---FADLY POV---
Aku kini tengah berada di dekat bukit. Aku tidak lagi duduk di ayunan itu. Aku tidak mau kepergok sama Chiko lagi. Bisa-bisa dia akan besar kepala nantinya. Menyangka kalau aku masih memikirkan dan memperhatikannya. Maka dari itu aku lebih memilih duduk di bawah pohon beringin yang rindang yang ada di bukit ini sambil memandangi ayunan itu. Siapa tau Chiko akan datang lagi. Jikalau dia datang dia tidak akan bisa melihatku karena ada semak yang membatasi tempatku duduk dengan ayunan itu. Namun mengapa rasanya hatiku kecewa ketika melihat ayunan itu tetap kosong. Mengayun sendiri terbawa angin. Mengapa aku kecewa chiko tidak datang. Sial, mengapa aku mengharapkan kedatangannya. Tidak, aku tidak mengharapkan kedatangannya..
__
Kau Tak kan Bisa
Jadikan Diriku Seperti Yang Kau Mau
Karna Ku Bukan Milikmu
Aku Adalah...
Seseorang Yang Pernah Kau Sakiti
Tapi Kau Tau Ku Bukan Milikmu Lagi...
Tak kan Pernah Ku Sesali dan Aku Ragukan Keputusan Ini
Sebab Pilu Tak Kan Berhenti Sampai disini Hanya Karna Dirimu
Tapi Ternyata Kau Pergi Tinggalkan Diriku, Cintaku dan Seluruh mimpiku.....
__
***
---RAMA POV---
"Oh begitu, memang keterlaluan itu si Fadly" kata Riyanti setelah aku menceritakan apa yang terjadi dengan Chiko
aku hanya menunduk lesu
"terus kenapa kemarin kamu tidak segera menolongnya jika memang kamu melihatnya?" tanya Riyanti bingung
"entahlah, aku juga tidak tau mengapa aku hanya diam saja. Makanya sekarang aku menyesal mengapa kemarin aku tidak menolongnya. Aku memang bodoh, bodoh!" jawabku memumukul-mukul kepalaku ringan
"sudahlah Chiko. Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini memang sudah kuasa Tuhan" kata Riyanti menenangkan
"tapi andai saja kemarin aku segera menolongnya mungkin keadaannya tidak sampai seperti ini" kataku sambil menunduk dengan kedua tanganku menopang kepalaku. Tak terasa air mataku telah menetes
"ya sudahlah, yang terpenting kita berdo'a supaya Chiko diberi kesembuhan" kata Riyanti
"aku memang laki-laki bodoh. Aku memang manusia tidak berguna. Yang bisanya hanya melihat orang yang kucintai di siksa orang lain tanpa melakukan sesuatu. Menyedihkan!!" makiku pada diriku sendiri
"kamu mencintai Chiko Ram?" tanya Riyanti agak terkejut
aku mendongakkan kepalaku mendengar pertanyaan Riyanti
"he, apa aku tadi bicara seperti itu?" tanyaku balik
"... " riyanti hanya mengangguk
"entahlah, yang jelas hatiku sakit ketika melihat Chiko mencium Fadly. Ada rasa takut kehilangan ketika melihat Chiko tergeletak tak berdaya dengan darah dimana-mana" ucapku datar
"sudah kuduga. Sebenarnya aku sudah merasa kalau kamu memang menyukai Chiko dari awal. Kamunya saja yang tidak pernah menyadarinya" kata Riyanti
"maksud kamu?"
"iya, sebenarnya aku sudah menyadari hal itu sejak dulu. Waktu itu, ketika aku melihatmu dan Chiko berciuman di foto. Yang aku rasakan, kamu merasa nyaman dan natural melakukannya. Seperti kamu memang menginginkannya. Bukan kepura-puraan seperti apa yang kamu bilang selama ini" jelas Riyanti
"apa kamu tidak apa jika aku mencintai Chiko?"
"maksud kamu?"
"mungkin kamu merasa aneh atau jijik mungkin"
"ya enggaklah, setiap orang berhat mencintai dan dicintai. Cinta itu masalah hati. Dan hati tidak pernah bisa memilih siapa orang yang harus dicintai. Jika cinta itu datang, hati tidak akan bisa menolaknya, siapapun itu." kata riyanti
"..." aku tersenyum simpul
FADLY POV
kenapa akhir-akhir ini aku selalu kepikiran sama Chiko? Kenapa hatiku juga tidak tenang? Apa chiko baik-baik saja setelah kejadian waktu itu? Kenapa dia tidak pernah datang lagi kebukit? Ya, akhir-akhir ini entah mengapa aku selalu pergi ke bukit dan berharap Chiko ada disana. Tapi tetep saja nihil. Sekarang aku malah bingung sendiri dengan keadaanku yang seperti ini. Benarkah selama ini aku sangat membenci Chiko? Apa benar fa'i itu sudah mati? Heh, menyedihkan sekali. Aku menertawakan diriku sendiri.
Kulihat Rama kelihatan terburu-buru ketika pulang sekolah? Ada apa dengannya? Sudah empat hari ini kuamati dia selalu terburu-buru jika pulang sekolah. Hal itu membuatku jadi penasaran. Lantas segera kuputuskan untuk mengikutinya diam-diam. Dia terus berjalan dengan langkah cepat. Dan aku tetap mengikutinya di belakang. Dia berhenti di halte. Akupun juga berhenti bersembunyi di balik pohon. Tak lama kemudian dia naik angkot yang berhenti di halte itu. Akupun segera menyetop taksi dan menyuruh sopir taksi itu untuk mengikuti angkot yang ada di depan.
Angkot yang Rama tumpangi berhenti di depan rumah sakit.
"stop pak!" kataku