11. Kehidupan Baru

12 1 0
                                    

Sebuah mobil yang sangat dikenal olehnya memasuki halaman rumah. Kenapa Justin datang sepagi ini. Mereka tidak berjanji untuk bertemu. Belum terjawab pertanyaannya terdengar suara Justin mengucap salam. Ketika dia akan keluar dari kamarnya, terdengar panggilan ibu.
Segera dia merapikan kerudungnya dan betapa terkejutnya Firda ternyata Justin datang dengan orang tuanya.

Firda bingung apa yang sedang terjadi, dia melihat Justin mengenakan pakaian formal, demikian juga kedua orang tuanya, bahkan Ayah dan ibunya juga terlihat sudah tahu kedatangan keluarga Justin. Sambil tersenyum dia menyalami kedua orang tua Justin. Sesaat setelah berbincang ringan tiba-tiba Ayah Justin menyampaikan tujuannya datang hari ini untuk meminang Firda. Disusul jawaban dari ayahnya yang mengatakan bahwa mereka menerima dengan senang hati lamaran Justin.

Mendengar itu dia tertegun, kenapa secepat ini? Mengapa mereka tidak menanyakan pendapatku? Bagaimana dengan rasaku? Adie ... ? Kalimat-kalimat itu berseliweran dibenaknya. Dia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bahkan dia tidak melihat Justin sedang meliriknya. Semua terasa membingungkan. Sikap ayah dan ibu yang seolah telah merencanakan semuanya dengan Justin. Dia benci semua ini, tidak ada yang bisa dia perbuat untuk dirinya sendiri.

Malam itu dia menemui ibunya untuk meminta penjelasan. Namun jawaban yang dia terima tidak bisa membuatnya memahami semuanya.
" Aku sedang menunggu seseorang ... " Firda tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Hujan dimatanya tak lagi dapat dibendung. Dia menangis dipangkuan ibunya.
" Jodoh, hidup dan mati hanya Allah yang mengetahui, tugas kita hanya berdoa dan berusaha. Ini jalan yang harus kamu lalui, bersabarlah dan terimalah dengan hati lapang." Nasihat ibu sambil mengelus rambutnya.

Tiga bulan setelah hari itu, Firda sudah resmi menjadi Nyonya Justin. Mereka memulai hidup baru, sambil menunggu Justin menyelesaikan skripsinya. Firda bekerja sebagai staf peneliti di sebuah perusahan asing.
Hari demi hari dilalui Firda dengan tetap tersenyum dan menjadi istri yang baik. Hingga suatu malam saat dia merapikan buku-buku yang selesai dibaca suaminya, ada secarik kertas terjatuh. Tulisan itu membuat dia sadar bahwa keberadaannya tidak diharapkan oleh keluarga suaminya.
Jadi ini adalah jawaban atas sikap keluarga Justin yang dingin saat dia berkumpul ditengah-tengah mereka.
Bahkan Firda merasa mereka tidak menghiraukan keberadaannya.
" Aku harus kuat dan terus berusaha agar mereka menerimaku " gumamnya dalam hati.

Satu tahun kemudian Justin menyelesaikan kuliahnya. Tepat dihari wisudanya, ada seorang gadis hadir ikut serta bersama keluarganya. Justin dan Firda sangat terkejut. Mereka tidak menyangka hari bahagianya akan terganggu.
" Kenalkan ini Sella, anak sahabat mami yang baru selesai kuliah di Perancis, dia perancang busana yang terkenal" kalimat maminya membuyarkan pikiran Firda dan Justin. Mereka berdua menyalami gadis tersebut. Kemudian orang tua Justin mengajak anaknya pergi dengan gadis itu, dengan alasan mobilnya tidak cukup, mereka meninggalkan Firda sendirian.

Firda hanya tersenyum dan mengiyakan perintah mami mertuanya. Justin menatap istrinya dengan iba. Dia tahu wajah istrinya pandai menyembunyikan luka. Dia tahu sampai kapanpun Firda akan tersenyum meskipun hatinya menjerit. Itulah yang membuatnya jatuh hati pada gadis itu. Enam bulan merawatnya sakit, tidak sedikitpun Firda mengeluh, bahkan dia begitu bangga dan terinspirasi melihat gadis itu berjuang menyelesaikan kuliahnya. Meskipun mereka mempunyai perbedaan latar belakang yang mencolok, namun Justin mampu meyakinkan orang tuanya agar mengijinkan dia menikahi Firda.

"Sella akan tinggal beberapa hari di rumah kita, sebaiknya kamu menemani dia keliling kota ya" ucapan maminya membuyarkan lamunannya. Dia hanya mengangguk. Tidak mungkin menolak perintah mami, meskipun itu artinya dia akan menyakiti hati istrinya. Kenapa mami belum bisa menerima Firda, padahal sikap istrinya selalu baik terhadap keluarganya. Tidak pernah sedikitpun Firda mengeluh tentang perlakukan mami yang sangat jelas mengacuhkannya. Justin menarik nafas berat. Pikirannya terus tertuju kepada istrinya yang ditinggalkan dihari bahagianya.

Sore itu, Firda memilih pergi ke pantai. Dia ingin menikmati senja sendirian. Semburat jingga warna matahari selalu menghiburnya. Dia lebih suka sunri, namun sore ini dia ingin bercerita tentang gundahnya pada laut dan berbisik pada langit.
"inikah balasan yang aku terima, setelah satu tahun menemani dan mengorbankan hatiku sendiri" teriaknya pada laut seolah ingin mengalahkan deburan ombak yang berlomba menuju pantai. Bulir-bulir bening mengalir deras dipipinya. Dia terduduk membiarkan kakinya tersiram air laut.
"Tuhan, aku harus bagaimana?" bisiknya pada langit. Dia yakin Tuhan Maha Mendengarkan meski dia berkata tanpa bersuara.

Hari mulai gelap, Firda berjalan menuju rumah mereka. Dia berharap suaminya sudah ada di rumah. Namun semuanya tinggal harapan. Rumah mungil itu sunyi senyap. Tidak ada seorangpun yang menyambut kepulangannya. Dia tersenyum getir. Dia berusaha mengendalikan pikiran negatifnya, dia tidak mau teracuni oleh pikiran-pikiran itu. Maka dia memilih memasak untuk makan malam mereka berdua. Namun hingga pukul sepuluh malam suaminya belum juga datang. Tanpa disadari Firda tertidur saat menunggu suaminya pulang.

Tepat pukul sebelas malam Justin membuka pintu rumah, dia melihat semua lampu masih menyala, pertanda istrinya masih belum tidur. Namun perkiraannya salah, dia melihat Firda terlelap di sofa ruang keluarga. Nampak sekali wajah lelah istrinya, pasti dia tertidur saat menunggu.
Seminggu sejak kedatangan Sella menjadi hari-hari sulit buat dia dan istrinya berkomunikasi. Firda menjadi pendiam, dia bingung mau menjelaskan posisinya. Sementara mami terus memaksanya untuk agar dia dekat dengan Sella.

Hari itu Justin diminta untuk bermalam di rumah orang tuanya. Ternyata mami sudah menyiapkan sebuah kejutan. " Ini tiket keberangkatanmu dan Sella ke Perancis, kamu harus melanjutkan kuliah di sana, papi sudah mengurus semuanya" . Suara mami yang lembut bagaikan petir yang memecahkan telinganya.
"Aku harus membawa Firda, dia tidak mungkin aku tinggalkan sendiri".
Mami hanya terdiam. Seolah tidak mendengarkan ucapannya.
Tiba-tiba mami menelpon Firda, menjelaskan jika Justin harus melanjutkan kuliah.

Dengan suara lembut Firda menjawab salam mami mertuanya, dan menyimpan telepon genggamnya di atas meja. Dia terduduk, rasanya semua persendiannya lemas. Entah apa yang harus dilakukan kini. Dia tidak ingin menambah beban orang tuanya jika dia bercerita kehidupannya tentu ibu akan sedih.
"Aku harus rela, ini jalan Tuhan" hanya itu yang diucapkannya. Dipuncak kesedihannya tidak ada air mata yang mengalir. Kepasrahan yang tinggi membuatnya lebih kuat dari batu karang. Ini mungkin cara Tuhan mengakhiri kehidupan barunya.

Dia mengantar suaminya ke bandara, dan melihat dengan jelas ada wanita lain yang akan menemani suaminya di negara lain. Justin hanya berbisik agar Firda menunggunya.
Hari demi hari Firda mencoba menghubungi telepon suaminya, namun tidak ada satupun balasan. Firda tidak pernah tahu apa yang terjadi hingga Justin tidak pernah mengabarinya. Pernah dia mencoba bertanya kepada keluarga suaminya, namun jawaban mami sungguh diluar dugaannya.
"sebaiknya kamu lupakan anakku, karena dia sudah bahagia di sana"
Kalimat tersebut cukup dipahami olehnya. Dan sejak saat itu Firda tidak pernah lagi mendatangi keluarga suaminya.

Puzzle Yang Tak BerbentukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang