Edited. Selasa, 6 Juni 2017 di Fajar yang menyingsing
"Maaf Mas, Salu belum bisa menerima pinangan Mas Dinari." Aku menunduk sejadi-jadinya, rasa tak enak hati benar-benar memenuhi perasaanku. Ada juga perasaan takut melewatkan petunjuk Allah yang selama ini ku pinta dalam tiap sujudku.
Tekadku kemarin ingin membuka hati untuk Mas Dinari ternyata tak berarti apa-apa. Nyatanya aku masih senang tersakiti dengan mendamba yang haram untuk hatiku. Keputusan yang terlalu cepat ku ambil tanpa menanyakannya dulu pada Ummi dan Abah. Bukan karena aku tak ingin melibatkan mereka, tapi memang karena Mas Dinari tak memberiku waktu lebih.
Hatiku benar-benar mengarahkan mulutku untuk berkata tidak. Peluhku sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit, terlihat sekali betapa aku merasa gelisah karenanya. Laki-laki itu hanya mampu tersenyum masam tak lagi sanggup menatap mataku dan memilih menatap mata Abah.
Meski hatiku luluh karena keberaniannya, nyatanya tak cukup mampu membuatku berkata iya atas penawarannya.
Aku duduk disebelah Ummi yang kini menggenggam erat tanganku. Menyalurkan kekuatan dan seakan berkata semua akan baik-baik saja. Apapun jawabanku Ummi dan Abah akan selalu menyertai langkahku.
Mas Dinari pamit pulang sore itu, meski sebelumnya Abah sudah menawari bermalam dirumah kami yang lainnya. Ia menolak halus penawaran Abah dan memilih melanjutkan perjalanannya.
Aku termangu didepan rumah, menatap sang langit bermandikan cahaya dari para bintang yang bertaburan indah. Disini berbeda dengan di Jakarta, aku masih bisa melihat bintang-bintang meski tak seterang dulu saat masih kecil.
"Kamu menyesal?" Suara Abah mengagetkanku.
"Gak Bah, cuma Salu khawatir kalau ternyata memang Mas Dinari jodoh Salu." Aku jujur saja, jujur tentang hatiku yang masih resah perihal hari ini.
"Apa yang membuat Salu menolak pinangan Dinari? Apa Salu sudah punya pilihan lain?" Ya Abah! hati Salu sudah memilih Najam, dan rasanya tak adil bila menerima pinangan Mas Dinari saat hati Salu masih terisi orang lain.
Maunya sih bilang begitu, tapi tiba-tiba lidahku kelu. Semua yang ada dikepalaku tak mampu terucap seperti yang ku inginkan. Aku menggeleng atas pertanyaan Abah dan kembali menatap langit untuk menghitung ada berapa Najam diatas sana. Dan meminta satu, khusus untuk ku saja.
Abah meletakkan tangannya diatas kepalaku, mengusapnya perlahan dan kini mengecup keningku pelan.
"Saluna Ara putri Abah. Perihal jodoh itu urusan Allah, Salu hanya perlu melakukan yang Salu rasa perlukan. Jika memang Dinari adalah jodoh Salu, biarkan ia berkelana dulu. Kalau langkahnya terlalu jauh dari titik dimana Salu berada, biarkan, dia kan bisa putar balik."
Jatuh sudah harapku saat mendengar nasehat Abah. Abah itu tak pernah bisa serius meski sebentar saja, saat menasehatiku dia pasti akan menyelipkan beberapa candaan untuk menyenangkan hatiku. Itulah Abah ku.
Aku kembali tersenyum dan kembali menengadahkan kepala. Sedangkan Abah memilih masuk ke dalam rumah meninggalkanku yang masih terlena dalam buaian luasnya angkasa. Merebahkan tubuhku dibalai yang Abah buat untuk para tamu atau hanya sekedar menikmati suasana sore hari.
Aku kembali menelusuri apa saja yang terjadi hari ini. Dan saat-saat Mas Dinari melamarku pada Abah lah yang muncul kepermukaan. Aku masih ingat pada wajahnya yang sarat kekecewaan, sungguh aku tak bermaksud. Tapi ini lebih baik daripada aku mengiakan namun pada akhirnya ia tahu bahwa hatiku telah menjadi milik orang lain.
"Mas Dinari satu. Mas Dinari dua. Mas Dinari tiga........."
Entah apa yang membuatku jadi melantunkan nama Mas Dinari. Rasanya cocok saja saat kuucap, ringan dan terasa familiar. Aku tak menahannya, terus ku ucapkan hingga tak lagi ku ingat berapa Mas Dinari yang terhitung olehku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[AS1] Mentari Di antara Bulan dan Bintang - END
General FictionAda Satu Ku genggam erat tangan Bulan, menggenggamnya dengan saling menguatkan satu sama lain. Ku dengar sayup-sayup langkah Bintang mendekati kami, muncul dan menerbarkan kembali senyuman hangat untuk jiwa jiwa kami yang selalu merindunya. Aku dan...