Chapter 3 : Unexpected

32 3 28
                                    

"Raindy?"

Dahinya mengerenyit.

Apakah nama yang tertulis di sandal ini adalah nama pemuda aneh itu? Ngomong-ngomong, Iris juga salahnya tidak menanyakan nama dari pemuda itu tadi sebelum pulang.

Habis tadi rasanya ingin cepat-cepat pulang saja, badannya sudah merasa tidak nyaman terlalu lama diguyur oleh air hujan. Ya, meskipun dari ujung rambut sampai betis semuanya tertutup oleh payung dan jas hujan.

Tapi tetap saja, rasanya tetap sama seperti waktu itu..

Terlanjur tangannya yang bersih kini kembali ternodai oleh sandal yang dipegangnya, Iris memutuskan untuk membawanya ke dalam rumah untuk dibersihkan.

Dengan hati-hati, ia membawanya dengan dua tangan agar tanah yang menepel pada sandal itu tidak berceceran ke lantai dalam rumahnya.

Hujan di luar masih juga belum mereda, lebih baik setelah dirinya selesai membersihkan sandal ini, ia habiskan waktu siang ini dengan mengerjakan pekerjaan rumah.

Lebih tepatnya ingin secepatnya melupakan dan mengabaikan suasana yang tercipta ini.

Setelah dua jam berlalu Iris mengerjakan pekerjaan rumahnya, kedua matanya kini tak kuasa lagi untuk menahan kantuk. Niatnya ingin memejamkan mata sejenak, namun akhirnya ia termakan juga oleh rasa kantuk yang sudah sepenuhnya menguasainya itu.



"Jam... Berapa ini..."

Suaranya berat, khasnya seorang yang terjaga dari tidurnya. Matanya terasa pedas. Iris juga merasakan kepalanya sedikit pusing, lalu ia perlahan mengankat kepalanya dari posisinya sekarang.

Punggungnya terasa pegal, ternyata ia tak sengaja terlelap saat sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya di meja ruang tamu rumahnya.

Kedua kakinya ia luruskan karena sudah lama terlipat dalam posisi sila. Iris menatap nanar ruang tamu yang gelap ini, ia lalu meraba-raba saku celananya.

Ponsel genggamnya, disana tertuliskan menujukan pukul sepuluh malam.

Ah, mungkin ini efek dari kelelahan tadi siang. Jarang sekali seorang Iris bisa sampai ketiduran di sembarang tempat seperti ini. Selain melihat jam, Iris melihat ada beberapa pesan yang masuk ke ponselnya.

Ada pesan dari Tasha, ketua kelas, dan... Tante Alexa?

Segera ia membuka pesan dari seseorang yang mempunyai hubungan darah dengannya itu duluan. Pesannya singkat, namun entah mengapa rasanya isi pesan itu seperti menyambarkan halilintar ke tubuhnya.

"Iris, sayang.

Untuk bulan depan, apa kamu sanggup untuk bayar uang sekolah dan makan sendiri?

Tante minta maaf sebelumnya, untuk bulan depan kami hanya sanggup untuk membayarkan uang bulanan listrik dan air saja.. Sekali lagi, tante minta maaf.. Secepatnya tante dan om akan berkunjung kerumahmu untuk membicarakan hal ini."

Iris menghela nafasnya panjang.

Ponsel genggamnya ia letakan diatas meja, hening menguasainya. Iris refleks mengurut pelipisnya sendiri. Sepertinya malam ini akan membuatnya susah untuk kembali terlelap, akan ada banyak sekali pikiran yang menggelayutinya.

Kerja sambilan, hanya itu yang ada di dalam pikirannya sekarang. Ia harus mencari sebuah pekerjaan dengan segera. Mungkin memang sudah saatnya Iris untuk lebih mandiri lagi. Menafkahi dirinya sendiri.

Karena tak bisa selamanya hidupnya bergantung dengan tante Alexa dan om Farris untuk masalah keuangan. Masalah yang sangat riskan di dunia ini.

Meskipun hidupnya selama ini ditopang oleh keluarga tante Alexa yang merupakan adik dari mamanya itu, bukan berarti Iris selalu enak-enakan ketika disantuni.

March RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang