This Mustn't Be Real

49 3 11
                                    

Di penghujung tahun juniorku, sebelum ujian mulai, banyak guru yang justru malas-malasan datang ke kelasku. Aku yang memang dasarnya tidak peduli, memilih mengobrol dengan teman-temanku yang lain untuk membahas banyak hal.

Mulai dari gosip terhangat, berita lampau, hal mistis, bahkan life hacks tidak luput dari pembicaraan kami. Tentu saja, karena kami perempuan, hal yang paling banyak kami bahas adalah kecantikan, atau artis-artis yang cantik dan tampan, dan lain semacamnya.

Di sisi lain ruangan kelas, anak laki-laki juga terpecah menjadi dua kelompok. Sedangkan sisanya yang tidak mendapat kelompok duduk menyendiri.

Kelompok yang pertama berteriak dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya pada satu sama lain, namun pandangan mereka mengarah ke ponsel.

Itulah kelompok yang kebanyakan diisi oleh biang keladi dari kasus-kasus yang muncul di kelasku. Aku berasumsi mereka sedang tenggelam dalam permainan di ponsel mereka.

Kelompok ke dua. Kelompoknya. Dan dia ada di sana. Di tengah-tengah. Sesekali mereka tertawa kencang hingga membuatku dan kelompokku kaget.

Dia.

Dia sedang tersenyum sekarang.

Oh, tidak. Sekarang dia tertawa kecil. Lalu semakin kencang. Dan semakin kencang.

Apa yang sedang ia tertawakan?

Kudapati matanya sedang memandangku sekarang.

Aku menghindar dengan ikut campur pembahasan yang bahkan tidak aku ketahui.

"Apaan sih. Bukan, tau. Itu mah beda. Sok tau lo, ah." Celetuk salah satu temanku. Aku hanya terkekeh, membuat teman-temanku yang lain tertawa.

Akhirnya aku menertawai diriku sendiri.

Lucu. Hanya karena aku tak sengaja bertemu matanya membuatku malu. Salah tingkah dan hilang kendali bahkan ketika ia sudah tidak menatapku lagi.

Karena bingung harus melakukan apa lagi, aku menghampiri teman-temanku yang lain di barisan belakang. Beralih ke kelompok yang didominasi oleh gadis-gadis pendiam, berniat membuat mereka setidaknya terlihat 'hidup' dengan bersosialisasi ataupun mengobrol seperti kami. Mereka inilah tipe orang yang belum bisa terbuka pada orang lain. Jadi kalau mereka sedang menganggur, mereka akan langsung bermain ponsel. Jarang sekali aku melihat mereka memulai pembicaraan.

Betapa kontrasnya mereka dengan orang sepertiku yang tidak pernah bisa berhenti berbicara, bahkan sampai hal yang tidak penting sekalipun tetap kubahas.

Selepas merasa cukup menemani mereka, aku beranjak pergi dengan masih mengarah pada mereka sambil melangkah mundur menjauh. Jarak antarbaris yang pas dengan ukuran tubuh satu orang membuatku berpikir akan baik-baik saja sampai aku kembali ke tempatku semula.

Aku yang masih dalam skenario bertengkar dengan para gadis pendiam itu sepertinya kehilangan fokus karena tertawa. Hal itulah yang membuat mereka menyahut padaku. "Awas, nabrak yang di belakang!"

Aku tidak langsung berhenti, melainkan mengambil satu langkah terakhir, baru kemudian aku berbalik.

Aku sempat berhenti membeku karena masih terkejut.

Beruntung aku tidak menabraknya. Menyentuh pun tidak. Namun matanya mengunci mataku. Mata cokelatnya beradu dengan mata cokelatku yang lebih rendah darinya.

"Eh?! Sorry." Ucapku refleks. Semoga suaraku tak terdengar berbata-bata.

Dia bergeming. Seluruh kelas berkoor mengucap kata yang sama. "Ciie" tak berhenti mengalir dari mulut mereka.

This Mustn't Be RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang