembira melihat tertera nama ‘Haikal Sankara’ salah satu dari lima orang itu sejak awal Tia sudah berpikir pasti orang itu akan masuk seleksi sebab memiliki karismatik yang selalu membuat orang kagum. Haikal adalah kakak kelas yang dikagumi Tia sejak pertama masuk kampus entah kagum, suka atau cinta rasa itu tetap ada di hati Tia dan dia hanya pengagum rahasia sama sekali tak ada kedekatan apapun antara dirinya dengan Haikal dia hanya dapat menatap Haikal dari jauh.
Betapa bangganya ayah dan ibu Tia mendengar bahwa Shelly, kakak Tia akan menjadi model untuk yang kedua kalinya sebelumnya dia pernah menjadi model di tabloid sebab ajuan dari temannya. Menurut Tia itu hal yang pantas bagi Shelly dia berparas cantik juga memiliki tubuh ideal itu membuat Tia cukup iri meskipun orang-orang berkata dirinya memiliki kemiripan dengan Shelly namun tetap saja dia tak memiliki tubuh tinggi juga ideal seperti kakaknya sudah menginjak tingkat perkuliahan saja Tia sering dibilang anak SMP dia berharap itu karena dirinya memiliki baby face. 
Tia begitu semringah mengetahui Haikal yang berhasil mewakili kampusnya untuk menjadi model. Sepulang kuliah Tia pergi bekerja sebagai karyawan di butik milik ibunya Litha. Litha adalah teman dekatnya di kampus yang memintanya bekerja di butik sebab tahu Tia ahli mendesain pakaian namun itu tidak membuatnya bekerja sebagai seorang desainer dia hanya membantu desainer membuat skema dan sesekali memberi masukan sebab menjadi seorang desainer bukanlah hal yang mudah, Tia belum bisa menjahit sepenuhnya baru mempelajari dasar-dasarnya dari sang ibu yang ahli menjahit.
Saat Tia hendak sarapan dia ingin mengatakan bahwa dirinya belum membayar biaya semester sebab penghasilannya bekerja tidak cukup namun ayah ibunya malah sibuk menanyai kakaknya seolah mewawancarai seorang artis, Tia merasa terabaikan dia keluar dari meja makan membawa rotinya pergi berangkat kuliah. Meski keadaan di rumahnya selalu mengundang air mata Tia tak pernah terlihat murung dia selalu menutupi kesedihannya dengan keceriaan. Sesampainya di kampus dia bersengaja memilih jalan yang melewati perpustakaan agar dapat melewati kelas Haikal. Tia hanya tersenyum menatap Haikal dari jauh dia tengah dikerumuni teman-temannya yang ingin bergantian selfie.
Jarum jam menunjukan waktu istirahat Tia hendak pergi ke kantin untuk membeli minuman tiba-tiba Litha menariknya berlawanan arah menuju ke kantor rektor entah untuk apa namun itu membuat Tia teringat pada biaya semester yang belum dia bayar. Sekuat tenaga Tia mencoba melepaskan Litha dan berjanji akan membayar biaya semester besok sebab menduga Litha akan membayarkannya untuk Tia meski Litha tak mengerti apa maksud perkataan Tia yang menyebut-nyebut biaya semester dia tak melepaskan Tia sampai berada di depan pintu kantor. Tak lama pintu itu terbuka oleh pria berkaca mata yang membuat Tia terbelalak.
Tia sempat akan melarikan diri namun Litha menahannya membuat Tia salah tingkah pertama kali berhadapan dengan seseorang yang selama ini disukainya, Haikal. Dia hanya senang melihat Haikal dari jauh, berhadapan seperti ini malah membuat detak jantungnya tak karuan. Litha mengawali percakapan seraya berjalan melewati koridor diikuti oleh Tia dan Haikal di sampingnya. Litha berkata bahwa dirinya percaya Tia bisa membantu Haikal memberi nama baik bagi kampus ini.
“Gue bukan desainer tha, cuma suka ngegambar aja.” Ucap Tia benar-benar merasa serba salah harus bekerja sama dengan Haikal. Dia tak pernah tahu Haikal adalah teman Litha sejak kecil dan sekarang saat Haikal terpilih menjadi seorang model dia meminta bantuan Litha untuk mencarikan desainer baginya sungguh di luar dugaan Litha memilih Tia sebagai desainernya namun Litha sendiri sudah percaya pada Tia sebab sering melihat hasil kerjanya di butik. Tia sudah bingung mencari alasan untuk menolak dia merasa kurang pantas bagi Haikal menurutnya pria keren seperti Haikal seharusnya mendapat desainer yang keren juga bukan seperti dirinya.
“Gue gak tau kalo jadi model gue harus punya desainernya dan bayaran buat desainer itu gak murah kan, mungkin kalo masih dari kampus yang sama kita bisa negosiasi setidaknya sama-sama memberi nama baik buat nama kampus kita.” Ucap Haikal membuat Tia mengangguk di luar kesadarannya sebab melihat tatapan mata Haikal yang berbinar.
“Yes! Akhirnya lo mau juga.” Ucap Litha merasa senang melihat anggukan Tia sementara Tia sendiri melongo menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan kesalahan fatal di luar kesadarannya Tia kesulitan berbicara menelan ludah saja seperti memakan telur bulat-bulat sebelum dia sempat berkata Haikal menjabat tangannya mengucapkan terima kasih lalu pergi seketika itu Tia memekik menyesali anggukan itu.
Tak ada yang dapat Tia lakukan, Haikal sudah menganggap Tia menyetujui menjadi desainer baginya dia hanya dapat menerima kesalahannya dan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi yang terbaik bagi Haikal. Seperti biasa sepulang kuliah Tia pergi menuju butik saat dia memasuki butik sudah ada Haikal disana tengah bercakap dengan ibunya Litha. Tia tak mengira harus bekerja sama secepat ini dia merasa canggung harus selalu berhadapan dengan orang yang dikaguminya sejak dulu apalagi sikap Haikal yang cool membuat Tia makin canggung dalam bekerja.
“Gue ada tiga kali pemotretan dengan tema yang beda-beda jadi setidaknya lo juga harus bikin tiga desain, oke Mut?” ucap Haikal seraya menoleh pada Tia
“Hah? Iya bisa jadi. Sorry gue biasa dipanggil Tia.”
“Suka-suka gue, lagian lo imut-imut kok.”
“Oke terserah. Temanya apa aja?” tanya Tia seraya menunduk menatap layar ponsel untuk menyembunyikan pipinya yang memerah. Haikal menyebutkan tema pemotretannya satu persatu lalu meminta Tia mencoba membuat desain, sebab merasa ragu Tia menawari Haikal untuk memilih desain yang sudah tersedia di butik itu namun Haikal menolaknya dia menginginkan desain baru. Apa boleh buat Tia harus menuruti keinginan Haikal sebab Haikal adalah bosnya. Tia berhasil membuat satu desain baju saat itu dan Haikal menyukainya dia berkata besok akan datang lagi dan menunggu desain yang lain.
Sepulang bekerja Tia terlihat ceria dia sangat senang Haikal menyukai karyanya dia segera mencari desain pakaian karya desainer terkenal lalu mencetaknya dengan printer.
“Mau jadi desainer gak usah gitu, kayak gitu plagiat!” ucap Shelly melihat Tia yang sedang susah payah mencetak dengan printer yang sudah pantas dibuang. Tia tak menjawab ucapan Shelly dia menguatkan hati agar air matanya tak tumpah, lagi pula Tia tak pernah memiliki niat untuk menjadi plagiat hanya saja jika dia melihat berbagai karya lain itu akan mendatangkan inspirasi baginya namun Shelly tak pernah mengerti.
Entah apa yang membuat Shelly selalu seperti itu pada adiknya sendiri. Tia sering berpikir mengapa jika dirinya melakukan kesalahan kakaknya malah mem-bully bukan memberi petunjuk atau masukan. Sekuat mungkin Tia bertahan hidup disana menahan air mata sebenarnya hatinya telah muak merasa tidak diakui sebagai anak. Ayah ibunya lebih memihak pada Shelly yang sudah menjadi seorang model tak peduli dengan cita-cita dan kebutuhan Tia mungkin kejadian saat Tia kelepasan mengangguk seolah menyetujui kerja sama dengan Haikal adalah jalan tuhan agar Tia memiliki penghasilan lebih untuk membayar biaya semester.
Sayangnya waktu Tia untuk merancang desain sering terganggu oleh Shelly yang sering memerintah ini itu seenaknya seolah Tia seorang buruh. Uang jajannya sering habis dipakai ongkos menuju tempat pemotretan untuk mengantarkan barang-barang Shelly yang tertinggal di rumah. Sesampainya di lokasi Tia tak pernah bertemu Shelly dia menitipkan barang itu pada karyawan sebab Shelly selalu meminta agar Tia tak berkata bahwa mereka adik-kakak. Tia hanya bisa menuruti permintaan Shelly meski saat itu Tia hampir menumpahkan air matanya merasa sedih kakaknya tak mau diketahui memiliki adik seperti dirinya seolah Tia tak pantas menjadi adik dari Shelly.
Malam itu keluarga Tia berkumpul di ruang tengah sambil menonton tv Tia hendak menceritakan dirinya telah bekerja sama dengan Haikal sebagai desainer namun tak ada waktu bercakap tersisa bagi Tia, Shelly merebut waktu itu menceritakan bahwa dirinya mendapatkan tanda tangan dari artis saat pemotretan tak lama pun Tia pergi meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya. Disana Tia menangis berhadapan dengan bayangannya di cermin dia sadar dirinya memang tak sehebat kakaknya namun haruskah sampai tak dihargai seperti ini, rasanya lebih menyakitkan dari pada putus cinta.
Tiap bekerja Tia lebih sering menghabiskan waktunya bersama Haikal hingga perlahan rasa canggung itu hilang dari Tia dan mulai akrab dengan Haikal.
“Bos kalo tema yang ini kayaknya cocok pake topi deh.” Tia memberi saran pada Haikal. “Tapi kaca matanya harus dilepas soalnya terlalu banyak ikon di kepala, ganti pake lensa oke?” Tia menatap menunggu jawaban dari Haikal yang masih terdiam.
“Oke deh, tapi tolong pasangin ya gue gak bisa. Soalnya belum pernah.”
Setengah jam lagi pemotretan akan dimulai Haikal sudah berbusana rapi lalu segera meminta bantuan Tia untuk memakaikan softlens. Saat itu Tia merasa gugup padahal rasa canggungnya sudah hilang mungkin karena jarak yang terlalu dekat membuatnya gugup. Haikal seolah menatap kosong saat telunjuk Tia hendak memasangkan softlens di matanya padahal dirinya menatapi wajah Tia, sudah lama timbul rasa kagum di hati Haikal dan Tia sama sekali tak tahu selama Tia bekerja Haikal sering memperhatikan keuletan dan keahlian Tia apa yang dikatakan Litha padanya memang benar, karya Tia tak pernah mengecewakan membuat rasa kagum itu tumbuh menjadi rasa suka.
Seminggu menuju pemotretan kedua Haikal merasakan ada yang berbeda dari Tia biasanya Tia selalu mengantarnya ke lokasi pemotretan dan memberi beberapa saran namun kali ini Tia tak pernah seperti itu lagi bahkan jarang berbicara dengan Haikal. Tia bersikap seperti ini sebab pernah melihat Haikal tengah asyik berbincang dengan Shelly saat itu dia berkata dalam hati Haikal lebih pantas dengan kakaknya dan Tia memaksa dirinya agar berhenti berharap sesuatu yang mustahil bagi dirinya berkata bahwa dirinya wanita yang buruk dan tak pantas untuk dekat dengan Haikal meski dirinya memiliki hati.
Tak bisa dipungkiri hati Haikal terus diselimuti rasa penasaran atas sikap Tia akhirnya dia menanyakannya pada Litha khawatir Tia memiliki masalah di luar pekerjaan. Tak ada jawaban yang memuaskan dari Litha dia berkata tak mengetahui apa-apa dari Tia sebab Tia orang yang pandai menyembunyikan masalah dengan keceriaannya. Haikal menyadari hal itu Tia memang selalu terlihat ceria saat bekerja apalagi mukanya yang imut seolah mencerminkan Tia adalah orang yang terbebas dari masalah seperti halnya anak-anak.
“Kenapa tanya-tanya Tia, lo suka ya?” Tanya Litha mencurigai Haikal.
“Enggak, khawatir ganggu kerjaan aja.” Ucap Haikal merasa belum siap mengakui perasaannya.
Sebelum merancang desain untuk pemotretan yang ketiga Tia mengalami problem di keluarganya. Malam hari saat dia akan menyeduh kopi dia mengendap menuju dapur dan tak sengaja mendengarkan percakapan ayah dan ibunya ternyata ibunya memiliki hutang dan meminta izin pada ayahnya untuk bekerja di luar tidak hanya menjadi ibu rumah tangga. Tia merasa kecewa saat tahu bahwa ibunya berhutang untuk membelikan pakaian baru untuk Shelly sebab dia seorang model. Dia tak jadi menyeduh kopi malah mengunci diri di kamar tak kuasa menahan tangis terus bertanya-tanya seburuk apakah dirinya sampai ibunya tak mau membantu membayar biaya semester kuliahnya dan hanya mengutamakan kakaknya.
