Ch 8: Teka-Teki

1.1K 159 17
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Tidak bermaksud menyinggung instasi manapun.

....

"Apa maksudmu...? Berpisah? Tapi, Kenapa...?"

***

"Pemirsa, saat ini kami tengah berada di Markas Besar Kepolisian Medan," Clara melaporkan bersama para krunya. "Tersangka pembunuhan yang menewaskan salah seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Medan akhirnya berhasil diringkus."

Kamera menyorot jajaran kepolisian yang sedang berdiri di balik meja. Barang bukti telah disusun sedemikian rupa di atasnya. Para pelaku menutup wajah masing-masing saat kamera beralih ke arah mereka.

Para reporter menodongkan senjata mereka ke wajah AKBP Yunandar yang menjadi juru bicara saat itu.

"Pelaku adalah jaringan yang sudah kami cari selama ini." AKBP Yunandar tetap melanjutkan dengan tenang, meski para reporter yang kelaparan itu menekannya habis-habis. Mereka meminta agar tidak ada satu pun informasi yang ditutup-tutupi.

"Awalnya kami memang sudah menduga korban tewas di tangan sindikat pencurian spesialis kos-kosan yang pernah beraksi di wilayah dr. Mansyur. Namun kemungkinan tersebut bisa saja salah, lantaran tidak ada satu pun barang berharga milik pacar korban yang hilang. Uang, ijazah, laptop miliknya masih tersimpan rapi di lemari. Kemungkinan ada kelompok lain."

“Pihak Kepolisian meminta maaf sebesar-besarnya. Lamanya proses pengungkapan kasus ini disebabkan karena tempat kejadian perkara sudah rusak dan diacak-acak. Jejak pelaku, jejak saksi, jejak pacar korban serta jejak korban itu sendiri tercampur di TKP. Begitu pun dengan sidik jari, DNA, hingga potongan rambut yang tertinggal.

"Setelah melewati proses panjang akhirnya kami berhasil menangkap para pelaku, yang berinisial AT dua puluh lima tahun, ZE berumur tiga puluh tahun, dan AD..."

***

Kegagalan dalam proses penyelidikan itu selamanya akan dikenang dalam sejarah Kepolisian Wilayah Sumatera Utara. Tetapi, semua orang memilih menutup mata, demi citra yang mereka bangga-banggakan. Tak sedikit orang yang memberontak. Namun, mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Harus ada seseorang yang diadili. Pemikiran itu tertanam di kepala mereka masing-masing. Bagaimana pun, masa krisis ini harus segera berakhir.

Orang-orang yang dianggap pahlawan dinaikkan pangkatnya. Kedua puluh lima perwira polisi tersebut melangkah ke tengah barisan. Semua orang meyumbangkan tepuk tangan. Upacara serah terima jabatan dan penghargaan berlangsung dengan khidmat. Ditutup dengan tarian daerah yang membuat para perwira tinggi merasa terkesima. Kebudayaan daerah memang patut dilestarikan.

David dan Kendra menjadi pusat perhatian. Muda dan berbakat. Beberapa orang berharap dapat menjadikan mereka sebagai menantu. David, dengan pembawaannya yang tenang, benar-benar mencerminkan jiwa seorang pemimpin. Kendra, meski mudah tersulut emosinya, bakat seorang profiler dalam dirinya tak bisa ditutup-tutupi. Anak kembar memang memiliki pesona yang berbeda-beda. Keluarga yang berantakan tak serta-merta menjadikan mereka orang yang gagal.

Kendra yang merasa jengah memilih menyudut. Dia gerah setengah mati. Tidak ada yang istimewa. Penghargaan ini tak lebih daripada sebuah penghinaan baginya. Dia memperhatikan David yang terus menebar senyum pada orang-orang yang memberinya ucapan selamat.

Mereka akan berpisah. Kenyataan itu  lebih mengganggu Kendra saat ini. Tetapi, David terlihat baik-baik saja di sana. Dia tertawa. Berbincang singkat dengan orang-orang di sekitarnya. Kemudian mengambil makan, meneguk minumannya, seolah tak terjadi apa-apa. Sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Hanya Kendra yang menangis saat Ayah menarik paksa genggaman tangan mereka. Tentu saja, David akan baik-baik saja. Dia dibesarkan dengan tangan hangat sang Ibu. Sedangkan, Kendra dibesarkan oleh uang haram hasil jerih payah sang Ayah.

Kendra pernah berharap mereka bisa pulang dan berkumpul bersama di rumah lama mereka. Membicarakan kenangan yang pernah mereka lewati. Melupakan dunia yang sudah gila ini untuk sesaat.

Namun, David memilih lupa pada semuanya. Dia melangkah ke depan. Meninggalkan Kendra yang masih mengharapkan uluran tangan darinya. Dia bahkan berhenti menoleh saat Kendra memanggilnya 'kakak' berulang kali.

Kenangan indah itu telah berubah menjadi omong kosong. Mereka mengajarkan Kendra bagaimana cara melihat dunia dari sisi yang berbeda. Dia menjadi pemarah. Namun, dia tetap ingin berjalan bersisian dengan David, sekalipun jari-jari mereka tak bisa saling berkaitan. Dia mengikuti David sampai sejauh ini. Namun, dalam sekejap, semua berhenti untuk mereka. Di sini.

"Selamat," suara tua bangka itu membuyarkan lamunan Kendra.

Kendra terkekeh garing sembari menyambut uluran tangannya. "Selamat juga untukmu, Pak Tua."

Jansen menyesap minumannya sebelum menjawab. "Sifatmu itu benar-benar kurang ajar." Jansen tak mengharapkan ucapan selamat dari siapa pun saat ini. Pangkatnya telah diturunkan. Dia sadar, dia telah menghalangi jalannya sebuah penyelidikan.

Kendra berdecih. "Kalau dari awal kau bilang bahwa Virja adalah putramu, semua tidak akan jadi seperti ini. Si bedebah tua itu juga tidak akan menuduhmu menginjak ladang milik orang lain."

"Bagaimana pun, kau hanyalah seorang ayah yang mengkhawatirkan anaknya." Kendra menyesali perbuatannya.

Jansen mengikuti arah padang Kendra. Dia melihat Adam yang sepertinya mulai lelah dengan pujian beruntun yang dialamatkan padanya. "Tidak ada yang perlu disesali. Lagi pula semuanya sudah berakhir."

"Kau yakin? Lalu, bagaimana dengan putramu?"

Lama sekali, Jansen baru menjawab, "Dia akan baik-baik saja." Jansen menghela napas berat. "Kau sendiri bagaimana? Apa kau akan baik-baik?"

Giliran Kendra yang terdiam.

"Kau sangat menyayangi kakakmu," Jansen bisa melihatnya ketika menangkap sorot mata Kendra yang getir. "Kau harus tahu, darah lebih kental daripada air."

Jansen tersenyum sekilas. Mengingat kilas balik saat David bersujud di hadapan para perwira tinggi. Dia menurunkan harga dirinya demi seorang adik yang terkenal dengan julukan si pembuat onar. Dia memohon agar adiknya dimaafkan dan masalah perkelahian di TKP itu tidak dibawa sampai ke ranah publik.

"Dan, perpisahan bukan akhir dari segalanya."

"Aku tidak mengerti, kenapa orang-orang yang sudah bau tanah suka mengatakan hal semacam itu."

Jansen tertawa renyah. "Justru itu, kami ada untuk menasehati anak-anak kurang ajar seperti kalian."

Kendra kembali terkekeh. Akil melambai dari kejauhan. Dia segera bergabung bersama mereka.

"Malam, Pak!" sapanya sambil memberi hormat dengan sikap tegas.

Jansen mengangguk singkat.

"Saya yakin bukan putra Bapak pelakunya." Akil menatap Kendra, meminta pembenaran.

"Terima kasih," ucap Jansen tulus. Sedikit ragu, dia meneruskan, "Sebenarnya, Virja itu bukan putraku." Jansen lalu mengambil dompetnya di saku celana dan menyerahkan selembar foto. "Aku mengambilnya dari seseorang saat dia masih berumur lima tahun."

Kendra terbelalak, Akil menganga. Mereka menatap foto itu bergantian. Virja kecil yang terlihat ceria memeluk erat leher seorang pria berjas dokter. Pada name tag itu tertulis 'Victor Johannes' beserta embel-embel gelar di belakangnya.

Berbagai pertanyaan serupa muncul di kepala mereka.

kenapa lagi-lagi nama Victor Johannes ada di sini...?

***

OUR STORY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang