Tiga

6 0 0
                                    


Hari ini, Jill mengenakan sweter warna abu-abu berkerah tinggi menutup leher, dengan bawahan celana kulot sepanjang mata kaki. Rambutnya digelung, dikunci dengan satu buah stik kayu yang keempat sisinya telah diserut halus. Sejak menonton tayangan youtube seorang beauty blogger, beberapa hari ini Jill suka menggelung rambutnya ke belakang. Tidak terlalu rapi dan sempurna, memang. Tapi dia menyukainya.

Jill mendekap dua kantung kertas berwarna coklat yang penuh berisi bermacam-macam bunga-bunga segar, hingga membuat pandangannya terhalang jika dia tak sedikit memiringkan kedua kantung tersebut. Marco memintanya mengirim bunga pagi-pagi sekali, itu sebabnya semalam Jill membawa pulang beberapa bunga miliknya dan memutuskan pergi ke hotel langsung dari apartemennya.

Jill turun dari gedung apartemen. Menyapa petugas keamanan di lobi depan serta beberapa orang yang dikenalnya yang kebetulan berjalan berpapasan. Dia bahkan sempat menjawil Tom -kucing ras Himalayan berbulu kelabu yang tinggal di apartemen atas- yang sedang digendong pemiliknya, saat mereka sama-sama keluar dari gedung. Tom menggeliat. Kucing itu mengeong-ngeong antusias ketika Jill membelai-belai tubuhnya dengan gemas.

Mereka berpisah di taman berumput depan gedung setelah Jill melambaikan tangan pada Tom. Dia berjalan gegas. Kakinya yang dibalut sepatu bot berbahan suede berwarna merah, bergerak lincah. Meloncati genangan air yang muncul karena hujan semalam, menuruni beberapa anak tangga dari batu, kemudian keluar dari gerbang dan berjalan menyusuri pedestrian. Lalu lintas masih belum terlalu padat sepagi ini. Hanya ada beberapa orang pejalan kaki dan beberapa kendaraan yang lewat yang tak terlalu menyumbang polusi.

"Hai, Jill."

Jill menghentikan langkahnya seketika. Terkejut. Seseorang menyapanya. Ketika memalingkan wajah, dia menemukan si lelaki yang kemarin berkunjung ke Bloem's.

"Hai -,"Jill berharap ia tak salah mengingat nama lelaki itu,"-Alex?"

Alex -diam-diam Jill berdoa lelaki itu benar bernama Alex- berhenti di sampingnya, duduk di atas sepeda kayuh yang bercat merah dengan keranjang rotan putih di bagian depan. Sejujurnya, sepeda itu terlalu imut untuk dinaiki lelaki seperti Alex.

Mendengar namanya disebut, sorot mata lelaki itu berbinar cerah, penuh semangat. Lekuk kecil di kedua pipinya tampak mempesona ketika tersenyum. Kedua lengannya dilipat di depan dada. Dia menelengkan wajah. Menatap Jill lekat-lekat dengan senyum secerah matahari pagi. Rambut pendek lelaki itu tampak basah, berkilau-kilau karena serpihan keringat.

Sepeda kayuh. Setelan training. Udara yang sejuk dan belum terpapar polusi. Jill menebak lelaki itu sedang menghabiskan paginya dengan berolahraga.

"Wow, aku senang kau masih mengingat namaku. Mau kemana?"

"Ke tempat Marco. Dia memintaku mengantar bunga pagi-pagi sekali." Jill memiringkan dua kantung kertas dalam dekapannya agar wajah Alex bisa terlihat jelas.

"Kuantar yuk."

Alis Jill terangkat. Jemarinya menunjuk-nunjuk sepeda kayuh yang dinaiki Alex. Jill tertawa kecil,"Kau kuat memboncengku? Aku tak seringan yang kau pikirkan, lho."

"Oh ya? Kau meremehkanku?" Alex balas tertawa. Dia mengangkat salah satu lengannya hingga Jill dapat melihatnya tengah memamerkan otot bisep yang menyembul dari jaket berbahan kaus yang dikenakan lelaki itu. "Hasil dari gym." Laki-laki itu lagi-lagi tertawa.

Jill menyukai caranya tertawa. Lepas. Seolah-olah Alex mampu menularkan keceriaan hanya dengan melalui tawanya. "Boleh." Jill tersenyum sopan. Mengalah.

Alex meminta dua kantung kertas dalam dekapan Jill, lalu meletakkannya pada keranjang anyaman kayu yang terpasang di bagian depan sepedanya.

"Kau tinggal dimana?" Alex bertanya sementara lelaki itu sudah mengayuh sepedanya.

"Di dekat sini. Kompleks apartemen Montmartre."

"Oh ya? Aku juga tinggal di apartemen itu." Alex terdengar terkejut.

"Benarkah? Aku di gedung Van Gogh. Kalau kau?" Kali ini, Jill menyadari suaranya terdengar jauh lebih terkejut dibanding lelaki itu.

Alex tertawa. Suara tawa yang semakin diakrabi Jill."Kau terdengar antusias sekali sih punya tetangga tampan sepertiku." Dia mengerling." Picasso."

Pipi Jill merona merah. Kedua kakinya yang menjuntai disilangkan. Sesekali bergoyang-goyang mengikuti irama laju sepeda kayuh. Diam-diam, dia menahan senyum ketika Alex bercerita tentang banyak hal sepanjang perjalanan. Kepada Jill, lelaki itu bertingkah seperti sosok teman akrab yang tak dijumpainya bertahun-tahun.

"Aku tidak keberatan kalau kau melingkarkan tanganmu padaku. Berpeganganlah. Jangan sampai terjatuh." Alex berdehem, lalu menambahkan sembari setengah berbisik,"Apalagi kalau kau sampai terjatuh oleh pesonaku."

Jill tertawa seketika. Pelan-pelan dan penuh ragu, diturutinya perkataan lelaki itu. Jari jemarinya menyusuri punggung Alex. Malu. Pelahan namun pasti, dia menggenggam ujung jaket kaus lelaki itu di bagian pinggang.

Berada sedekat ini dengan Alex, membuat Jill menyadari wangi tubuh Alex sangat memikat. Aromanya seperti musim dingin. Meninggalkan sensasi segar saat menghirupnya dalam-dalam. Mengingatkan Jill akan aroma gumpalan es yang mencair. Lelaki beraroma salju, Jill menahan senyum ketika kalimat itu tiba- tiba saja terlintas di pikirannya.

"Ini hotel milik Marco?" Alex menghentikan sepedanya. Jill mengerjap-ngerjap. Dia melamunkan aroma Alex. Dan itu cukup membuatnya malu.

Jill turun dari sepeda, mengambil dua kantung kertas dari keranjang kayu. Dia menatap Alex."Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih padamu."

Alex berdehem. Lelaki itu mengerling sekali."Berikan saja padaku nomor teleponmu."

Alis Jill terangkat. Lelaki itu menatapnya lekat-lekat. "Berikan aku nomor teleponmu." Alex tersenyum. Terdengar bersungguh-sungguh."Kalau aku mengajakmu makan siang, terimalah. Maka akan kuanggap itu sebagai bentuk terimakasih darimu."

Jill mengangguk. Memenuhi permintaan Alex tanpa perlu lelaki itu mengulangnya lagi tiga kali. Jill menyebutkan nomor teleponnya, dan memastikan lelaki itu menuliskan nomornya dengan benar.

Alex mengerling sekali lagi.

Jill melambaikan tangan ketika lelaki itu mengayuh sepedanya pergi menjauh. Tangan Jill terangkat. Jari-jemarinya meraba-rabai sesuatu yang melingkar di lehernya. Tersembunyi dengan baik di dalam pakaian yang tengah dikenakannya.

Kalungberbandul berlian.

PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang