INTRO - 21st CENTURY
———————
—————Pemandangan kawasan Jogjakarta memang sangat mengesankan. Ditambah genangan air yang tercipta akibat hujan kecil yang kerap terjadi membuat Kota Jogjakarta terlihat menawan.
Aruna mengerjapkan kedua matanya sesekali. Ini akibat pekerjaan freelance yang menumpuk beberapa hari ini, ia tak sempat istirahat yang cukup. Ia ingin mencuri waktu untuk terlelap sesaat—
—ah, ponselnya sudah berdering terlebih dahulu sebelum ia memijakkan kedua kakinya di dunia mimpi.
"Hem, kamu mau nelpon aku untuk apa? Kamu ganggu banget!" ucapnya ketus dan disambut dengan tawa renyah dari seorang pria di seberang sana yang menelponnya.
Tidak ada balasan dari sana hanya sebuah tawa yang sedari tadi menghiasi telinganya, akhirnya Aruna buka bicara, "Audran, nggak merasa bersalah gangguin aku, huh?"
Pria yang dipanggil Audran itu kembali tertawa kecil sebelum membalas pertanyaan Aruna.
"Aish, kamu itu lagi tidur di trans 'kan? Kan, sudah ku bilang jangan tidur saat di angkutan umum. Itu berbahaya!" seru pria itu dengan bijaknya. "Coba kamu ceritain keluh kesah kamu ke aku, mana tahu aku bisa bantu, 'kan?"
Kalau Audran sudah bertanya lembut mengenai keseharian Aruna. Sudah pasti Aruna akan bertekuk lutut menceritakan semua keluh kesahnya.
"Aku bener-bener bad luck akhir-akhir ini! Kamu tahu nggak? Kalau Leon nggak mau diadopsi orang tua asuhnya? Aku sebel deh!"
Aruna terus bercerita sepanjang jalan, hingga transjogja berhenti di sebuah halte. Aruna melihat sekitarnya bahwa tinggal beberapa manusia yang tersisa di transjogja.
"Dran, aku putusin dulu, ya! Aku mau turun, nanti malam aku lanjut." ucap Aruna sambil berjalan lurus. "Aku minta maaf nggak bisa nemenin kamu di sana."
Aruna turun tepat di sebuah halte. Ia terduduk di sana untuk beberapa menit, sebelum menyadari kesalahannya. Ada dua kesalahan yang ia perbuat. Pertama, Aruna tak seharusnya turun di sini dan kedua, untuk apa ia menaiki angkutan umum sedangkan ia masih bisa berjalan-karena tujuannya tidak terlalu jauh.
Tapi ia terpaksa duduk di halte karena hujan yang tak henti-hentinya turun. Mau tidak mau ia menunggu sampe hujan reda atau menunggu ojek payung datang. "Biasanya bocah ojek payung suka ada di sekitar sini, tapi nggak ada sekarang, huft."
Belum semenit Aruna menggumam, seorang anak kecil berdiri di sampingnya. "Mbak, butuh payung?"
Aruna melirik anak kecil itu, sedikit heran karena bukan ojek payung yang datang melainkan seorang anak kecil penjual payung. "Yaudah dek, satu aja."
"Mau yang warna apa mbak?" tanya anak kecil itu sambil menunjukkan payung-payung yang ia jajakan.
"Yang ini," ucap Aruna sambil menunjuk warna biru laut yang sangat elegan di matanya.
"Ini mbak." Anak kecil itu tersenyum seraya memberikan payung berwarna biru. "Menurut majalah gadis minggu ini, warna biru bisa memberikan keberuntungan"
"Kamu baca majalah gadis ya, dek." Aruna memberikan dua lembar kertas berwarna ungu. "Padahal anak lelaki jarang baca majalah. Apalagi majalah gadis."
Anak kecil itu tersenyum sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Makasih, ya mbak!"
Kini, Aruna berjalan melewati trotoar jalan. Sebuah bangunan besar yang berada di sisi kanan jalan membuat Aruna berhenti untuk sesaat.
Aruna meremas bajunya, merasa sesak di dadanya. "Gue pernah nggak, ya ke sini? Kok ngerasa pernah, ya?" Setelah berkata demikian, Aruna kembali berjalan ke arah tujuannya.
"Ayok, dibeli dibeli posternya!" Seruan melengking yang tak jauh dari Aruna membuat Aruna merasa terpanggil. "Mbak, mau beli poster yang mana? Ada koboi cilik, smes, kangen ba—"
"Ah, maaf bu. Saya kurang tertarik." Setelah berkata demikian, Aruna kembali berjalan meninggalkan ibu penjual poster di tepi jalan.
Aruna menghentikan langkahnya, lalu berbalik ke arah gerobak yang penuh poster itu.
"Mau beli mbak? Ada poster boyband satu arah, pramuka anti peluru, lima detik dari musim pa—"
Aruna menunjuk salah satu poster yang menggantung di hadapannya dan menunjukkannya kehadapan ibu penjaja poster itu.
"Sabar ya mbak, dibungkus dulu."
Setelah Aruna menerima belanjaannya, ia kemudian membayar dan pamit kepada ibu itu.
"Gue beli ini buat apa, sih?"
Heran? Tentu saja! Pasalnya Aruna tidak berminat untuk mengidolakan pria-pria yang memiliki postur tubuh layaknya mannequin. Tetapi, hari ini ia membeli salah satu poster bergambar pria mannequin itu.
Sekilas kedua bola mata Aruna melirik sebuah etalase yang memikat hatinya. Bagaimana tidak, etalase toko itu berada di luar bangunan-tepatnya berada di depan bangunan alias di atas trotoar.
Aruna melangkahkan kakinya untuk sekedar melihat isi etalase tersebut.
"Mochi?" Aruna melihat isi etalase tersebut lekat-lekat. "Ini mochi yang kayak kartun Jepang itu?"
"Iya, dek." Terlihat pemuda berpakaian seragam sekolah melayani Aruna dengan senyum menawan.
"Mau mencoba mochi dingin, dek?" Tanya pemuda itu dan langsung disambut hangat oeh Aruna.
Aruna berdecak kagum melihat mochi dingin yang berada di hadapannya. Ini sih kelewat keren banget, toko mochi di luar bangunan dengan fasilitas lengkap seperti etalase dan kulkas.
"Boleh dicicipin?" tanya Aruna sambil menujuk mochi itu.
Pemuda itu mengangguk, menandakan Aruna boleh mencicipi mochi tersebut.
"Enak banget!" Seru Aruna kegirangan. "Gratis pula!"
Aruna menghabiskan gigitan terakhirnya lalu memberikan piring itu kepada penjual mochi, "Satu kotak mochi dingin deh, mas, yang Isi 12."
"Siap dek!" Pemuda itu langsung mengambil kotak yang tak jauh dari etalase lalu menyusun beberapa mochi dingin di dalamnya.
"Ehem," Aruna berdehem memanggil pemuda itu secara tak langsung. "Ehemm..."
Pemuda itu merasa terpanggil, lalu menoleh sejenak ke arah Aruna. "Kenapa dek? Mau nyicipin mochi gratis lagi?"
Aruna mengangkat tangannya ke atas etalase, memperlihatkan jarinya yang langsing dan bagus.
"Ah, habis cat kuku, ya? Itu warna pinknya bagus." puji pemuda itu tanpa tahu maksud Aruna.
Aruna menggerak-gerakkan jari manisnya untuk mengalihkan perhatian pemuda itu ke jari manisnya. "Saya sudah nikah, sedikit tersinggung karena saya lebih tua dari anda."
Pemuda itu hanya membulatkan mulutnya, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. "Maaf ya, mbak. Saya pikir lebih muda dari saya, soalnya... mbak pendek, sih"
"Nggak apa-apa kok mas, makasih banyak, ya!" Aruna buru-buru berlari setelah meletakkan beberapa lembar uang di atas etalase.
Langkahnya terhenti saat ia melihat sosok familiar yang sudah lama tak ia lihat.
"Lo mau ngapain ke sini?"
——//——
press the button >>next<<
———
While taking the last box out of the empty room
I looked back for a moment
Times we cried and laughed
Goodbye now—Moving On
KAMU SEDANG MEMBACA
Press The Button
Teen Fiction0:01 AM-error. number not found. Satu-satunya nomor ponsel yang terbesit di otak Aruna tak mengangkat teleponnya sejak ia kembali ke masa SMA-masa dimana ia memiliki segudang kenangan. Masih dengan menggenggam seikat bunga lili putih dan juga memelu...