Pagi hari saat sarapan ibu Tia mengatakan akan ada pembantu rumah tangga yang akan datang nanti sore dan ibunya menempatkan pembantu itu sekamar dengan Tia. Ini membuat Tia semakin kecewa dan kesal dia tahu pembantu itu datang sebab ibunya akan bekerja dan meninggalkan urusan rumah tangga itu dilakukan demi Shelly tapi kenapa pembantu itu harus sekamar dengan dirinya. Saat pembantu tiba tanpa pikir panjang Tia mengemasi barang-barangnya dan memutuskan untuk tinggal di kost-an. Beruntung kost-an yang sempat ditawarkan temannya minggu lalu belum ada yang mengisi, jadi dia segera kesana meski hujan deras dan hanya membawa barang perlengkapan untuk besok.
Di bawah derasnya hujan Tia menangis tanpa terlihat air matanya bercucuran bersama tetesan hujan yang membasahi dirinya. Dia berjalan menunduk di trotoar menuju ke kost-annya dengan air mata yang terus mengalir lalu langkahnya terhenti ujung sepatunya bertemu dengan ujung sepatu lain membuat Tia menengadah bertatapan dengan orang itu, dia Haikal.  “Mau kemana Mut? Kok ujan-ujanan.” Tanya Haikal seraya membuka payung lalu berjalan menemani Tia. Hanya diam, Tia tak kunjung bicara dia merasa tak perlu ada orang yang tahu tentang masalahnya. Tiba-tiba saja langkah Haikal terhenti lalu menghadapkan Tia bertatap mata dengannya membuat hati Tia mencelos.
Tangan Haikal terangkat mengusap pipi Tia, merasa ada yang berbeda dari air yang membasahi Tia meskipun sebelumnya dia mengira Tia basah kuyup karena air hujan namun nalurinya berkata air di pipi Tia itu berbeda, itu bukan air hujan. Saat itu Tia tercengang tak percaya Haikal mengusap pipinya dulu dia pernah berkata dalam hati bahwa yang dapat mengetahui tangisnya di balik hujan hanyalah orang yang menyayanginya dengan tulus Tia kembali mengingat ucapannya sendiri lalu bertanya-tanya ‘mungkinkah Haikal orangnya?’. Segera Tia menurunkan tangan Haikal yang mendarat di pipinya seraya berkata bahwa dirinya baik-baik saja.
Setelah sosok Haikal benar-benar menghilang Tia masuk ke kost-an membantingkan tubuhnya di kasur menatap atap yang agak kotor dia ingat kembali saat tangan Haikal begitu lembut mengusap pipinya sentuhannya yang hangat yang membuat Tia bertanya apakah Haikal orang yang menyayanginya dengan tulus. Pintu yang terbuka oleh hembusan angin menyadarkan Tia dan perasaan yang bercampur baur saat itu membuat Tia benar-benar lupa dia sedang berada di kost-an dia berbuat seperti kamarnya sendiri yang terbuka dia segera mengunci pintu tanpa ingat ucapan si pemilik kost-an kemarin pemilik kost-an mengingatkan Tia agar menggunakan kunci selot bukan kunci yang menggantung di pintu.
Maklum saja kost-an yang dipilih Tia hanya kost-an murah tanpa kamar mandi dan kunci pintuya sudah rusak sering kali macet. Saat Tia ingin keluar menuju kamar mandi, kuncinya macet dia kelimpungan mencari cara menyesali terlalu memikirkan Haikal tadi padahal sebelumnya dia sedang merasa sedih juga kecewa. Segera Tia mengambil ponselnya yang hanya beberapa persen lagi baterainya dia yakin Litha dapat menolongnya keluar dari sini. Belum sempat meminta tolong ponsel Tia mati dan dia meninggalkan charger-nya di rumah sebab sore itu Tia pergi dengan penuh emosi dan tak ingat ponselnya sudah lowbat. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain berteriak rasanya sempurna sudah sore ini.
Berulang kali Tia berteriak meminta tolong sambil tak henti menggedor-gedor pintu namun sepertinya tak ada yang mendengarnya dari luar, kecerobohannya ini merugikan dirinya sendiri Tia lupa mengganti bajunya yang basah kuyup hingga kini tubuhnya menggigil tak ada seorang pun yang dapat menolongnya disana. Tia sudah menyerah merasa lemas, pusing juga perut terasa perih tubuhnya terbanting ke lantai tak sadarkan diri dan dia hanya seorang diri di kamarnya. Ibunya menghubungi Tia namun nomornya tidak aktif dan ibunya sama sekali tak merasa khawatir hanya berprasangka bahwa Tia masih emosi belum bisa menerima ibunya bekerja di luar padahal Tia terkurung dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sudah dua hari Litha tak melihat keberadaan Tia di kampus dia agak khawatir lalu menduga Tia sibuk bekerja untuk Haikal yang akan menjalani pemotretan terakhir. Barulah Litha panik saat Haikal juga menanyakan Tia padanya mengatakan bahwa Tia tak pernah bekerja di butik. Litha menghubungi Tia namun nomornya tak aktif dan saat akan menghubungi keluarga Tia Haikal melarangnya sebab tahu Tia tinggal di kost-an. Sepulang kuliah Litha bergegas menuju mobil Haikal untuk pergi ke kost-an Tia bersama Haikal dengan kecepatan penuh Haikal melajukan mobilnya hatinya benar-benar dipenuhi rasa cemas.
Sesampainya disana pandangan Litha mengedar menatap beberapa kost-an kecil yang berderet dia tak percaya Tia akan tinggal di kost-an tanpa jendela seperti ini. Haikal segera menuju kamar milik Tia berusaha membuka pintu namun pintu terkunci lalu Haikal mengedor-gedor pintunya berharap Tia akan membukakan pintu sayangnya tak ada suara apapun dari dalam menimbulkan rasa panik. Sebab rasa khawatir yang amat sangat, Haikal mendobrak pintu itu dengan kuat dan ditemukannya Tia berbaring tak sadarkan diri di lantai dengan wajah yang pucat pasi spontan Litha memekik sementara Haikal mengguncang-guncang tubuh Tia tak henti menyebut-nyebut namanya namun Tia tetap tak bangun.
Dengan cepat Haikal memangku Tia ke mobilnya untuk pergi ke rumah sakit begitu tiba disana dokter menginfus Tia mengatakan bahwa Tia tidak mendapatkan pengobatan saat dia demam dan juga kekurangan vitamin serta nutrisi. Disana Haikal seorang diri menunggu kesadaran Tia, Litha pergi menuju rumah untuk membuat bubur. Perlahan mata Tia terbuka dia tak tahu sedang berada dimana dirinya berada sebab yang pertama kali dia lihat adalah Haikal.
“Bos..” ucap Tia dengan suara yang agak serak. Haikal tersenyum lalu memberi Tia minum sebab dalam keadaan berbaring Tia tersedak dan Haikal membantunya untuk bangun berganti ke posisi duduk lalu dia kembali duduk di samping Tia.
“Sorry bos ngerepotin. Mending bos cari desainer lain, soalnya pemotretan sebentar lagi.” Ucap Tia menatap Haikal dengan rasa bersalah. Haikal diam tak menjawab membuat Tia semakin merasa bersalah dia pun menunduk menatap tangannya yang terpasang infus sambil terus menyalahkan diri di dalam hati. Haikal lalu berdiri, Tia dapat melihat dengan sudut matanya menduga Haikal akan pergi. Tiba-tiba saja Haikal memeluk Tia membuat Tia terperangah dan benar-benar tak menduga Haikal akan seperti ini.
“Kalo gak sanggup lagi jadi desainer, gak masalah kok tapi lo tetep harus sehat dulu Mut.” Ucapan Haikal membuat jantung Tia berdebar-debar. Tak lama Litha datang memasuki kamar, Tia terlonjak sebab Haikal masih memeluknya dengan mata terpejam sementara Tia melihat Litha tersenyum lalu berjalan menghampiri. “Ekhm.. ekhm” Litha hanya berdeham begitu dia sudah ada di samping Tia. Merasa malu Tia mencoba keluar dari pelukan membuat Haikal membuka matanya dan melihat Litha sudah ada disana keadaan itu membuat muka Tia memerah sebab Haikal tak juga melepaskan pelukannya.
Saat itu Haikal mengungkapkan perasaannya pada Tia bahwa dirinya memiliki hati pada Tia dan mencintainya dengan tulus. Tia percaya pada apa yang dikatakan Haikal sebab hanya Haikal yang tahu tangisnya dibalik hujan. Tia tak menyangka Haikal mencintainya dia benar-benar bersyukur tuhan telah menjadikan Haikal sebagai pengganti dari kesedihannya selama ini. Itulah sebabnya Tia selalu kuat menahan air matanya sebab dia tahu air mata takkan abadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Air Mata Takkan AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang