Ethan's Secret

23 3 19
                                    

Rasanya hampir seabad sudah berlalu saat terakhir kali Ethan melihat Emma melambaikan tangan pada Granny yang membalasnya dengan senyum lebar di tangga beranda. Sejak Emma dan Lilian masuk universitas dan dia sibuk dengan kariernya sebagai gitaris freelance, mereka hampir tidak pernah lagi pergi bersama. Jika Ethan ada waktu maka tidak bagi kedua gadis itu yang sepertinya punya banyak agenda yang harus dikerjakan.
Pemuda itu melirik sekilas pada Emma yang belum juga merubah posisi. Masih menumpukan tangannya di jendela mobil meski Granny yang berdiri di tangga beranda melepas kepergian mereka tidak lagi tampak.
"Tingkahmu belum juga berubah."
"Apa maksudmu?" kata Emma lalu membetulkan duduknya. Ia menatap Ethan dengan penuh tanya.
"Kau seperti akan pergi berabad-abad meninggalkan Granny."
"Meski bukan berabad-abad, kita akan meninggalkan Granny bermil-mil jauhnya, bukan?"
"Granny bisa menjaga dirinya, Em. Berhentilah merasa khawatir."
Emma mengedikkan bahunya.
"Ya, kau benar. Setidaknya aku agak lega meninggalkan Granny dengan sepinggan pumpkin pie kesukaannya."
Ethan tertawa kecil. Ia lalu membelokkan kemudinya ke kiri, meninggalkan River Road. Hudson River tampak ramai dengan orang-orang yang mengayuh kayak atau kano. Pertengahan musim panas ini terlihat cerah dan waktu yang tepat untuk berpetualang menyusuri sungai. "Semoga cuaca hari ini benar-benar bersahabat," guman Ethan disambut anggukan setuju dari Emma.
"Kau sudah dapat pekerjaan lagi?" tanya Emma setelah bosan mendengarkan siaran radio dan melewatkan dua lagu country yang diikuti Ethan dengan siulan.
Ethan menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah mengisi beberapa aplikasi audisi di Explore Talent. Tinggal menunggu hasilnya," jawab Ethan menyebutkan sebuah situs tempat ribuan audisi dan lowongan pekerjaan bagi para musisi, artis dan juga model.
"Semoga berhasil."
"Thanks."
Ethan melirik sekilas pada gadis di sebelahnya yang pandangannya matanya tertuju pada deretan pohon di sepanjang jalan yang mereka lalui. Emma seminggu yang lalu dan Emma yang hari ini duduk di sampingnya memang agak berbeda. Setidaknya Ethan bisa melihatnya lebih gembira. Meskipun sendu di mata gadis itu tetap membuatnya bertanya-tanya. Apa yang ada dalam pikiranmu, Emma?
Sebab Emma yang dikenalnya sejak lama adalah gadis periang yang banyak bicara. Gerakan tangannya sebanyak kata yang keluar dari mulutnya. Tapi entahlah, sejak hubungan mereka berjeda, Emma tampak berubah. Meskipun di depan Granny tadi Emma bersikap seperti biasa, tapi dari matanya Ethan bisa membaca kesedihan yang samar. Mungkin karena Emma berusaha untuk menyembunyikannya.
"Sebentar lagi kita akan melewati Spackenkill. Kau mau singgah?" tawar Ethan yang lebih terdengar seperti sebuah gurauan memenggal lamunan Emma. "Kurasa Daphne tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama."
Emma menggelengkan kepalanya. "Kita bisa pergi lain kali. Aku tidak mau membuat Daphne menunggu."
Ethan mengedikkan bahunya. "Baiklah."
Saat menuju Spackenkill, Ethan tidak dapat mencegah munculnya ingatan masa lalu saat mereka masih duduk di bangku SMU.
"Aku tidak habis pikir," guman Ethan lalu melirik ke arah Emma sekilas. "Bagaimana bisa gadis tercantik di Spackenkill memilih menjadi seorang nerd," sambung Ethan lalu membelokkan mobilnya menuju jalan di mana berdiri Spackenkill High School, sekolah mereka. "Lebih senang bermain loyang daripada menari dengan pom-pom atau bergabung dengan Daphne berlatih balet." Ethan tertawa mengingatnya.
Dia tidak melihat Emma yang melirik tajam ke arahnya, menghembuskan napas lalu kembali menatap sendu ke tepi jalan. Kau sungguh tidak tahu apa-apa, Ethan.
"Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, kan?"
Ethan mengedikkan bahu.
"Memang tidak ada yang salah, Em. Hanya saja tingkahmu membuat mereka kesal. Kamu bersikap di luar kebiasaan."
"Bahwa si cantik ramping harus menjadi populer?"
Ethan menggangguk pelan.
"Kau bisa mendapatkan apa saja yang kau inginkan saat itu, hanya dengan menjentikkan jari. Kau ingat Donald, Eric. Hm... kurasa daftarnya terlalu panjang untuk kusebutkan. Mereka pengagummu, Em. Sayang sekali kau lebih memilih berkencan dengan resep-resep masakan ketimbang mereka."
"Aku tidak menyesal melewatkan kesempatan itu."
"Kau tahu, banyak gadis ingin menjadi dirimu."
"Yah, aku tahu. Bahkan sahabat baikku pun berpikir aku ini tidak normal," kata Emma tertawa. Sepertinya Ethan menemukan topik obrolan yang tepat. Setidaknya kabut di mata Emma perlahan menipis meski tak hilang sama sekali. "Aku ingat ketika Lilian mengirimiku surat-suratnya. Aku tahu dia marah karena aku menolak semua posisi bergengsi yang diinginkannya."
"Dia mengirimi surat-surat itu karena dia tidak tahu bagaimana harus marah padamu."
Emma menggangguk.
"Aku benar-benar tidak mau menjadi gadis pom-pom. Membayangkan diriku melompat-lompat lalu berteriak histeris sambil melambai-lambaikan pom-pom itu sangat menyedihkan. Aku lebih suka berada di dapur dan menantang diriku untuk bisa mewujudkan lembaran resep itu menjadi masakan lezat."
Ethan tersenyum mendengarnya.
Sejujurnya ia juga tidak suka melihat Emma menjadi salah satu gadis pom-pom yang berdiri di pinggir lapangan. Meskipun hampir semua cowok berharap bisa berkencan dengan salah satu dari mereka, tapi ia tidak tertarik. Ia lebih suka Emma yang sedang memasak di dapur. Sibuk dengan tepung, telur, loyang atau apapun yang digunakannya untuk memasak. Karena saat itulah, ia bisa melihat wajah sempurna Emma. Cantik dan bahagia.
"Ya, aku tahu kau lebih menyukai bumbu dapur ketimbang peralatan kosmetik. CIA tempat yang cocok untukmu. Dimana berat badan tidak membuatmu merasa tersisih."
Emma mengangguk setuju. "Kau benar. CIA surga bagiku."
"Aku rindu sekali masa-masa itu," guman Ethan mengakhiri lamunannya. "Apa kau tidak pernah membayangkan seandainya kau bisa kembali memutar waktu, Em?" sambungnya semakin menurunkan kecepatan mobilnya.
Emma ingin sekali memprotes tindakan sahabatnya itu tapi dia mengurungkan niatnya. Sebab dia juga merindukan masa-masa masih bersekolah. Masa-masa dimana ibunya masih hidup. Ayahnya tak pernah pergi jauh. Saat dia masih memiliki keluarga yang sempurna.
"Tidak pernah," jawabnya ketus.
Ethan mengerutkan kening tapi ketika tempat favoritnya terlihat di depan mata, dia mengabaikan keketusan Emma.
"Hei, apa kau tidak ingin ke sana?" seru Ethan saat melihat lapangan rugby, tempat ia biasa memainkan gitar di tepinya. Kadang-kadang Emma dan Lilian menemaninya. Tapi dia lebih banyak menghabiskan waktunya di sana sendirian.
Obrolan mereka terputus ketika ponsel Emma berdering. Tanda sebuah pesan masuk diterima. "Dari Daphne," serunya kemudian sibuk mengetik balasannya. "Daphne hanya ingin memastikan bahwa kita berangkat tepat waktu."
Hening.
Ethan berusaha memusatkan pikirannya pada jalan raya yang terbentang di depannya sedangkan Emma sibuk dengan ponselnya. Entah mengirim pesan pada siapa. Mungkin Daphne. Ethan tidak bisa memastikan. Namun dari ekspresi wajah Emma, Ethan yakin bukan Daphne orangnya. Ethan kesal karena suasana ceria kembali berganti muram.
Apa dia orangnya? guman Ethan melihat Emma buru-buru menyapukan ujung jari ke sudut matanya. Lalu membuang pandangannya keluar jendela. Apa dia menangis? Ethan menelan ludah. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa memaksa Emma untuk menceritakan masalahnya jika gadis itu tidak mau membaginya.
Tanpa sadar, Ethan menghela napas panjang.
"Daphne pasti kaget melihatmu," kata Emma memecah kesunyian. Dia selalu tidak tahan untuk berdiam diri lama-lama. Tapi setiap kali Ethan berusaha memulai percakapan panjang, dia ingin buru-buru menghentikannya.
Kening Ethan berkerut. "Kenapa?"
"Karena kamu sangat berbeda... dari biasanya."
"Menurutmu bagaimana?"
"Kenapa tanya aku?"
"Aku ingin dengar pendapatmu, Em."
Ethan terlihat agak gugup. Buku-buku jarinya terlihat menegang karena kuat mencengkeram kemudi. Ia sendiri heran mengapa pendapat Emma terasa begitu penting untuk diketahuinya.
"Err... kamu bukan seperti Ethan yang kukenal."
Ethan sudah menyangka Emma akan berkata seperti itu. Tapi tetap saja ada kadar rasa senangnya bertambah ketika mendengarnya. Please, Ethan. Dia sahabatmu sejak kecil. Perhatian Emma adalah sesuatu yang wajar. Kau saja yang besar kepala. Ethan ingin sekali menutup telinganya agar suara itu tidak terdengar. Tapi ia harus tetap berkonsentrasi mengemudi.
"Aku masih orang yang sama."
"Tapi penampilanmu..."
"Sejak kapan kau mulai menilai seseorang dari penampilannya?"
Mulut Emma melebar. "Aku bukan orang yang seperti itu!" Emma menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku hanya merasa... kau terlihat sangat berantakan."
"Mungkin karena pengaruh pertunjukan kemarin," kata Ethan mencoba memberi penjelasan dengan perubahan mendadak dalam berpenampilan. Sebetulnya Ethan sendiri kaget bisa mentransformasi dirinya hingga bisa terlihat mirip rocker sejati. Mungkin saja Emma tidak akan mengenalinya waktu itu, karena selama pertunjukan ia mengenakan jaket kulit dan aneka aksesoris ala rocker lainnya.
"Apa kamu mulai minum alkohol?"
Emma bertanya serius. Ethan pernah mengatakan ia tidak akan pernah menyentuh alkohol seumur hidupnya untuk sebuah alasan yang masih saja Ethan rahasiakan dari Emma. Gadis itu mulai berpikir jika pertunjukan bersama Rocky selama dua bulan bisa merubah penampilan Ethan lalu apakah prinsip Ethan yang satu itu belum juga berubah.
"Menurutmu?"
"Aku kira sangat susah bertahan di lingkungan yang tidak banyak memberimu pilihan."
"Meskipun tidak banyak tapi tetap ada, Em. Jangan lupa itu."
"Jadi..."
"Aku belum cukup tergoda untuk mengkhianati janjiku sendiri."
Entah kenapa Emma begitu senang mendengarnya. Setelah Ethan menceritakan bahwa ia bergabung dalam pertunjukan Rocky, ia merasa khawatir. Rocky punya band yang lumayan terkenal. Tidak saja dari kemampuan bermusik mereka namun dari kehidupan anggotanya yang sering kali meledakkan Hyde Park yang tenang dengan beberapa kelakukan 'ajaib' mereka.
"Syukurlah."
"Kau senang?"
"Tentu saja."
"Kau mau tahu alasannya?"
"Alasan?"
Ethan menggangguk. "Iya. Alasan mengapa aku tidak mau mengkonsumsi alkohol."
"Apa artinya itu... kau sudah siap untuk menceritakannya?"
"Kurasa iya. Karena kau sudah cukup dewasa untuk mendengarnya." Ethan berwajah sangat serius ketika mengatakannya. "Sebetulnya aku tidak menceritakannya dari dulu hanya karena tidak ingin kau menjauhiku."
"Kau menganggapku sepicik itu?"
"Waktu aku bersumpah tidak akan pernah minum alkohol, usia kita baru sebelas tahun. Kau ingat?"
"Kau menunggu waktu sembilan tahun untuk mengatakannya?" pekik Emma merasa tidak senang.
"Sebenarnya aku tidak sengaja ingin menyimpannya sampai selama itu tapi... ya... aku hanya tidak tahu harus mulai dari mana."
"Maafkan aku. Seharusnya aku menyadari bahwa setiap hal yang berlabel rahasia itu amat sulit untuk diungkapkan."
Ethan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"That's my Emma. She's already grew up."
Ethan bisa melihat bias keterkejutan di wajah gadis itu ketika ia mengucapkan kalimatnya barusan. Kalimat yang selalu bisa memerahkan pipi gadis itu dan membuatnya agak salah tingkah. Rona yang sejak kali pertama Ethan lihat, berhasil membuat debar di hatinya begitu menyenangkan.
"Kau tahu ayahku meninggal sejak aku kecil, kan?"
Emma menggangguk.
"Tapi kau pasti belum tahu penyebab kematiannya." Ethan sengaja membuat jeda. "Ayahku meninggal bukan karena sakit. Ayahku seorang pecandu, Em. Dia meninggal karena over dosis."
Emma menutup mulutnya. Ternyata Ethan benar. Sekarang saja tidak benar-benar siap mendengarnya ketika rahasia itu terungkap. Sampai-sampai ia tidak tahu harus berkata apa. Lelaki kecil periang yang dikenalnya sembilan tahun yang lalu ternyata menyimpan rahasia pekat dalam dirinya.
Mata Emma memanas tapi ia cepat menahan perasaannya agar airmata itu tak tumpah. Ia tidak mau Ethan melihatnya menangis.
"Itulah alasan kenapa aku tidak ingin menyentuh alkohol apalagi obat-obatan."
"I am so sorry, Ethan."
Pemuda itu membalasnya dengan segaris senyum tipis.
"Sebelum aku tinggal bersama Uncle James, aku tinggal bersama ibuku."
Ethan menghela napas. Lalu menepikan mobil ke tepi jalan. Emma tidak berusaha mencegahnya meskipun tahu Daphne tidak suka kalau mereka tiba terlambat menjemputnya. Tapi apa yang akan diungkapkan Ethan pasti sangat serius. Jadi, dia membiarkannya saja dan mengingatkan dirinya sendiri untuk mencari-cari alasan kalau-kalau Daphne kesal.
Emma menunggu sampai Ethan benar-benar siap untuk bercerita.
"Ibuku tidak siap mengurusi aku ketika ayahku meninggal. Dia tidak punya pekerjaan dan bergantung pada sedikit warisan nenekku yang kian menipis dari hari ke hari. Semenjak ayahku menjadi pecandu, ibuku pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan aku. Setiap kali aku membuatnya marah atau mengecewakannya, ibuku selalu mengatakan bahwa aku akan mewarisi keburukan ayahku dan mungkin akan berakhir sepertinya. Sejak itu aku bersumpah, aku tidak akan pernah menjadi pecandu seperti ayahku. Tidak akan pernah!"
Emma hanya mampu memandang Ethan tanpa kata-kata. Ia sungguh tidak tahu kalimat yang tepat untuk ia katakan pada sahabatnya itu.
"Untunglah ayahku mewarisi bakat terbaiknya bukan sifat buruknya. Bakat itulah yang membuatku hidup di dunia yang membesarkan sekaligus menamatkan nama ayahku."
"Ayahmu seorang gitaris juga?"
Ethan mengangguk. "Yang terbaik," kata Ethan terlihat bangga. "Ibuku salah satu fansnya. Mereka bertemu di pertunjukan ayahku."
Emma tertegun.
"Sayangnya cinta yang berawal manis itu harus berakhir tragis."
Emma mengangguk lalu mengusap sudut matanya. Cerita yang membuatnya sedih. Betapa selama ini dia tidak benar-benar tahu betapa berat masalah yang dihadapi cowok itu. "Kau tahu, karena itulah aku baru bisa menceritakannya sekarang. Menunggumu siap."
"Kau benar. Sekarang saja aku tidak tahu harus berkata apa."
Ethan tersenyum. "Kau tidak perlu mengatakan apapun, Em. Aku hanya ingin kau mendengarkannya saja."
Emma membalas senyumannya.
"Sekarang kau juga boleh menceritakan masalahmu padaku."
Mata Emma melebar. "Apa?"
"Aku tahu kau menyimpan sesuatu, Miss Grant!"
"Tidak ada apa-apa."
Emma melipat kedua tangannya di depan dada. Tanda ia sedang bertahan agar tidak diserang. Ethan hapal betul sikap Emma yang satu ini.
"Baiklah. Aku tahu, kau juga akan menceritakannya jika kau sudah siap," kata Ethan sambil mengedipkan matanya lalu menghidupkan mesin mobil. Meneruskan perjalanan.
Emma menoleh sekilas. Ia tidak mengiyakan ataupun membantah ucapan Ethan. Setelah rahasia itu terbuka, sepertinya atmosfir di sekitar mereka tampak berubah. Emma yang menyandarkan diri di kursi penumpang tampak memandang kosong ke jalan raya. Ethan yang ada di sebelahnya juga membiarkan keheningan itu melingkari mereka.
Memasuki New York City, mereka mulai merasakan perbedaan yang mencolok. Hyde Park dengan ketenangan yang menyenangkan dan New York City dengan keriuhannya yang membuat kota itu terasa lebih hidup. Di Hyde Park kau bisa menemukan deretan pohon yang menjulang namun di NYC kau akan terperangah melihat gedung-gedung pencakar langit yang tingginya melebihi pohon-pohon itu. Jika di Hyde Park kau hanya melihat manekin dipajang hanya di toko-toko pakaian maka di NYC, di mana saja manekin berjalan itu bisa kau jumpai.
"Aku lupa mengatakan padamu. Daphne sudah pindah. Flatnya ada di kawasan East Street."
"Untung saja. Aku nyaris berbelok ke arah yang salah."
"Sorry."
Setelah berputar dua kali dan bertanya pada beberapa orang, akhirnya mereka menemukan sebuah flat tua dengan pintu berwarna putih yang catnya terkelupas di sana sini.
"Kau yakin ini tempatnya? Daphne tinggal di tempat seperti ini?" tanya Ethan masih ragu. Emma pun tampak tidak percaya namun alamat itulah yang tertulis di dalam pesan yang dikirimkan Daphne tempo hari.
"Sebaiknya aku meneleponnya. Sebentar."
Emma sedang menekan tombol di ponselnya ketika seseorang menabraknya.
"Maaf," kata pria berkaos polo itu dengan senyum menyesal. "Aku terburu-buru hingga tidak melihatmu. Kau tidak apa-apa?"
Emma menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa."
"Lain kali kau harus lebih hati-hati," sela Ethan dengan cepat berdiri di samping Emma. Bersikap melindunginya.
"Sudahlah, Ethan. Aku tidak apa-apa."
Pria itu kemudian pamit meninggalkan mereka. Emma tertegun memandangi punggung pria yang berjalan menjauhinya.
Ethan menyenggol lengannya. Ada raut tidak senang di wajahnya.
"Kau kenapa? Pria itu memikatmu pada pandangan pertama, ya?"
"Apa?" Emma menggeleng. "Kau ini ada-ada saja."
"Kau tidak perlu memandangnya sampai seperti itu."
Emma mengedikkan bahu. "Entahlah. Tapi senyum dan matanya mengingatkan aku pada seseorang."
"Siapa?"
Emma mengatakannya dengan ragu, "Shane Galsworthy?"
"Siapa dia?"
Emma mengedikkan pundak, tidak ingin membahas tentang itu. "Ah, aku juga tidak yakin. Tidak mungkin Daphne mengenalnya." Emma mengguman tidak jelas. Ia lantas berjalan mendahului Ethan. Ia tidak ingin membuat Daphne menunggu mereka lebih lama lagi. Sekarang sudah lewat pukul sembilan.
"Akhirnya kau datang juga," sambut Daphne begitu membuka pintu. Ada sedikit raut kesal di wajahnya. Namun ketika melihat senyum Emma, ia langsung memeluk sepupunya itu. "Aku sudah lama menunggumu. Ayo, masuk." Daphne menarik tangan Emma. "Siapa yang mengantarmu?" bisiknya. Pandangannya tampak menyelidik.
Tawa Emma langsung meledak mendengar pertanyaan itu.
"Apa kataku. Daphne sampai tidak mengenalimu."
Dengan meringis Ethan melambaikan tangannya lalu mengikat rambutnya dengan pita karet warna hitam yang ada di pergelangan tangannya.
"Ethan?!"
Pemuda itu mengangguk risih.
Mulut Daphne melebar.
"Kau... ya, ampun aku benar-benar tidak mengenalimu. Aku sangka Emma-ku yang polos ini akhirnya jatuh cinta dan punya pacar. Kau benar-benar mirip rocker idola ibunya. Kurt Cobain," kata Dapne di sela tawanya yang berderai.
"Apa dia sepupumu, Daph?" Suara seorang pria di belakang Daphne sontak meredakan tawanya.
Gadis itu menoleh lalu menganggukkan kepalanya. Dia menarik tangan Emma dan menggiringnya ke arah pria itu berdiri. "Kenalkan ini Shane. Shane ini sepupuku, Emma dan sahabat terbaiknya, Ethan."
Ethan dan Emma saling bertatapan. Pria berkaos polo yang tadi menabrak Emma ternyata adalah kenalan Daphne.

***

Stolen HonorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang