01*

126 15 0
                                    

Sinar matahari siang ini begitu terik. Saking teriknya mampu membuat Inara merasa bagai berada didalam neraka paling bawah alias neraka jahannam.

Peluh sudah membasahi pelipisnya, rasa dahaga serta udara yang bisa dibilang sangat panas membuat Inara melangkahkan kakinya lebar lebar. Otaknya pun sekarang juga sudah menyuruh Inara untuk memasuki mini market terdekat.

Mungkin sebotol minuman dingin mampu membuat dahaganya hilang. Membayangkan setetes demi setetes air dingin yang mengalir ditenggorokannya pun membuat Inara bertambah mempercepat langkahnya.

Minimarket dengan tulisan buka itu akhirnya membuat senyum dibibir Inara mengembang. Dengan cepat Inara langsung membuka pintu dan menuju ke arah tempat minuman dingin. Hawa dingin dari show case itu mampu membuatnya merasa lega.

Setelah mengambil sebotol minuman dingin dengan rasa jeruk Inara akhirnya menuju ke arah meja kasir. Hendak membayar barang yang akan ia beli. Tapi, tunggu mata Inara yang super duper tajam langsung membulat.

Tepat dihadapannya. Cowok impiannya. Aidan. Iya, Aidan. Cowok itu sedang mengantri didepannya. Tuhan, inikah yang namanya berkah?

Dengan jantung yang sudah berdegup kencang Inara memasang ekspresi santai dan datarnya. Berbeda dengan keadaan jantungnya yang seakan mau copot.

Cowok bertubuh tinggi dengan balutan kaos hitam itu kelihatan sangat tampan. Belum lagi rambut jabriknya, astaga Inara rela berlama lama di dalam mini market ini.

Hingga, sang kasir akhirnya berbicara kepadanya dan menghilangkan lamunannya.

"Mba?" tanya kasir tersebut.

Inara langsung menggeleng,"Ya, mba ini aja" ucapnya cepat.

Inara langsung mengeluarkan uang sepuluh ribuan ke mba mbak kasir itu. Kasir itu akhirnya tersenyum dan memberikan belanjaan Inara.

Inara hendak beranjak hingga ia melihat sebuah dompet berwarna hitam yang terjatuh tepat dibawah kakinya.

"T..tunggu? jangan jangan itu dom-" Inara langsung berlari mengejar Aidan.

"Aidan!" teriaknya, suara Inara cukup besar hingga mampu membuat cowok yang berada pada jarak sekitar sepuluh meter itu berbalik sambil mengernyitkan dahi.

Inara mendekat sambil mengatur napasnya. Mengatur napas sekaligus ritme jantungnya yang sudah berdetak diatas normal.

"Ini punya lo bukan?" ucap Inara to the point sambil memberikan dompet tersebut.

Aidan tampak mengernyitkan dahi lalu merogoh saku celananya. Benar, itu dompet miliknya.

"Makasih" ucapnya singkat sambil tersenyum tipis.

Inara menggangguk.

Astaga, the first time Aidan ngomong sama gue batinnya.

"Nama lo si-" ucapan Aidan terpotong kala Kaelyn sang pacar dan sang pujaan hati Aidan mendekat.

Dengan tampang merendahkan. Cewek cantik belasteran Belanda-Indonesia itu langsung merenggek manja ke arah Aidan. Membuat Inara langsung mengernyitkan dahinya, jijik.

Kaelyn tanpa malu lalu bergelanjut manja dilengan kokoh Aidan. Memberi efek tersetrum pada ulu hati Inara. Inara sakit, sungguh sakit dan sesak disaat bersamaan saat melihat keromantisan mereka berdua. Tanpa disangka pun Aidan tersenyum sumringah tangan kanannya pun mengelus puncak kepala Kaelyn.

"Kok lama sih sayang?" tanya Kaelyn dengan suara yang dibuat buat.

"Dompet aku jatuh tadi.makanya lama" jawab Aidan.

Sungguh, cara bicaranya dengan Kaelyn berbeda seratus delapan puluh derajat saat dengan Inara.

Inara mendengus, lalu memilih berbalik dan melangkahkan kakinya menuju ke halte dekat mini market. Lebih baik ia pergi sekarang dibanding harus terus menerus melihat adegan romantis bin menjijikkan tersebut.

***

Inara tersenyum geli. Lagu dari JKT 48 berjudul Fortune cookie sepertinya sangat cocok untuk dirinya. Liriknya yang benar benar mengena sekaligus menyindir dirinya.

Harus, apa sih gue? biar lo bisa ngeliat gue Dan? Batin Inara.

Suasana cafe ini terlihat semakin sepi. Sementara, Inara masih asyik dengan lamunannya. Ditambah iringan lagu dari adik AKB 48 itu menambah Inara semakin asyik melamun.

Secangkir frappucinno yang ia pesan tadi pun sepertinya sudah dingin. Inara sama sekali tidak menyentuhnya. Cewek itu masih mengingat ingat kejadian siang tadi.

"Perfect couple ya, kayaknya" gumamnya pelan.

Tatapan Inara semakin sendu, walau dihadapan orang lain ia bersikap super duper ceria dan tidak bisa diam. Namun, saat ini Inara memilih diam. Rasanya ia ingin sekali berteriak di telinga Aidan kalau ia sangat menyukainya. Eh, ralat sayang malah.

"Boleh gabung?" tanya suara berat khas seorang cowok yang amat ia kenali.

Inara akhirnya menoleh. Matanya membulat sempurna. Semburat senyum pun tercipta di wajahnya.

"Kelvin?" ucap Inara,"Inget gua gak?" tanyanya.

Cowok dengan balutan sweater abu abu muda itu mengganguk.

"Ya iyalah, makanya gua modus buat duduk disini" kekehnya pelan.

"Btw, lo kenapa?" tanya Kelvin,"Masalah cinta pasti nih?" godanya.

Inara mengganguk. Dasar Kelvin, walaupun sudah tidak bertemu hampir dua tahun cowok itu masih sama saja. Suka menggodanya.

"Kapan ke Jakarta?" tanya Inara antusias.

"Dua hari yang lalu Na." jawab Kelvin sambil menyesap kopi panasnya.

Rasanya Inara sangat bahagia. Kelvin Nathaniel sohibnya dari SMP akhirnya bisa ketemu lagi. Cowok itu bertambah ganteng aja. Rambut yang sengaja ia panjangkan, sweater abu abu muda, serta celana jeans hita serta tatapannya yang hangat.

"Lo kenapa ngeliatin gua begitu?" tanya Kelvin sarkas.

"Ih, pede lo" delik Inara.

Jujur saja, Kelvin hari ini terlihat sangat tampan. Mungkin, efek lama tidak bertemu.

"Elah, kalo enggak kenapa muka lo merah Na?" goda Kelvin.

Inara langsung memukul bahu Kelvin lumayan keras. Cowok itu meringgis, Inara memang punya kekuatan badak.

"Sadis lo! calon calon BDSM" timpal Kelvin.

Mata Inara langsung mendelik, kini ia memajukan bibirnya sesenti. Cewek itu nampak kesal.

"Hahahahah, bercanda elah baperan lu ma" ucap Kelvin cepat.

Takut kalau kalau cewek dihadapannya bakal mengamuk seperti kejadian dua tahun lalu. Wah, kalo sudah ngamuk bisa bahaya.

Dan, akhirnya dua sahabat itu kembali bercengkrama. Memulai percakapan yang ringan dari bagaimana kabar lo, tinggal dimana, sekolah dimana, bahkan sampai membahas hal gak penting sampai negatif sekalipun.

Dan, pada saat itu juga mood Inara berangsur angsur membaik.

***

AIDANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang