—5—
SUATU hari aku bermimpi lagi. Ehm, entahlah aku tak begitu peduli apakah ini mimpi atau kenyataan. Toh aku juga sudah tak peduli lagi dengan hidupku. Aku sudah pernah bilang 'kan, bahwa aku ingin mati? Yang terpenting bagiku adalah aku bisa bahagia dan tak merasakan sakit.
Sean mengajakku ke danau. Danau yang sudah membeku. Ia ingin aku menemaninya bermain ski di musim dingin ini. Yah, tentu aku menemaninya.
Kami membawa sepatu skating kami ke Wellman Lake, danau yang terletak di seberang rumahku. Sebenarnya danau itu bukanlah danau sungguhan, melainkan hanya kolam.
Spencer ada di sana. Rupanya Sean-lah yang mengajaknya agar bermain bersama kami.
Kami bertiga pun bermain bersama. Meluncur bersama-sama di atas danau es yang membeku. Kami berlomba, siapa yang cepat, maka dia yang menang. Dan rupanya, akulah yang menang. Yuhuu! Aku bahagia sekali!
Kami bertiga sangat senang. Bermain bersama di atas es. Jarang sekali aku bermain ski dengan mereka berdua, tentu saja. Oh, rasanya mimpi ini seperti nyata saja.
Tiba-tiba sesuatu terjadi.
Sean memanggil namaku pelan, "Eleenaa.." Dan saat aku menoleh padanya, Sean berdiri terpaku di tengah danau es. Ia nampak ketakutan. Aku terheran, ada apa dengannya?
Kraaakkk!!! Aku mendengar bunyi kraaakkk dan kusadari suara itu berasal dari bawah Sean berdiri. Saat itu juga aku tahu, permukaan es di bawah Sean retak. Aku menatapnya miris. Aku tahu dia takut.
Sean mencoba bergerak mendekatiku, menjauh dari tempatnya. Namun rupanya, es pecah lagi. Kali ini terpecah lebar. Aku bisa melihatnya. Selembing es pecah dan tenggelam ke bawah, menimbulkan lubang yang cukup besar di dekat kaki Sean.
Kraaakkkk. Terdengar bunyi itu lagi. Aku bisa melihat Sean semakin ketakutan di tempatnya berdiri. Aku menatapnya kasihan. Bagaimana pun juga, aku ini adiknya. Jadi, aku harus menolongnya bagaimana pun caranya.
Aku berteriak pada Spencer yang dari tadi hanya menatap kami berdua dari kejauhan," Spencer, tolong carikan bantuan segera! Aku akan menolong Sean!"
"T-tapi Elena—"
"Tolong, carikan bantuan. Aku saja yang menolong Sean, kumohon."
"Baiklah, tunggu aku kembali dan hati-hati, Elena!" Spencer segera berlari meninggalkan danau dan menghilang di balik sebuah rumah.
Aku mendekati Sean yang masih berdiri di tempatnya. Pelan tapi pasti. Aku ingin menolongnya.
"Elena, kau mau apa?" jerit Sean.
"Menolongmu, Sean," ujarku, sambil terus berjalan mendekatinya perlahan-lahan. Kini mungkin jarakku dengannya hanya dua meter.
"Tidak! Jangan kaulakukan! Ini berbahaya! Tetaplah di situ, adikku."
"Aku harus menolongmu!"
"Tidak, jangan! Kubilang, jangan!"
"Tapi aku harus, Sean! Kau kakakku!" Aku semakin mendekat beberapa langkah kecil.
"Oke, jika aku nanti jatuh ke bawah dan mungkin mati kedinginan, kau harus tahu satu hal," Sean menjeda ucapannya sambil terus menatapku ketakutan. Kemudian, ia melanjutkan, "aku-aku menyayangimu! Selalu! Maafkan aku bila selama ini mungkin aku memperlakukanmu tidak baik, adikku. Tapi kau harus tahu satu hal, aku menyayangimu. Hanya kau satu-satunya keluargaku!"
Kraaaaaakkkk. Kali ini bunyi es terdengar lebih keras dari sebelumnya.
Sean terdiam di tempatnya, menutup mata. Aku menangis tapi tak bersuara. Aku meneteskan air mata. Sean kakakku, aku juga menyayangimu sepenuh hatiku!
Kemudian aku melompat ke arahnya, mendorong tubuhnya. Aku bisa melihat Sean tersungkur selamat di pinggiran danau sana setelahnya.
Namun setelah itu, aku terjatuh. Kepala lebih dulu. Kepalaku lebih dulu masuk ke dalam air yang dingin dan gelap.
Benda terakhir yang kulihat adalah topi hitam. Masih tergeletak dengan aman di permukaan es. Topi hitam milik Sean.
Kemudian aku mulai tenggelam.
Tenggelam... tenggelam ke dalam kegelapan.
---
"ELENA! Elena! Elena!!!" Beberapa orang memanggil namaku. Aku bisa mengenal salah dua di antaranya adalah suara Sean dan Spencer. Mereka terus meneriakkan namaku hingga akhirnya aku bisa membuka mataku.
Saat kubuka mata, aku heran. Mereka masih tidak hentinya memanggil-manggil namaku, padahal jelas-jelas aku sudah membuka mata. Lalu aku berkata pada mereka, "Hei-hei, tenanglah. Aku tak apa. Aku sudah bangun."
Rupanya mereka masih tidak dengar. Apa suaraku terlalu sekecil itu hingga dikalahkan oleh suara-suara mereka yang terus memanggil namaku?
Aku kembali berkata dengan lebih keras daripada yang tadi, "Hei, Sean, Spencer! Aku sudah bangun! Aku tak apa. Lihat, aku sudah bisa berdiri lagi!" ujarku sambil berdiri di hadapan mereka.
Namun anehnya, mereka masih tak mendengarku. Mereka malah masih terus meneriakkan namaku pada sesuatu yang ada di hadapan mereka. Yang ada di bawahku berdiri. Kemudian kuarahkan pandangan ke bawah... tubuh seorang gadis tergeletak di situ. Aku seperti mengenalinya. Lalu kulihat wajahnya yang pucat. Kuamati betul-betul wajahnya.
Aku terlonjak kaget ke belakang, menembus orang-orang yang ada di sekelilingku.
Gadis yang tergeletak di sana adalah aku. Tubuhku ada di sana.
Aku bingung, tak percaya dengan semua ini. Apa ini mimpi? Semoga sama ini mimpi.
Saat aku mencoba bertanya pada seseorang di sampingku, ia seperti tak mendengarku juga. Kenapa dengan semua orang? Kenapa tak mau mendengarkanku?
Aku mundur beberapa langkah. Aku menangis. Aku menangis ketakutan. Tidak! Tidak! Tidak mungkin! Aku panik. Kucoba untuk menampar keras pipiku agar aku terbangun dari mimpiku seperti biasanya dan terbangun di atas tempat tidurku. Tapi rupanya pipiku tak merasakan apa-apa.
Aku ingin bangun! Aku ingin bangun!
Aku menjatuhkan diriku ke atas permukaan es dengan kerasnya di belakang kerumunan orang-orang itu. Namun, aku tak merasakan apa-apa. Aku tak merasa sakit.
Aku masih belum menyerah.
Saat aku tersungkur di atas es, kubenturkan kepalaku ke permukaan es, namun aku tak lagi merasakan sakit sedikit pun. Aku kembali menangis. Aku menangis ketakutan...
Saat itu aku sadar. Kejadian di mana aku bermain ski bersama Sean dan Spencer tadi bukanlah mimpi, itu nyata.
Dan aku juga sadar satu hal.
Aku telah mati.
---
telah diedit,
17 November '18
ketika musim semi di Jogja
musim semi tanpa bunga,
hampa.—yanti nura
KAMU SEDANG MEMBACA
2# A Girl with her Dreams
Short StoryKau percaya pada mimpi? Aku tidak pernah percaya pada mimpi hampir di sepanjang hidupku. Tapi sejak usiaku menginjak lima belas tahun, aku ingin percaya. Aku ingin mimpi itu nyata. Aku ingin apa yang kuimpikan sepanjang malam itu menjadi kenyataan...