12 b :: Just 30 Minutes

2.3K 154 2
                                    

Hembusan angin malam terus menerpa kulit, membuat Ara semakin mengeratkan jaket yang ia kenakan. Perempuan itu sedari tadi hanya duduk manis di teras balkon sambil menyaksikan tiga laki- laki yang sedang bermain PS di kamar Didit. Pintu balkon yang terbuat dari kaca memudahkannya untuk melihat bagaimana ketiga laki- laki itu berceloteh ria ataupun sekedar berbuat jail satu sama lain.

Ara tersenyum samar. Dimatanya, hanya ada satu laki- laki yang sedari tadi menjadi titik fokusnya. Laki- laki itu malam ini menggunakan kaos biru tosca dengan celana bahan warna abu- abu hampir menyerupai hitam. Wajahnya yang putih terkena sinar lampu kamar, membuatnya terlihat berkali- kali lihat tampan dimata Ara. Apalagi rambut jabriknya sedari tadi mengoda ingin sekali minta di sentuh atau hanya sekedar di acak- acak. Sedari tadi dia terus tertawa dengan deretan gigi putih kadang juga hanya tersenyum tipis.

Sumpah demi apapun, saat dia tersenyum entah kenapa Ara merasakan desiran darahnya mengalir cepat membuat kinerja jantungnya juga bekerja tidak normal.

Dengan guling yang berada di dekapannya dia terus asik bercanda dengan kedua sahabatnya yang lain. Kadang tangannya juga bergerak untuk mengacak- acak rambutnya, kadang juga ia membasahi bibir ranumnya dengan gerakan cepat dan semua itu tampak keren dimata Ara.

Bahkan cara dia memeluk gulingnya yang begitu erat juga terlihat sangat menggemaskan dimata Ara, walaupun  hanya sesekali ia lakukan karena ia kesal terhadap tingkah sahabatnya.

"Stop Ra. Lo bisa gila kalau mikirin dia terus." Kata Ara pada dirinya sendiri lalu bangkit dari kursi menuju pinggiran pagar balkon, mengalihkan pandangannya pada lampu- lampu jalanan yang ada di bawahnya.

"Yang kalah duduk di balkon selama tiga puluh menit. Dan gak boleh pake jaket!"

Celotehan itu berhasil membuat Ara kembali membalikkan badannya, dilihatnya tiga orang itu masih dengan stik ps yang ada di masing- masing tangannya.

"Ada- ada aja sih!" Kata Ara lirih lalu kembali berbalik menikmati pemandangan yang ada di hadapannya.

Angin semilir mulai menerpa wajah Ara membuatnya menutup mata dan menghirupnya selama yang ia bisa. Ingin sekali dia melupakan rasa aneh yang akhir- akhir ini sering menganggunya. Rasa rindu, rasa bahagia, rasa kesal, rasa sedih bahkan kecewa karena satu sosok yang sama. Ara tidak tahu itu perasaan apa namun rasa itu terus menjalar di hatinya membuatnya merasakan sesuatu hal aneh yang baru pertama kali ia rasakan.

Ara tidak tahu kenapa dia merasa bahagia saat dia melihat Didit perduli dengannya.  Cara Didit melindunginya atau cara Didit membuatnya tertawa semua itu sangat menganggu Ara. Apalagi saat matanya mengkap sosok Didit yang sedang tersenyum lebar atau hanya sekedar tersenyum tipis padanya. Rasa- rasanya hatinya menghangat hingga menjalar sampai membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Ara mengerang frustasi lalu berbalik berniat untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di meja balkon dekat dengan kursi yang ia duduki.

Namun saat ia berbalik bukan ponselnya yang ia lihat pertama kali, melainkan dada bidang yang terbalut kaos berwarna biru toscalah yang menutupi pandangannya. Bau parfum yang amat ia kenali menguar di indra penciumannya membuat Ara membeku di tempatnya. Pemilik dada bidang itu teramat dekat dengan wajahnya membuat Ara mudur sampai terhimpit dengan pagar balkon.

Ara meneguk ludahnya. Dengan keberanian yang ia miliki dia pun menganggkat kepalanya hanya untuk melihat wajah orang yang ada di hadapannya.

"Kenapa masih diluar? Disini dingin Ra." Katanya membuat jantung Ara berdebar hebat.

Eh dia udah gak marah lagi? Bukannya tadi siang dia masih ngejutekin gue?

Dengan gaya santai orang itu meyimpan tangannya pada saku celannya, berdiri menjulang dihiasi dengan senyum tipis teramat tipis hingga Ara tidak tahu apakah dia benar- benar tersenyum atau tidak.

He Is Adipati [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang