Ch. 40. Journey

500 35 9
                                    

Yoooo, sebelum mulai, aku mau bilang kalo ini chapter terakhir dari Empty Street ^^ For now, let's just roll (?) hehe... (And don't forget to leave some feedbacks -3- vomment~)



Bergabung dengan klub membaca telah memberikan Wendy kesibukan-kesibukan yang ia dapat ia nikmati ketika menjalaninya. Setiap bulan, mereka selalu melakukan sebuah tantangan membaca buku untuk tiga puluh hari ke depan, dan itu merupakan salah satu dari alasan-alasan Wendy menyukai berada di sekolah barunya. Ia tidak menyangka dirinya akan menjadi jauh lebih mudah bersosialisasi dari sebelumnya. Mungkin hal itu tanpa sadar muncul dalam dirinya setelah semua petualangan dan kejadian yang ia hadapi bersama teman-temannya di Minnesota, yang dulu hanyalah sebatas orang asing yang sama-sama kebingungan akan semua hal yang terjadi. Ia merasa lebih percaya diri dalam mengemukakan pendapat serta keinginannya. Wendy sudah mengetahui bahwa dengan berkata jujur dan apa adanya akan membuat orang lain lebih mudah untuk mengenali dirinya dan memahaminya.

Sore hari itu Wendy pulang terlambat dari sekolah, lebih dari biasanya. Ia harus mengurus data-data klub untuk kegiatan amal yang akan diadakan beberapa minggu lagi, dan keperluan mereka ternyata jauh lebih banyak dan rumit dari pada yang Wendy kira.

Untungnya, ia ditemani oleh dua anggota lainnya yang juga akan menjadi pengurusnya, Fione Hendricks dan Tim Wallow. Saat waktu menunjukkan pukul enam, Fione sudah mengucapkan selamat tinggal dan bergegas pergi dari ruangan klub, dan sekitar lima belas menit kemudian barulah tiba giliran Wendy serta Tim.

Mereka berdua sedang berjalan di lorong yang kosong dan sepi ketika Tim bertanya, "Kau sedang menulis sebuah cerita, ya?"

Meski agak malu karena ditanya, Wendy tetap mengangguk."Ya," Akhir-akhir ini ia mulai sering mengetik cerita-cerita baru di untuk mengisi waktu luang. Dan juga, sebagai sebuah motivasi tersendiri untuk tetap melanjutkan kisahnya hingga akhir, Wendy iseng mencoba untuk mempublikasikan ceritanya itu ke internet. Ia memang senang membagikan ceritanya dan meminta teman-teman di klub sekolah untuk mengeceknya, namun tidak mengira informasi tersebut akan sampai ke Tim Wallow.

"Aku membacanya, baru mulai kemarin malam,"

"Oh, ya?"

"Ya," jawab Tim. Ia lalu tertawa pelan. "Aku tahu ini sangat canggung. Tenanglah, aku mengerti. Aku juga menulis cerita di Wattpad," Mereka berdua berbelok di sebuah tikungan, dan sama-sama terperangah saat mendengar kegaduhan dari pintu ruang kebersihan di depan, yang ternyata hanya berasal dari salah seorang pekerja yang menjatuhkan ember ke lantai lorong ketika hendak menyimpannya ke dalam ruangan. Keduanya pun diam-diam menarik napas lega dan terus melangkah.

"Aku hanya agak gugup apabila tulisanku ternyata masih kurang bagus, kau tahu?"

"Kita semua masih sama-sama belajar, bukan begitu? Tetapi kalau boleh jujur, aku sangat menyukai ceritamu, ide ceritamu. Yah, aku memang pecinta fiksi ilmiah,sih,"

Wendy tersenyum dan mengangguk-angguk. Sedikit rasa bangga ia biarkan merekah dalam dadanya. "Terima kasih," ujarnya agak terlalu pelan.

"Dan ceritamu itu—isinya memang tentang penyebaran virus beberapa bulan yang lalu, ya?"

Untuk menjawabnya dengan jujur, Wendy lagi-lagi langsung mengangguk. Ia mendapatkan inspirasinya dari apa yang memang telah ia lalui bersama teman-temannya. Beberapa detail ia masukkan, namun Wendy berusaha keras agar ceritanya tidak terlalu akurat dengan apa yang sebenarnya terjadi, terutama soal Falcon. Nama-nama karakter pun Wendy ganti, dan ada banyak hal lain yang ia tambah-tambahkan ke dalamnya. Tetapi jelas inti dari perjalanan yang ada di cerita itu masih sama. Mereka—para karakter yang ada—berusaha untuk memperbaiki suatu kesalahan besar yang berakibat buruk kepada banyak sekali rang.

Tiba-tiba saja, ketika Wendy dan Tim sampai di belokan lainnya, cowok itu mendekatkan dirinya ke Wendy dan berbicara dengan suara yang lebih dan sangat pelan. "Dengar, aku punya segudang informasi menarik yang belum pernah kuceritakan pada siapa pun kecuali beberapa orang tertentu, dan mereka bukan berasal dari sekolah ini,"

Mereka berdua berhenti berjalan dan Wendy mengerutkan kedua alisnya. Ia menatap Tim dan terus menunggu penjelasan apa yang akan dikemukakan olehnya setelah itu.

"Aku ingin memberitahukannya padamu karena setelah membaca tulisanmu, aku berpikir bahwa isinya terasa agak, atau malah sangat... benar, seolah-olah hal itulah yang memang terjadi ketika para warga kota sedang mengungsi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana,"

Masih belum ada respon dari Wendy. Tetapi sejujurnya, Wendy sadar ke mana mengarahnya pembicaraan ini. Sebuah dugaan yang besar kemungkinan akan kebenarannya mulai terbesit di kepalanya. Hal itu membuat jantung Wendy tiba-tiba berdegup dengan lebih kencang, dan di dalam koridor yang hening itu ia harap bunyinya tidak akan terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.

"Dan entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa kau tampaknya tahu apa maksudku dari menyampaikan ini," lanjut Tim. Ia meluruskan pandangannya ke arah Wendy, dan tatapannya seperti menyiratkan bahwa ada hal lain yang tersimpan dalam penjelasannya barusan—sesuatu yang lebih dari sebuah obrolan ringan belaka.

"Tunggu dulu," Wendy akhirnya membuka mulut. "Mengapa kau mengatakan bahwa isi ceritaku terasa sangat akurat?"

Tim menengok ke kanan-kiri dengan amat sangat waspada. Namun, ia juga tampak girang, malah tidak sabar. Seolah-olah, memang itu tepatnya respon yang ia inginkan dari Wendy, dan seperti sudah dari lama ia menunggu hingga gadis tersebut akhirnya mengatakannya. "Itu dia," bisik Tim. "Aku ada di luar sana ketika bencana virus itu terjadi, Wendy. Aku dan beberapa orang temanku yang lainnya."

***












*Foto di media: Annalise Basso
Lagu: It's Time- Imagine Dragons*

Empty StreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang