"Cowok gak cuma dia, Mon. Relain dia, nanti dia gak tenang disana." -John
{***}
Pagi hari ini Monic ada jadwal kelas. Namun, sedaritadi Monic hanya duduk diam memandangi balkon kamarnya dengan lesu.
Ibu Monic yang sudah pulang dari urusan bisnisnya memandang kearah anaknya dengan sendu. Monic seperti tidak memiliki harapan hidup. Padahal tidak pernah Monic seperti ini.
Ibu Monic mencoba mendekati Monic. Dielus pelan rambut Monic dan tersenyum hangat, "Ana, kamu kenapa, nak? Cerita sama mama," ujar sang ibu dengan sabar.
Monic memandang ibunya dengan nanar dan kembali memandang balkon kamarnya, "Ana cuma sedih, ma. Setelah aku sadar kalo aku cinta dia, tapi kenapa dia harus pergi? Dia pergi jauh, ma. Ketempat yang gak bisa aku jangkau," lirih Monic.
Air matanya sudah bergumul dan siap untuk turun. Kabut tipis menghalangi pandangan matanya. Ibunya hanya bisa tersenyum dan mengelus rambut Monic dengan lembut.
"Cinta itu memang begitu, Ana. Ini cuma salah satunya. Kalau kamu sudah melihat lebih dalam lagi, ini tidak seberapa."
Isakan keluar dari bibir Monic. Air matanya juga sudah merembes turun dan membentuk aliran sungai dipipinya. Sang ibu menyeka air mata Monic dengan telapak tangannya.
"Ana, jangan karena dia pergi kamu jadi kacau. Kamu tunjukkan ke dia kalau kamu kuat dan sudah ikhlas dengan kepergiannya. Mama percaya sama kamu," pesan sang ibu sembari beranjak dari kamar Monic.
Monic mendengarkan setiap patah kata yang dikatakan oleh ibunya. Dulu Monic terlalu munafik untuk menyatakan kalau dia juga menyukai Theo. Hanya saja, Monic menganggap kalau memiliki hubungan hanya menghambat pelajarannya saja.
Jadi, Monic menyimpulkan lebih baik memendam rasa daripada harus prestasinya menurun.
Tapi sepertinya pemikiran Monic sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Ia mulai berpikir, kalau tidak memiliki perasaan cinta sama saja tidak nemiliki hasrat hidup.
"Kenapa, sih, harus Theo? Kenapa gak orang lain aja? Aku punya salah apa dimasa lalu sampai harus mendapat hukuman seperti ini?" tanya Monic dengan sendu.
Hanya saja, disaat Monic berkata seperti itu, denyut jantung Theo kembali seperti sedia kala di rumah sakit ternama Singapura.
{***}
"Tolong ya, bro. Monic lo paksa gih biar makan, dia udah gak makan dari kemaren, takut kenapa-napa sama pencernaannya. Minum juga enggak, udah kayak puasa tanpa saur dan buka dia," pinta Sello yang sudah siap untuk membuka ruang kamar Monic.
Tadi sehabis Sello pergi berdua dengan Riana, John menelepon Riana untuk sekedar bertanya kepada Sello kemana Monic. Dan Sello langsung menyuruh John kerumah dan membujuk Monic supaya makan.
Tanpa pikir panjang, John menyetujuinya. Dia juga sudah mendengar kabar dari Sella kalau Theo sudah meninggal dan Monic menjadi seperti mayat hidup.
Hati kecil John sebenarnya berontak, mengatakan untuk segera menjadikan Monic miliknya. Namun otaknya bekerja, buat apa ia memaksa Monic untuk menjalani hubungan dengannya kalau Monic mencintai pria lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Monic & Memories✔
Teen Fiction"And then, a happily ever after that just a bullshit." Start; 5 Desember 2016 End; 14 Juli 2017 [Baca aja, siapa tau suka]