Oktober 2016

936 70 148
                                    

Bagaimana bila akhirnya kucinta kau.
Dari kekuranganmu, hingga lebihmu.
Bagaimana bila semua benar terjadi.
Mungkin inilah yang terindah.

Bunga Citra Lestari - Tentang Kamu


-Awal Bulan Oktober-

"KALIAN ini sudah kelas tiga, masih aja males-malesan. Bingung saya harus pakai cara apa lagi biar kalian, tuh mikir," ujar Bu Rohaya selaku wali kelasku sekaligus kepala Jurusan Farmasi.

Sedari tadi, kelas hening dan senyap. Ada murid yang berani menatap kedepan, tepatnya menatap balik Bu Rohaya yang mengomel sembari berjalan bolak-balik, ada pula yang menunduk karena tak berani.

Jujur, aku sangat mengantuk karena cuaca dingin selepas hujan deras tadi. Aku menutup mulut yang menguap lebar dan kembali melebarkan mata menatap kedepan.

Saking tak kuat menahan kantuk, tubuhku merosot dari bangku.

"Hei, itu siapa di belakang? Jangan tidur kamu!" Teriak Bu Rohaya pun mengagetkanku dan membuatku membulatkan mata serta menegakkan tubuh.

Semua murid pun menatapku heran. Karena aku tak merasa tertuduh, aku menengok kesana kemari, siapa yang dimaksud Bu Rohaya tadi.

"Hei, kamu yang tadi tidur, kenapa kamu malah tengak- tengok?"

Tatapanku langsung terarah kedepan dan jatuh pada sorot tajam mata bu Rohaya. Ck, malang nian nasibmu, Ra.

Aku pun mengangguk dan tersenyum kaku sebagai pertanda permohonan maaf.

"Kamu sakit? Kok pucet dan lemes gitu, sih?"

"Nggak, Bu. Saya gak apa-apa," jawabku pelan.

"Oh, yaudah. Kelas tiga jangan sampe sakit. Absen harus bagus, kalo sakit kasih surat keterangan dokter."

Semua murid pun mengangguk lemah. Sebenarnya kami bosan, karena pesan yang ia sampaikan berulang kali.

"Minggu depan, praktek ilmu resep. Sekian dulu, assalamualaikum." Ia pun menumpuk bukunya menjadi satu dan memasukkan ke tasnya, lalu melangkah keluar dari kelas.

"Waalaikumsalam," jawab kami.

Seisi kelas pun menghela napas lega setelah beradu tegang tiap pelajaran Bu Rohaya.

Ya, kami memang sudah kelas tiga. Tapi, sampai saat ini pun kami belum terbiasa dengan aura intimidasi dari Bu Rohaya.

"Syukur-syukur gue absen terakhir, paling praktek lusa," ujarku pada Eriska yang sedang merapikan bukunya.

"Yeh, enak lo, mah. Kaga praktek, kaga olahraga pasti terakhir mulu."

"Ganti nama makanya," saranku seraya terkekeh.

"Yeh, lo kira ganti nama gampang? Emang kaga ngeluarin duit buat bikin nasi kuning?" Tanyanya kesal.

Aku pun tertawa dan lagi-lagi bersyukur namaku di urutan paling akhir.

"Ngetawain apa, sih lo, Ra? Girang banget kayaknya," tanya Winda yang duduk didepanku, ia membalikkan badannya demi bertanya.

"Kaga, Eriska mau jadi polwan katanya."

"Eh, ngarang aja lo!" Kata Eriska seraya menabok pundakku.

Winda pun tertawa walau dimukanya terpampang jelas raut bingung.

"Lo tawa tapi kayaknya nggak nikmatin banget, dah," tegur Eriska.

"Abisan gue heran, lo masuk Farmasi tapi cita-cita mau jadi polwan. Lah, ngapain?"

Choco Berry [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang