Sudah lebih dari sebulan kelima pangeran menetap di bumi. Mereka terbawa arus persiapan UN dan SBMPTN. Ferdinand yang biasanya hanya menggenggam ponsel, ikut-ikutan menenteng buku soal prediksi UN. Kadang-kadang ia membawa buku kumpulan soal SBMPTN yang tebalnya bisa membuat orang jatuh pingsan jika dilemparkan ke wajah.
Walaupun tugas makin menumpuk dan waktu UN tinggal beberapa minggu lagi, Hanif tetap meluangkan waktunya untuk mencari petunjuk dari Elena. Gadis berambut sebahu itu begitu misterius.
Hanif membuka buku biologinya. Besok jam pertama diisi ulangan biologi. Matanya tertuju pada bab genetika, namun pikirannya masih bercabang. Sampai sekarang ia masih belum bisa membaca isi pikiran Elena.
"Dari tadi kau terus melamun. Kau lagi mikirin apa?"
Suara Ferdinand menyadarkan Hanif yang masih bergelut dengan pikiran Elena yang masih tidak terbaca. Ia dan pangeran berelemen air itu sudah bersahabat selama sepuluh tahun lebih. Bukan hal aneh jika Ferdinand tahu bahwa dirinya bergelut dengan masalah.
"Kalau kau punya masalah, kenapa tidak ceritakan saja? Siapa tahu aku atau yang lainnya bisa membantu."
Iris kelabu Hanif berbinar. Ferdinand adalah sahabatnya, tentu saja ia bisa menjadi pendengar yang baik. Lagipula, usia pangeran berdarah Inggris itu lebih tua darinya. Jadi bisa saja ia lebih bijak dalam memberikan saran.
"Aku akan ceritakan sepulang sekolah."
.
.
.
Hanif menatap kikuk keempat pangeran. Kedua tangannya mengepal erat. Ia melirik tajam Ferdinand; yang juga memasang tampang bingung.
"Aku pikir... Hanya kita berdua yang bertukar pikiran..." sesal Hanif.
Ferdinand menggaruk kepalanya yang tak gatal. Seingatnya, ia memang mengajak Hanif untuk mendiskusikan masalahnya dengan ketiga pangeran lainnya.
"Memangnya kenapa, Nif? Siapa tahu kita menemukan solusinya kalau dibicarakan berkelompok." kilah Ferdinand.
"Jadi bener kata Ferdi, kau punya kemampuan sekunder yang hebat, Nif? Keren!" puji Vero.
"Mau ngomongin apa? Buruan jelasin!" tagih Mamoru.
Tiga lawan satu (Brilliant dianggap abstain). Hanif kalah telak. Mau tidak mau ia mengangkat dagunya, dan meluruskan pandangan mata kelabunya pada keempat pemuda dihadapannya.
"Sebenarnya... kemampuan sekunderku..."
"...Aku bisa membaca pikiran."
Ferdinand tercekat, sementara mulut Vero menganga lebar. Mereka kompak berseru, "Jadi kau itu—"
"Maaf aku baru bilang sekarang. Ada kejadian aneh—"
"Ta-tapi kamu nggak ingat apa yang seharian ini aku pikirin kan?" potong Vero panik sambil mengacak rambut pirangnya. "Mana aku mikirin bakso, asinan, sama es doger tadi siang! Ketauan banget kalo aku tukang makan!"
"Jangan kasih tahu isi pikiranku tadi siang!" seru Ferdinand dan Mamoru serempak dengan nada panik. Muka keduanya memerah karena menahan malu.
Vero langsung melirik antusias ke arah dua pemuda yang tengah menahan malu itu. Senyum lebarnya tersungging sempurna. "Memangnya kalian berdua mikirin apa?"
"Bukan urusanmu, Pendek!" balas Mamoru ketus.
Vero mengguncang bahu Hanif. "Kau pasti tahu apa yang Ferdi dan Mamo pikirkan. Bener kan, Nif?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Pangeran : Angin
ActionBumi adalah tempat tinggal semua makhluk hidup ciptaan Tuhan, salah satunya manusia. Hanya sebagian kecil manusia memiliki kekuatan spesial dalam diri mereka. Namun tidak untuk dunia Xena, sebuah dunia tiga setengah dimensi yang dihuni oleh manusia...