Claire menaikkan satu alisnya ketika mendapati Emma sedang memutar-mutar lazy susan dengan tatapan menerawang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan teman sekelasnya itu yang nekat melamun di kelas Chef Clement. Kalau sampai ketahuan, bisa-bisa chef berambut kelabu yang terkenal galak itu mengeluarkannya dari kelas. Hukumannya tak hanya itu. Chef Clement akan memastikan siapapun yang melanggar aturannya harus mengulang di tahun depan. Itu mimpi buruk buat semua mahasiswa di CIA.
"Emma!" senggol Claire sambil melirik ke arah Chef Clement yang sedang memperhatikan dummy cake milik Rosaline yang didominasi warna hijau. Dosen yang sangat teliti itu menunjuk beberapa bagian di kue Rosaline. Claire tidak bisa mendengar apa yang dosennya itu katakan, tapi raut wajah Rosaline menunjukkan komentar dari sang dosen bukan komentar yang menyenangkan. "Kau sedang melamunkan apa sih!"
Emma tersentak.
Dia menoleh. Menatap Claire dengan wajah bingung.
"Kapan kau akan menambankan hiasan di kuemu? Sebentar lagi Chef Clement akan sampai di meja kita dan kau..." Claire menunjuk dummy cake yang hanya berlapis fondant sewarna langit. Hanya ada sepasang angsa yang sepertinya tengah kasmaran di bagian tengah. Claire tidak mau membayangkan bagaimana reaksi Chef Clement saat melihatnya. "Tiga puluh menit lagi kelas akan berakhir, Em. Kau cari mati, ya!"
Emma terkesiap.
Dia melihat ke arah jam dinding besar yang tergantung di depan kelas. "Tiga puluh menit lagi?" pekiknya tertahan. Merutuki dirinya sendiri yang melamun di tengah-tengah pelajaran. Di saat dosen galak se-CIA sedang memberikan tugas. "Ayo, kita taruhan, Claire. Kurasa tidak ada mahasiswa sebodoh aku yang melamun di kelas Chef Clement."
"Aku yakin kamu bukan yang pertama." Claire tertawa sambil memasang fondant berbentuk Teddy Bear di atas batang kayu.
Emma mematung sejenak. Menarik napas. Melamun membuatnya kehilangan konsentrasi dan benar-benar lupa dengan apa yang hendak dia kerjakan. Dia melirik Claire yang hampir selesai menghiasi dummy cake-nya dengan hiasan bertema musim semi. Hiasannya lumayan rumit dan membutuhkan waktu untuk membuatnya.
Sayangnya, Emma membuang-buang waktu dengan memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya.
"Sepertinya aku terpaksa hanya menambahkan hiasan yang sederhana." Emma mengangguk-anggukkan kepalanya lalu bergegas mengambil segenggam fondant lalu menggilasnya dengan rolling pin. Tapi Emma malah lupa menaburi permukaan meja dan rolling pin dengan tepung maizena sehingga fondant melekat.
Sambil menggerutu dengan suara pelan, Emma membereskan kekacauan yang sudah dibuatnya.
Setelah permukaan meja dan rolling pin-nya kembali bersih, dia memulainya dengan mengambil fondant warna putih kemudian menguleninya hingga halus. Lalu membaginya beberapa bagian. Satu bagian diberi warna merah muda, lainnya warna kuning, hijau dan ungu. Warna merah muda akan dibentuk menjadi kelopak-kelopak bunga mawar. Sedangkan fondant warna lainnya akan digilas memanjang dan dipasang membentuk pita di sisi kue bagian bawah. Jika kelopak-kelopak mawar itu sudah jadi, Emma tidak akan merangkainya menjadi mawar yang utuh, tapi akan meletakkannya di sekeliling angsa yang sedang kasmaran dan di permukaan lazy susan yang tidak tertutupi dummy cake. Hanya sebuah kreasi sederhana tapi Emma berharap hasilnya akan terlihat elegan.
"Nyaris saja aku mengulang di tahun depan, Claire," ucap Emma sambil mengelus dadanya yang sejak tadi berdebar kencang. Terutama pada saat Chef Clement hendak menghampiri meja mereka. Untung saja, Chef Clement hanya bertanya apakah waktunya mengajar sudah hampir berakhir atau belum. Dosen galak itu bahkan tidak melirik kuenya.
Untuk pertama kalinya, Emma justru senang saat Chef Clement mengabaikan hiasan buatannya.
"Aku pasti akan sangat kehilanganmu, Em," sahut Claire dengan wajah sedih yang dibuat-buat.
Emma lekas-lekas membuka celemeknya lalu memukulkannya ke pinggul gadis bermata hijau itu. Claire tertawa keras karena ulah temannya itu.
"Kau mau menemaniku ke perpustakaan?" tanya Emma saat tawa Claire mulai reda. "Aku ingin mengembalikan buku yang kupinjam sebelum pulang."
"Kebetulan. Aku juga mau ke sana."
Emma dan Claire berjalan bersisian keluar dari kelas. Di sepanjang lorong menuju pintu keluar, mereka melewati mahasiswa yang menunggu kelas berikutnya. Sesekali mereka berhenti untuk sekedar menyapa atau menjawab pertanyaan tentang tugas kuliah.
Setibanya di luar gedung, sinar matahari musim panas terasa menyengat. Mereka melangkah cepat menyusuri Anton Plaza menuju Conrad N Hilton Library yang letaknya berdekatan dengan Hudson Resindence Hall, salah satu asrama yang disediakan CIA dimana Claire tinggal.
"Kau melamun gara-gara ada masalah dengan pacarmu, ya?" tiba-tiba Claire bertanya, mengganti topik obrolan mereka.
"Aku tidak punya pacar," sahut Emma cepat. "Kau tahu, kan? Tidak ada satu pun."
Kening Claire berkerut.
"Kukira cowok yang mengantarmu tadi pagi..."
"Cowok yang mengantarku?" Emma memotong dengan tatapan heran. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku selalu pergi sendiri ke kampus, Claire. Kecuali..."
Claire berhenti melangkah. Nyaris saja Emma menabraknya. Dia baru saja hendak mengomeli temannya itu ketika suara Claire yang renyah kembali terdengar. Kali ini sanggup membuat Emma lupa mengatupkan mulutnya.
"Dia yang mengantarmu tadi pagi, kan?" tunjuk Claire dengan wajah penuh kemenangan. "Kau masih mau bilang tidak punya pacar."
Emma menoleh cepat ke arah telunjuk Claire mengarah. Ethan sedang menyandarkan tubuhnya di pohon maple. Tampak sibuk dengan ponsel di tangannya. Melihat cowok itu, Emma teringat Ethan akan menjemputnya selepas jam kuliah. Emma benar-benar lupa kalau Ethan meminjam mobilnya.
"Ethan!"
Dia melambaikan tangan saat Emma memanggilnya. Lalu mengangguk saat gadis itu memberi isyarat untuk menunggunya.
"Dia memang bukan pacarku. Dia itu sahabatku."
"Sahabat?" Claire tertawa. "Aku tidak pernah percaya kalau cowok dan cewek itu bisa bersahabat. Kalau bukan kau yang jatuh cinta padanya, dia yang diam-diam mencintaimu. Aku benar, kan?"
Emma tergagap.
Pertanyaan itu sungguh terdengar menyebalkan tapi sekaligus membuat kupu-kupu di dalam perutnya kembali menari.
"Beritahu aku kalau kau memang hanya menganggapnya teman. Kau tidak keberatan kalau aku pacaran dengannya, kan?"
Emma terbatuk. Dia tahu Claire yang memiliki setengah darah Spanyol di tubuhnya itu sering berganti pacar, tapi tidak pernah membayangkan Ethan akan menjadi salah satunya. Emma benar-benar tidak rela kalau sampai hal itu terjadi.
"Astaga, Emma. Aku hanya bercanda. Aku memang suka berganti pacar tapi aku tidak akan pacaran dengan pacar, hm... sahabat temanku," kata Claire lalu mengedipkan sebelah matanya. "Aku akan pergi ke perpustakaan sendiri. Kau pergi saja sana."
"Kau memang menyebalkan, Claire."
"Aku tahu." Emma hanya bisa bersungut-sungut ketika tawa Claire kembali terdengar. "Sampai ketemu besok. Kalau kau perlu seseorang yang ahli dalam urusan percintaan, kau bisa meneleponku. Kapan saja."
Emma ingin sekali melepas sepatunya lalu melempar temannya yang sangat senang menggodanya itu. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya, Emma tahu, Claire benar. Cowok dan cewek tidak benar-benar bisa bersahabat.
Karena diam-diam, dia mencintai sahabatnya itu.***
"Bagaimana audisimu?" tanya Emma saat tiba di depan Ethan. Berusaha sebaik mungkin menyembunyikan debaran yang membuat napasnya tidak beraturan. Untung saja, dia berjalan cukup jauh sehingga Ethan pasti mengira dia hanya kelelahan dan bukan tersengat rasa senang karena bertemu dengan cowok itu lagi. "Apa ada yang berhasil?"
Ethan menegakkan tubuhnya lalu menggeleng pelan.
"Mereka akan mengabariku secepatnya."
"Kau hanya perlu bersabar," kata Emma seraya tersenyum menenangkan. Dia tahu benar betapa lelahnya menjadi gitaris freelance yang harus pergi menghadiri audisi dari tempat satu ke tempat yang lainnya. "Kau pasti akan mendapatkan salah satunya."
"Kuharap juga begitu," sahut Ethan dengan suara letih. Berkendara ke Peekskill, Poughkeepsie dan Marlboro benar-benar menguras tenaganya. Belum lagi menunggu giliran tampil. Ethan nyaris saja tertidur di audisi ketiganya. "Aku harus mendapatkan pekerjaan agar tidak terus-terusan meminjam Old Lady-mu. Aku harus memperbaiki Sir Franklin secepatnya."
"Kau boleh memakainya kapan pun kau memerlukannya."
Ethan menggeleng cepat.
"Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu."
"Hei, itu gunanya sahabat, kan?" sahut Emma cepat. Dia tidak ingin Ethan terus larut dalam perasaan tidak enaknya. "Kau juga selalu ada saat aku membutuhkan bahu untuk menangis, teman untuk berbagi dan orang yang suka rela menghabiskan resep masakanku yang belum tentu enak."
Emma merasa senang saat senyum Ethan mulai mengembang.
"Kau tahu, Em... bahuku selalu siap menampung tangisanmu. Tapi, kurasa akhir-akhir ini kau lupa. Iya, kan?"
Kening Emma mengerut.
Lalu Ethan mengeluarkan secarik kertas kumal dari saku celananya.
"Aku menemukannya di jok Old Lady."
Emma tergugu. Dia tidak bisa menghindar lagi. Secarik kertas kumal itu mengungkapkan segala kegundahannya. Dia menuliskan semua pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab yang mengganggunya belakangan ini.Mengapa ayah berhenti mengabariku?
Apakah Cecilia benar-benar jahat?
Apa aku harus mencari mereka ke London?
Mengapa hatiku berdebar-debar saat....Emma menghela napas. Merasa sedikit lega karena tangannya berhenti menuliskan satu rahasia yang tak boleh diketahui Ethan.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Em?"
Emma mendongak mendengar suara lembut yang membuat sepasang matanya berkaca-kaca.
"Kurasa ayah dan Cecil sudah melupakanku," katanya dengan bibir bergetar.
Emma terlihat seperti anak kucing yang ditinggal pergi induknya. Sendirian menahan rasa lapar dan kedinginan. Membuat Ethan bersumpah akan melakukan apa saja untuk bisa menghapus kesedihan dari gadis itu. Lalu Ethan menariknya dalam pelukan. Menyembunyikan wajahnya dari mereka yang penasaran dengan apapun yang terjadi di tempat itu. Membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.***

KAMU SEDANG MEMBACA
Stolen Honor
RomanceEmmanuel Grant, mahasiswi Baking & Pastry di CIA, tadinya gadis yang ceria dan mencurahkan sepenuh jiwa dan raganya untuk meneruskan cita-cita ibunya. Dia menjadi patah semangat setelah ibunya meninggal dunia dan ayahnya memutuskan untuk pindah ke L...