Aku seorang pria bernama Tirta, pemuda kampung yang pergi merantau ke ibu kota untuk mengadu nasib. Seperti air yang mengalir, aku pun mengikuti arus aliran yang dapat membawaku pada sebuah keberuntungan. Menginjak usiaku yang ke-23 tahun, aku bekerja pada seorang Kapolres di daerah Jakarta sebagai asisten pribadinya, setelah sebelumnya aku bekerja di berbagai perusahaan yang menjadi wadahku untuk mendapatkan rejeki. Entah, angin apa yang berhembus, hingga aku bertemu dengan Bapak Kapolres itu yang kini menjadi boos-ku. Mungkin, inilah skenario Tuhan yang sudah digariskan untukku, dan aku pun harus menjalani peran ini dengan rasa ikhlas dan penuh rasa syukur.
Tirta
Sebagai asisten pribadi dari seorang Kapolres, tugasku tidak terlalu berat, aku hanya melayani boos-ku pada saat beliau membutuhkan aku, selebihnya aku bebas, santai dan memiliki banyak waktu luang. Dan sebagai pelampiasan pada saat waktu senggang itu biasanya aku manfaatkan untuk bermain smartphone-ku, aku berselancar di dunia maya untuk sekedar mendapatkan informasi maupun berkenalan dengan teman-teman baruku lewat aplikasi media sosial yang lagi ngetren di kalangan masyarakat pengguna internet, sebut saja Facebook, Twitter, Path, Instagram dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dari aplikasi sosmed tersebut, aku berkenalan dengan seorang pria yang keberadaannya tidak jauh dari tempat tinggalku. Namanya Geo Kut Anugrah, nama yang cukup unik karena jarang dipakai oleh orang Indonesia. Awalnya kita chating biasa lewat fitur berbagi pesan yang ada di aplikasi Facebook, kemudian kita berlanjut bertukar nomor telepon dan pin BBM ( BlackBerryMessenger).
Karena kerap ber -Chat-Chit-Chut, kami pun jadi semakin akrab dan semakin tertarik antara satu dengan yang lainnya. Tiap hari kita berkomunikasi melalui ponsel kami untuk mengabarkan kondisi kami masing-masing. Hingga suatu hari, aku mendapatkan kabar kalau Geo Kut sedang sakit. Dia mengatakan, kalau dia menderita radang tenggorokan dan mengalami demam yang cukup tinggi. Mendengar kabar yang kurang menyenangkan begini, aku pun berniat untuk membesuknya. Walaupun aku belum tahu persis di mana alamat lengkap rumahnya, tapi itu semua tak menyurutkan niatku untuk berkunjung dan menemui Geo. Entah mengapa, muncul dalam diriku rasa iba dan kasihan terhadapnya, sehingga tepat pukul 21.00 WIB, setelah jam kerjaku selesai, aku berangkat menuju kerumahnya. Namun sebelumnya, aku mampir ke sebuah apotik 24 jam, guna membeli obat anti radang dan paracetamol. Berbekal dari petunjuk lokasi yang diberikan oleh Geo, aku menyelusuri jalanan mencari sebuah alamat bersama motor kesayanganku.
Setelah mutar-muter dan bertanya pada beberapa pemuda, akhirnya aku menemukan alamat rumah Geo juga.
''Assalamualaikum!'' salamku di depan sebuah bangunan rumah yang sesuai dengan alamat yang diberikan Geo.
''Waalaikumsalam!'' jawab seseorang dari dalam rumah, dan tak lama kemudian keluar seorang perempuan muda dari balik pintu.
''Maaf, Mbak ... apa benar ini rumahnya, Geo Kut Anugrah?" tanyaku pada perempuan ini.
''Ya, betul ... Mas ini siapa, ya?'' jawab Mbak-mbak ini singkat dan balik bertanya.
''Saya, Sapta Tirta, saya temannya Geo, Mbak!''
''Oh ... temannya Geo, tapi, Mas ... Geo-nya lagi sakit ...''
''Iya, saya tahu, makanya saya datang kemari untuk menjenguknya, saya juga membawakan obat untuknya ...''
''Oh, gitu ya ...''
''Iya, Mbak ...''
"Kalau begitu, mari silahkan masuk, Mas!'' Perempuan yang kuperkirakan kakak kandung Geo ini mempersilahkan aku untuk masuk ke rumah, lalu dia membawaku ke sebuah kamar di mana Geo sedang terbaring dengan kondisi kepala dikompres dengan menggunakan kain basah oleh seorang ibu parobaya, mungkin beliau ini ibu kandung Geo.
''Mas ini dari mana, ya?'' ujar ibu itu seraya memperhatikan aku dengan seksama.
''Saya Sapta Tirta, Bu ... teman Geo'' jawabku.
''Iya Bu, dia membawa obat buat Geo ...'' timpal kakak Geo yang belum kuketahui namanya.
''Oh ya, aduh ... jadi ngerepotin aja ya, Nak ... mana udah malam begini ...''
''Tidak apa-apa, Bu ... sekalian besuk, soalnya kalau siang saya sibuk ...'' ungkapku sembari menyerahkan bungkusan obat ke tangan ibu Geo. Ibu Geo hanya manggut-manggut seraya menerima bungkusan itu, lalu dia berjalan mendekati Geo yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam.
''Geo ... ada teman kamu, nih ..., dia bawakan obat buat kamu, jangan lupa nanti diminum ya, Nak, obatnya ... biar lekas sembuh!'' Ibu Geo meletakan obat itu di atas meja, lalu beliau memandangku dengan senyuman simpulnya. Ramah sekali.
''Silahkan, Nak ... temani Geo, Ibu buatkan minuman buat kamu!'' ujar Ibu Geo seraya berjingkat meninggalkan kamar.
Aku tersenyum dan mengangguk pelan, lalu bergerak menghampiri Geo, cowok berkulit putih ini hanya membuka matanya sedikit dan menatapku dengan tatapan penuh arti.
Geo
''Hai!'' sapaku, dan Geo hanya menyungggingkan senyumannya yang dibuat semanis mungkin, "bagaimana keadaanmu?'' lanjutku, tapi Geo masih terbengong dan belum bergeming sedikit pun, hanya matanya yang nampak berbinar memperhatikan aku.
''Aku bawakan obat buat kamu ... nanti kamu minum ya, biar cepat sembuh!'' ujarku lagi, dan Geo mengangguk pelan.
"Terima kasih ya, Tir ... dan sorry ... aku jadi ngerepotin kamu ...'' ujar Geo dengan suara pelan.
'Tidak apa-apa, kok ... santai aja lagi ...'' timpalku, dan Geo kembali tersenyum.
Aku dan Geo berlanjut ngobrol, namun tidak bisa lama, karena waktu sudah menunjuk angka 11, dan tanpa basa-basi lagi, aku pun pamit untuk segera pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geo ... Aku saYang
RomansaUntuk 17++ ''Geo ... aku akan menikah,'' ujar Tirta. Geo meringis mendengar pernyataan Tirta. ''Jangan bercanda, Tirta ... Kita tidak mungkin bisa menikah!'' ''Aku tidak menikah dengan kamu, Geo ... tapi dengan seorang wanita.'' ''Apa!'' Geo terbeng...