Bagian Lima

246 36 8
                                    

"Kay! Sudah belum?"

Aku menunggu Kay bersiap sembari menyesap teh bersama Najam. Pagi ini aku meminta tolong padanya untuk mengantar Kay kembali ke kota, aku sih masih ingin bercurhat ria bersama adik ku itu. Tapi apa boleh buat, Kay sudah harus kembali kuliah esok hari.

"Beneran gak masalah?" Najam mengangguk.

Kami kembali terdiam, ku lihat mata Najam yang masih sembab saja. Katanya jika ada seorang lelaki sampai meneteskan air matanya untukmu, maka bisa dipastikan bahwa ia benar-benar telah jatuh hati padamu. Aku sih senang mengetahui bahwa Luna sangat dicintai suaminya, hanya saja aku kembali sedih saat tersadar bahwa suami dari Luna tak lain adalah Najam-ku.

Sudah-sudah aku jadi kepikiran Najam lagi kan.

Kay sudah siap dengan ranselnya, awalnya aku tak berniat ikut mengantar Kay ke kota Solok tapi apa boleh buat dia sedari tadi merengek minta diantar jadi ku putuskan untuk ikut bersama Najam mengantar adik ku pergi ke kota.

Jarak dari Nagari Paninggahan ke kota cukup memakan waktu satu setengah jam. Sedangkan sekarang sudah jam 10 pagi, bisa-bisa kami sampai sana terlalu siang.

"Kay! Ayolah...." Tak ada jawaban, aku pun bergegas kek kamar melihat apa yang tengah dilakukan Kay hingga memakan waktu selama ini. Ku lihat kamarnya yang masih berantakan tanpa keberadaan Kay di sana.

"Mi.... Ummi. Lihat Kay tidak?" Tanya ku pada Ummi yang sibuk mengayak beras memisahkannya dari gabah yang masih tertinggal di dapur.

Ummi menunjuk ke kamar mandi. Membuatku mengerti bahwa di dalam sana lah Kay berada.

"Kay! Ayo! Udah siang ini." Panggilku tak sabar. Meski tak ada sautan dari dalam aku memilih keluar kembali menemani Najam menyesap tehnya.

"Sorry, Kay masih belum siap."

"Santai lagi Sal, lagipula kita jadi bisa ngobrol berdua lagi kan? Udah lama loh kita gak bisa begini." Aku baper. Tak bisa menyalahkan Najam yang tak memahami hatiku, apa boleh buat biarkan aku baper sendirian.

Terbawa suasana tadi aku terus menatap Najam. Menikmati paras Najam yang biasa saja namun melekat kuat di ingatanku. Ingatan tentang Najam kembali menyeruak memenuhi hatiku yang masih tersimpan namanya.

Meski otakku terus mengatakan 'Najam itu suami orang' berulang kali. Nyatanya hatiku masih terus berkhianat dengan terus mendambanya hingga kini

"Ayo cepet nanti kita kesiangan." Ucap Kay mengagetkanku. Bertindak seenaknya tanpa merasa berdosa karena membuat orang yang dimintai tolong menunggunya terlalu lama.

"Maaf ya Abang. Tadi ada serangan darurat, harus segera dikeluarkan kalau tidak nanti bisa meledak kapan pun tak kenal waktu. Kan seram." Najam tertawa mendengar candaan tak jelas yang meluncur dari bibir Kay.

Aku kembali terpesona saat melihatnya tertawa. Ayolah hatiku. Berhentilah berdetak berlebihan.

"Ayo.... Kak, cepat, sudah siang." Entah mengapa aku merasa sedang diledek oleh Kay. Nada suaranya aku tak suka. Kay jelas tahu bagaimana perasaanku, tapi Kay malah terus mengejekku tanpa henti.

Aku, Kay dan Najam masuk ke dalam mobil. Entah apa yang ada dipikiran adik ku, dia dengan entengnya mengatakan "Kak, kakak didepan saja. Temani Abang Najam, masa kita berdua dibelakang. Kan Abang Najam bukan supir."

Sudah telak. Aku harus terjebak dalam kecanggungan tanpa akhir, setidaknya sampai 90 menit ke depan.

Kami semua terdiam selama perjalanan. Kay tidur sih tepatnya, Najam sibuk menyetir sejak tadi. Lalu aku? Memilih menatap Najam sejak tadi. Bersandar pada pintu mobil, pura pura terlelap demi mencuri-curi untuk melihat dia yang masih ku harapkan.

Rambut Najam yang kini mulai tumbuh menutupi matanya. Desiran angin menerpa wajahnya, mengayunkan tiap helai rambut itu seakan menari menambah keindahan parasnya yang biasa saja itu.

Kadang aku berfikir. Kenapa bisa jatuh hati pada si hitam sahabatku itu, sifatnya yang tengil suka menjahili ku. Serta selalu bertindak sesuka hati sering membuatku kesal. Tapi tetap saja hatiku terpaut olehnya.

"Hey. Kenapa melihatku seperti itu?"

Sialnya hariku. Sepertinya Allah terus menegurku yang masih terus mendamba suami orang. Daritadi ada saja yang menggangguku menikmati anugerahNya yang satu itu.

Allah tahu bahwa hatiku kotor, dan bodohnya akal ku membiarkan hatiku terus seperti itu. Yasudahlah terima saja dengan hati lapang. Mau mengeluh juga tak bisa.

"Tolong ya Tuan, percaya dirimu sebaiknya dikurangi." Najam tertawa lagi. Tawanya renyah seperti kerupuk yang baru matang dan bisa langsung dimakan saat itu juga. Aku terpesona ketika menikmati tawanya. Masa bodohlah, bukan salahku kan jika dia selalu bisa membuatku terpesona hanya dengan hal-hal kecil?

Kami terdiam lagi. Daripada aku kembali terpesona, lebih baik aku memulai percakapan saja.

"Bagaimana dengan Luna?" Pertanyaanku merubah wajah Najam kembali sendu. Aku jadi serba salah sekarang kan, akhirnya kami saling terdiam lagi.

Sepanjang pertemanan kami, aku tak pernah menyangka bahwa hubungan kami akan rumit seperti ini.

Aku akhirnya tertidur, membiarkan Najam menyetir sendirian dan berujung pada adegan aku hampir terjatuh dari kursi ku hingga terbangun. Terimakasih pada adik ku tersayang yang membuka pintu kursi ku tanpa aba-aba. Aku yang tengah bersandar di pintu akhirnya merosot dari kursi. Membuat ku bersyukur pada sabuk pengaman yang telah berbaik hati menahan beban agar aku tak terjatuh.

"Hati-hati dong." Sepertinya aku melupakan jemari Najam yang ikut menahanku. Lenganku ditariknya masuk, mencegahku terperosok semakin jatuh.

Kulihat Kay yang kini tertawa nista memandang kami.

Bahunya berguncang hebat menandakan kuatnya ia menahan tawa itu. Aku bersumpah akan membalasnya nanti.

"Kak Salu gak apa-apa kan?" Tanyanya sok perhatian, padahal terlihat sekali ia masih menahan tawanya agar tak terdengar oleh Najam.

Aku diam. Memilih menatapnya tajam. Justru yang ditatap hanya cengengesan melihat penderitaan ku. Kejamnya dunia.

Kay langsung pergi meninggalkan kami berdua. Katanya dia harus segera bertemu temannya karena ada tugas yang tertinggal atau apalah itu. Bukan tugas ku jadi aku tak terlalu ingat. Jadi tinggal lah kami berdua, masih saling terdiam di dalam mobil.

Aku terdiam karena kikuk, sedangkan Najam karena banyak pikiran. Kasihan dia, sebagai sahabatnya aku turun bersedih.

"Makan dulu yuk. Mau apa?"

"Terserah deh, Salu apa aja ok."

"Perempuan selalu begitu ya? Terserah itu bukan jawaban." Aku mengembungkan pipi kesal.

"Ya kamu mau makan apa?" Tanyaku membalikkan keadaan.

"Sate Laweh kayanya enak ya?"

"Yaudah itu aja."

Beres kan? Lelaki mah suka gitu. Seenaknya melempar apa-apa pada kaum perempuan, kalau balasnya salah-salah dikit malah dia yang baper. Padahal mah tinggal bilang aja mau makan apa. Dasar lelaki mah gitu.

***

[AS1] Mentari Di antara Bulan dan Bintang - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang