Saat itu malam gelap bukan lagi hal yang asing menyapa, malam kelam mencekam serasa dalam neraka pun nampak akrab menyapa keheningan setiap kali matahari terbenam. Kali ini yang datang bukanlah hujan, bukan hanya rintik air yang turun membasahi tanah dan menguarkan aroma yang menenangkan dari basahan tanah kering, tapi yang datang kali ini adalah badai. Hujan dengan angin kencang yang berhembus dingin dan bising dengan suara-suara benturan besar. Sebenarnya saat itu sudah pukul dua dini hari, sudah terlalu larut untuk ukuran orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan apapun untuk tetap membuka mata dengan wajah separuh cemas, berjalan ke arah yang berlawanan berulang kali dengan membawa secangkir cokelat panas.
Seohyun menarik napasnya untuk yang kesekian kalinya hari itu, dadanya serasa sesak karena udara terlalu dingin juga menusuk. Ia tak bisa mendudukkan diri barang sedikitpun di kursi karena separuh perasaan cemas itu hampir sepenuhnya memang cemas. Niat awalnya Seohyun memang ingin menunggui sang suami pulang, karena memang pria itu berkata akan pulang paling telat pukul sebelas malam dan berpesan pada Seohyun untuk tetap menjaga pintu untuk tidak di kunci, dan tentu saja Seohyun melakukannya dengan senang hati.
Hanya saja ketika waktu sudah berdentang melebihi pukul itu, rasa yang Seohyun miliki berubah menjadi perasaan cemas, cemas jika sang suami akan terluka dan terjadi sesuatu yang buruk tanpa Seohyun ketahui. Jadi dengan hanya berbekalkan cokelat panas, Seohyun menyakinkan dirinya untuk bisa menunggu sang suami pulang tanpa kantuk. Ya, memang tanpa kantuk, tapi cemas lebih mendominasi itu jauh lebih melelahkan.
"Kau dimana, oppa?"
Seohyun mulai resah akan perasaannya, sudut hati itu berteriak seperti kesakitan karena terlalu sesak dan menghimpit. Sesekali matanya melirik ke arah jendela yang terbuka dan belum tertutup tirai sempurna. Berharap sang suami datang dan menghilangkan cemasnya dengan tersenyum meskipun dengan wajah yang begitu lelah. Tapi harapan itu tidak pernah sama sekalipun datang. Yang datang benarlah hanya hujan dan badai. Tidak ada sosok sang suami yang biasanya akan berlari keluar mobil untuk segera meraih daun pintu.
Setelah menidurkan Nara sejak pukul delapan tadi, Seohyun tak sama sekali beranjak dari tempatnya untuk menunggu sang suami pulang. Masih setia di sana dengan perasaan kalut dan berharap suaminya segera pulang.
Hanya saja, ia tidak tahu bahwa yang sedang ia tunggu justru tengah berbahagia.
"Kau baik-baik saja kan, oppa?"
Kyuhyun masih disana, berbaring di sebuah ranjang yang besar dengan memeluk seorang gadis cantik, entahlah, apa mungkin gadis itu belum berubah menjadi seorang wanita. Dengan kemeja yang beberapa kancingnya terbuka dan dasi yang sudah tidak rapi lagi. Sepertinya pria itu terlalu lelah karena pekerjaan di kantor sehingga membuatnya terlihat berantakan.
Pikirannya masih tampak tenang dengan mengapit rokok di kedua jari nya, seperti tak pernah terlintas di pikirannya mengkhawatirkan sedikitpun sang istri di rumah yang tengah menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember: Our Last
FanfictionEnd: 08 Juni 2017 [✓] Entah kemarin, hari ini, atau esok, tawa hanya akan menjadi bagian dari ingatan dan kenangan, ketika akhir mengatakan sudah saatnya saling melepaskan. .......... /Dilarang menjiplak ide, atau seluruh isi cerita yang ada di dala...