Chapter II

33 9 5
                                    

SKIT — Talk
—————
——————


"Lo kangen sama gue?" tanya Aruna untuk memecahkan keheningan sesaat—sedari tadi mereka sibuk menyeruput kopi masing-masing.

Ada beberapa menit Naura tak menjawab sampai bibirnya tergerak dan berkata, "gila aja gue bisa kangen sama lo." Dengan santainya ia kembali menyeruput kopi seraya mengambil kudapan di depannya.

"Walaupun gila gini, lo tetap sayang 'kan ma gue?" tanya Aruna sembari menyambar kudapan dari tangan Naura. "Lo itu sahabat apa musuh gue sih? Nggak ada tanda-tanda kalau lo itu sayang sama gue!"

Naura meletakkan cangkirnya di atas meja lalu menatap kedua bola mata Aruna intens. "Kalau lo bukan sahabat gue, pasti beberapa tahun yang lalu, lo udah gue telantarin."

Aruna yang sedikit kesal masa lalunya disinggung, menyunggingkan senyum paksaan kepada Naura. "Ah, iya iya, makasih lho, udah jagain gue."

Aruna dan Naura memang bertolak belakang, tetapi mereka saling mendukung dalam diam. Bisa dibilang mereka memiliki love-hate relationship sebagai sahabat. Ada kala bermain bersama, ada kala juga bertengkar—tapi lebih didominasi dengan bertengkar.

Tidak ada yang bersuara kecuali suara musik klasik yang menemani mereka sejak tadi. Aruna yang merasa waktunya terbuang sia-sia, kembali membuka obrolan duluan.

"Oh, ya. Gara-gara lo singgung masa lalu gue. Gue jadi penasaran sama masa lalu gue." ucap Aruna menghilangkan keheningan. "Gue itu gimana sih dulu orangnya?"

"Lo, itu biasa aja." balas Naura. "Ada saatnya lo jadi menyebalkan kayak anak kecil, ada saatnya lo jadi penyayang layaknya kakak."

"Cuma itu doang? tanya Aruna heran. Sebab, jawaban Naura sangat klise persis seperti yang Audran katakan tentang dirinya.

"Sebenarnya yang kecelakaan kan lo, kok gue yang lupa masa lalu, ya?" Aruna membuang muka sesaat, lalu kembali menatap Naura. "Gue jadi pengin kembali ke masa lalu."

"Aish, berhenti berkata konyol! Lo pernah bilang 'kan jangan ngungkit masa lalu? Tapi sekarang lo malah nanya masa lalu bahkan berkata ingin ke masa lalu."

Dari matanya sudah terlihat bahwa Aruna sedikit kesal dengan perkataan Naura. Aruna yang mendapat tatapan seperti itu hanya membuang muka dan mengerucutkan bibirnya.

"Duh, gue minta maaf udah ngomong kayak gitu." ucap Naura dengan memelas. "Lain kali, nggak bakal keulang, deh! Gue janji."

Aruna hanya diam, lalu merapikan bajunya yang sedikit kusut dan beranjak dari kursinya. "Gue pergi dulu, ada urusan di panti."

Naura terdiam sesaat, lalu membuka suara saat Aruna sudah di ambang pintu. "Gue besok ke panti, nemenin lo. Bi Anna yang nyuruh gue."

Aruna lalu berjalan meninggalkan Naura yang masih terduduk di cafeteria itu tanpa beban. Naura masih tak beranjak dari sana sejak kepergian Aruna beberapa menit yang lalu.

"Dia masih sama saja keras kepala."

>>•<<

"Na, ngapain kamu di sini?" suara melengking yang tak jauh berada dari Aruna membuat ia menghentikan aktivitasnya sesaat.

"Aku lagi ngurusin surat buat Leon, sekalian nyelesain gambar aku buat klien, bi."

Aruna terus berkutik dengan surat dan kertas sketsanya. Tangan kiri mengurus surat dan tangan kanan sibuk membuat sketsa kasar. Sungguh,

"Kamu seharian ini masih bikin video gitu?" Bi Anna duduk di sebelah Aruna, lalu menyodorkan secangkir cokelat hangat di atas meja. "Apa sih itu namanya, goblog—"

"Go-vlog, bi." Setelah berkata demikian, Aruna kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Hening. Tidak ada yang membuka pembicaraan lagi setelah Aruna membalas ucapan Bibi Anna.

"Daripada kamu di sini, mending kamu ngejaga Audran." ucap Bibi Anna yang membuat

"Tapi bi, ini surat-surat Leon gimana?" tanya Aruna menunjukkan puluhan lembar kertas kepada sang Bibi.

"Nanti bibi yang urus."

"Gambar aku gimana, bi?"

"Bibi tahu siapa klien kamu. Teman kamu itu, 'kan? Nanti bibi bujuk dia biar diperpanjang."

"Bi... nggak ngerepotin, nih?" Bibi Anna hanya menggeleng dan disambut baik oleh Aruna. "Aku pamit dulu, ya bi!"

"Ingat ya, ini cuma semalam bibi izinin!" jelas Bi Anna. "Sekalian, bikin keponakan saja di sana buat bibi."

Aruna terkekeh saat mendengar perkataan Bibi Anna barusan. Ia meninggalkan panti asuhan tersebut dengan senyum berseri. Senyum ceria yang sempat pudar selama lima tahun belakangan ini

>>•<<

Aruna memandang ruangan itu sekitar. Banyak perubahan yang terjadi di kamar itu. Tidak terlalu banyak alat medis yang tersedia di kamar itu, tak seperti minggu lalu.

"Dran, kamu udah agak baikan?" Aruna membuka suaranya sebagai pertanyaan pertama setelah seminggu tidak bertemu.

Audran hanya mengangguk pelan. Terlihat senyum Aruna terukir setelah mendengar jawaban Audran. Lalu ia memeluk hangat pria itu sesaat.

"Kamu kesambet apa, sih? Tumben mau meluk kayak gini." kata Audran.

"Nggak boleh?"

"Boleh, aja. Kamu siapa aku coba, sampai aku larang kamu meluk aku?"

Aruna meletakkan keranjang buah-buahan dan sekotak makanan yang ia bawa jauh-jauh di atas nakas. Aruna memperhatikan Audran dari ujung kepala secara rinci. Seperti ada yang berubah dari seorang Audran.

"Agak kurusan, nih?"

"Namanya juga orang lagi sakit. Kamu kira aku gendutan kalau sakit?" tanya Audran sembari mendelik ke arah Aruna. "Orang sakit bakal kurusan kecuali, kamu Na."

Aruna yang tidak pintar melanjutkan percakapan, hanya terdiam membisu. Audran hapal tentang luar dan dalam Aruna, mau tak mau ia terus mencari bahan percakapan yang bagus.

"Ah! Kamu ingat adeknya bang Aaron?" Aruna hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Audran.

"Kamu tahu? Adeknya bang Aaron persis kayak aku! Dia sama-sama sakit kayak aku ..."

Alih-Alih mendengarkan cerita Audran. Aruna malah terus memkirkan pertanyaan Audran sedari tadi.

Sejak kapan ia memiliki teman bernama Aaron? Bahkan Audran saja tidak pernah menceritakannya. Tetapi hari ini ia menceritakannya secara jelas. Menceritakan semua masa lalu mereka, tanpa Aruna ingat.

"... kamu nyesel juga telat bawa pendonor ginjal—"

"Ah, Dran. Aku pulang dulu, boleh?" tanya Aruna dan Audran membalasnya dengan senyuman dan dilanjuti dengan cengiran khasnya.

Pikirannya masih berputar-putar. Tak seharusnya ia meninggalkan Audran hanya karena ia harus mencari masa lalu yang Aruna lupakan. Tapi tekadnya bulat, ia akan mencari cara untuk bisa kembali mengingat semuanya.

——//——

press the button >>next<<

———

Same day, same moon
24/7 every moment repeats
My life is in between
Jobless twenty-somethings are afraid of tomorrow

—Tomorrow

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Press The ButtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang