Aku selalu bermimpi, bermain di taman, tertawa riang bersama ayah dan ibu. Setelah kelelahan kami akan makan bekal buatan ibuku sampai kenyang. Kemudian kembali bermain dan tertawa sepanjang hari.
Sayangnya dunia tidak sebaik itu. Di penghujung abad ke-21 yang lebih orang kenal sebagai Zaman Kegelapan Modern ini, tidak ada yang namanya kebahagiaan. Perang kembali membasahi daratan dengan cairan besi dan mengkabuti udara dengan serbuk mesiu. Membumihanguskan hasil peradaban ratusan tahun umat manusia.
Perang Dunia Ketiga, perang dunia terkejam dan terlama yang pernah dicatat dalam sejarah. Dipicu kelangkaan sumber daya dan perlombaan teknologi, membuat perang ini sebagai perang tak bermoral sama sekali. Perang tanpa kebanggaan yang hanya ada untuk berebut sumber daya dan mengurangi populasi manusia. Pada perang ini juga banyak ilmuwan dan kaum terpelajar dibunuh masal hanya karena takut atau iri belaka.
Tujuh tahun lamanya perang berlangsung, dan akhirnya berhenti setelah dampak yang dialami lebih besar dari yang diperkirakan. Namun, bukan berarti pertikaian sudah usai. Di perbatasan-perbatasan negara, masih sering ada baku tembak dan pertumpahan darah. Contohnya saja di Indonesia, pertempuran maritim di Laut Natuna Utara masih berlangsung untuk memperebutkan wilayah memancingnya dengan China. Begitu juga di Papua, berkali-kali Australia ingin mengklaim wilayah di sana, tetapi belum juga mendapat hasil.
Belasan tahun berlalu, tetap saja perang belum berakhir. Efek dari perang yang tidak berkesudahan membuat sumber daya di seluruh dunia semakin menipis. Namun, demi mengais sumber daya yang hanya tersisa secuil itu, perang pun tak terhindarkan. Begitu terus lingkaran setan ini berputar tiada akhirnya.
Kelaparan dan ketakutan, mungkin kedua hal itu bisa dihadapi selama kita masih bisa tertawa. Cairan endorfin dapat menjadi obat penenang ampuh di kondisi dunia yang gila ini.
Namun, tertawa adalah hal tabu di kota ini.
Di Banjarmasin, tindakan sepele yang hampir selalu dilakukan oleh milyaran orang itu, diatur dalam hukum agar tidak seorang pun melakukannya. Alasannya sederhana saja. Tertawa di kota ini, sama dengan mati.
Saat aku masih anak 12 tahun yang tidak peduli di sekitar dan sibuk bermain-main, tragedi itu terjadi. Tidak tahu bagaimana asal muasalnya, salah seorang teman sekelasku mulai tertawa terkekeh-kekeh. Layaknya bara api kecil di padang rumput kering, tawa itu menyebar cepat ke seisi kelas. Teman-temanku terus tertawa tak hentinya seperti kesurupan sesuatu. Meski air menumpuk di sudut mata mereka, meski tenggorokan mereka mengering sampai terbatuk-batuk, meski kantung kemihnya jebol dan merembes membasahi celana, mereka tak juga berhenti. Hanya saat denyut nadinya menghilang sajalah tawa itu tak terdengar lagi.
Aku tau setelahnya, beritanya tersebar di televisi nasional dan lokal, Banjarmasin diserang bioterorisme, begitulah katanya. Ribuan orang dikabarkan meregang nyawa setelah tertawa terbahak-bahak di hari itu.
Kami yang saat ini masih hidup bukan berarti aman. Virus itu masih mengendap dalam tubuh kami, menunggu waktu kambuhnya saat kami tertawa. Ancaman mematikan tak dikenal dan juga cepat menular, tidak heran jika pemerintah memutuskan untuk karantina total kota ini.
Hidup dalam kondisi seperti ini, tentu tidak mungkin untuk mewujudkan mimpi bahagia itu. Lagipula kedua orang tuaku telah tiada. Mimpi itu hanya akan tetap menjadi mimpi berapa tahun pun aku menanti.
Kini aku sudah berumur 17 tahun, lima tahun telah berlalu sejak bioterorisme terjadi. Namun, obat untuk virus ini masih juga belum ditemukan. Virus yang kemudian disebut pemerintah dengan nama resmi LOL ini benar-benar enigma bagi para ilmuwan. Bagaimana virus ini dibuat, bagaimana caranya hidup di tubuh inangnya, bagaimana virus ini aktif dan membuat tawa tak terhentikan, semua masih tanda tanya.
Virus ini hanya menjangkit pada manusia. Dengan kata lain, sampel penelitian yang bisa mereka dapatnya hanyalah dari manusia. Tidak heran jika para peneliti melakukannya dengan unsur kehati-hatian. Namun, perang jugalah penyebab utama tersendatnya penelitian ini. Bukan hanya pada perang yang lalu banyak orang pintar terbunuh, perang jugalah yang menyebabkan dana untuk penelitian susah untuk dicairkan.
Bagaimanapun kondisinya, aku sudah bertekad dari dulu untuk menyelesaikan sendiri penilitianku dan menyembuhkan penyakit ini. Meski hanya seorang anak SMA yang sembilan bulan lagi hengkang dari sekolah, aku merasa tidak akan kalah dengan para peneliti lainnya. Malah, justru karena aku masih SMA aku harus menyelesaikannya.
Setelah berumur 18 tahun, seluruh warga sipil diwajibkan mengikuti program Bela Negara selama dua tahun lamanya. Aku tidak bisa membiarkan penelitian ini berdiam selama dua tahun. Apalagi jika aku menjadi bagian dari militer, artinya aku harus menjadi anak buah orang itu. Aku lebih baik tertawa terbahak-bahak sampai mati daripada harus menjadi anak buahnya.
Andai saja ada yang bisa membuktikan teoriku, dari sana aku bisa menemukan titik cerah dari kebuntuan penelitianku sejauh ini. Sial memang.
Aku sebenarnya bukan orang yang begitu percaya dengan kata takdir. Menyerahkan segala kesuksesan atau kegagalan dengan embel-embel takdir, menurutku hal yang sangat pengecut. Namun, kali ini saja aku akan berkata, bahwa pertemuanku dengan gadis ini benar-benar sebuah takdir.
"Semuanya duduk di bangku masing-masing!"
Hari itu hari Selasa, langit bersinar cerah di pagi hari tanpa awan sebaris pun. Pak Setiyo masuk ke kelas agak terlambat seperti biasanya. Jika dia melakukan hal biasa, aku tidak akan melepas penaku untuk mencoret-coret buku. Namun, kali ini berbeda. Seorang gadis mengekor di belakangnya.
"Hari Jumat lalu, satu lagi guru dari SMA 7 meninggal dunia. Karena kekurangan tenaga pengajar, murid-muridnya didistribusikan ke sekolah-sekolah terdekat. Salah satunya akan menjadi teman sekelas kalian mulai hari ini sampai kelulusan. Silakan Canaria perkenalan diri."
"Hai semuanya, namaku Canaria Casella, panggil Canaria aja gak apa. Salam kenal."
Singkat memang perkenalannya, tapi sangat berdampak. Bukan karena parasnya yang cantik, bukan juga karena suara lembut menenangkannya. Tak satu pasang mata pun beralih menatap wajah gadis bernama Canaria itu. Semua membelalakkan mata sambil bergidik ngeri dan pucat pasi melihatnya.
Di dunia gila di mana tertawa dapat membunuh orang, muncul seorang gadis yang lebih gila seakan menantang dunia itu sendiri. Gadis gila yang yang cukup berani menarik sudut bibirnya ke atas membentuk lengkungan lebar. Gadis gila, sekali lagi kukatakan, gadis ini gila.
Karena dia tersenyum.
To be continued
Author's Note:
Akhirnya chapter pertama hasil remake kepublish juga. Dibandingkan sebelumnya lebih pendek sih, infonya juga sengaja kupadatkan biar gak terlalu berasa rubish banget gitu. Kalau kalian pembaca lama, kuharap bisa dibaca ulang lagi yah. Soalnya ada beberapa detail yang kuubah, terutama setting dan timeline-nya. Untuk pembaca baru, selamat datang dan selamat menikmati. Jadi ini ide lama, ide yang jauh lebih lama daripada Esper Song (kalau tau). Salah satu dari tiga ide pertama proyek novel orisinilku tujuh tahun lalu. Temanya keliatan agak berat, tapi sebenarnya nggak. Karena ini perpaduan antara thriller comedy, kisah di mana kita mungkin menertawakan apa yang tokoh cerita ini takuti segenap jiwa. Ke depan akan ada bumbu romance juga, walau dikit.
Jangan sungkan untuk berkomentar tentang apa pun, kalau ada waktu bakal kubalas kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
L.O.L
Fiksi IlmiahTertawalah sebelum tertawa membunuhmu! Hari itu, satu per satu orang berguguran, meninggalkan dunia dengan tawa kencangnya. Hasil diagnosa menyatakan semua ulah virus baru yang kemudian dikenal dengan virus LOL. Bukan hanya mematikan dan tak tersemb...