“Dua hari lagi gue pulang.” Itu kalimat yang gue dengar begitu melihat wajah Yeri yang mendadak berubah jadi serius. “Kalau nanti gue pergi, lo jangan pernah lupain gue yang selalu bikin kekacauan di kamar lo, ya?” katanya lagi, lalu terkekeh pelan.
Entah--gue merasa aneh mendengar kalimat ini.
Harusnya gue seneng dia pergi. Dengan kepergian dia, gue nggak bakal merasa terusik lagi. Nggak bakal terbebani lagi.
Tapi--mendadak gue jadi begini. Merasa bakal ada sesuatu yang bakal hilang dua hari lagi. Gue nggak tahu harus seneng apa sedih, tapi--nyatanya gue nggak menerima kenyataan kalau Yeri emang bakal ninggalin gue--secepat ini. Seminggu itu ternyata nggak kerasa.
“Mana bisa gue lupain lo, Yer,” kata gue, ikut tertawa hambar.
Gue nggak tahu dia ikut sedih atau justru seneng karena dia bisa balik lagi pulang ke Indonesia. Tanpa diharapkan, otak gue menuntut dia untuk dapat extra day di sini. Jangan salahkan gue. Salahkan otak gue yang mulai nggak bener ini.
“Yer,” panggil gue tiba-tiba, memecah keheningan. Dia menoleh, menatap gue bingung. Gue menarik napas sebentar. “Gue harap dua hari lagi bukan pertemuan terakhir kita.”
Mati.
Barusan gue ngomong apa.
Kenapa--kenapa gue ngomong begitu, sih.
Tanpa disangka-sangka, mulut gue melontarkan pernyataan itu. Pernyataan yang sangat-amat menggelikan. Gue tahu, setelah ini pasti...pasti Yeri bakal ilfeel. Ah, damn. Gue--harusnya nggak ngomong begitu di depan dia. Argh.
Tiba-tiba dia senyum ke gue. “I think so too.”
Mendadak gue diem.
Jawaban barusan--di luar dugaan lagi.
Aneh.
Tapi entah kenapa rasanya otak gue mau copot dengernya.
“Ye--”
“Yah! Hilang!” Tiba-tiba teriakan Yeri membuat gue tersentak kaget. Lantas gue menoleh, menatap anak itu dengan tatapan bingung. “ADUH HILANG BENERAN! HUAAAA MAMAAAA!”
“Ada apa?” tanya gue bingung.
“HIGH HEELS PUNYA MAMANYA CHAEYOUNG ILAAAANG! HUAAAA JUNGKOOK GIMANA DOOOONG!” Dan Yeri tiba-tiba ngerengek kayak anak kecil. Sumpah. Ini kalau Chaeyoung tau, bisa diamuk si Yeri.
Dan as always, Yeri selalu bikin gue kesel secara mendadak. Udah tenang-tenang barusan, ngelamunin soal kepergian dia ke Jakarta dua hari lagi. Tapi tau-tau dia teriak karena high heels yang dia pinjem dari ibunya Chaeyoung ilang.
“Lo apain high heels nya sih bisa sampai ilang begitu?!” sungut gue. Sumpah, 'tiada hari tanpa kekesalan' kalau lagi bareng Yeri.
“Tadi pas gue lari keluar dari gedung, high heels nya gue copot. Abisnya pegel banget. Terus gue lupa deh. Kalau nggak salah high heels nya gue buang deh tadi.”
Gue mengusap wajah gusar. “Astaga. Bisa nggak sih lo nggak teledor serhari aja?” damprat gue. Entahlah, Yeri tiap hari kayaknya seneng banget bikin gue emosi. “Kalau itu punya lo sih nggak apa-apa. Lah, lo kan tahu gue pinjemin itu dari mamanya Chaeyoung, Yer. Astaghfirullah.”
“Ntar ah, beli lagi.”
Dan ini yang nggak gue suka dari seorang Yeri. Terlalu menggampangkan sesuatu.
“Lo nggak punya duit. Jadi nggak bisa gantiin,” celetuk gue. Mendadak wajah Yeri jadi lesu lagi.
Ha. Mampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singapore
FanfictionSemuanya bermula ketika Yeri menerima tantangan gila sang ayah. Ya. Bertahan di Singapura dengan uang 500.000 selama satu minggu--dengan syarat, harus kembali dengan uang sisa. Semuanya dia lakukan agar ayahnya itu membelikannya mobil. Tapi siapa sa...