LIMA - KITING
Pemilik rumah sudah berada di tempat yang aman. Sekarang tinggal Dwi Abdul Jalak Ahmad Luthfi, atau orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Kiting (karena rambutnya keriting, bukan bulu dada), bersiap untuk masuk. Aroma kemenyan mulai terasa. Hawa dingin menjalar di kaki Kiting. Kebetulan dia lagi nyeker.
Kiting mengambil sebuah botol sirup, lalu meletakannya di atas keset depan pintu. Diketuknya pintu itu tiga kali.
'Assalamualaikum,' kata Kiting, khidmat. Supaya aksinya menangkap setan kali ini berjalan lancar.
'Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh..' Jawab seluruh warga, kompak.
Kiting nengok ke belakang. 'KAGAK USAH DIJAWAB!'
'Oke, Ting. Maap. Maap.' Suasana jadi gaduh.
Setelah beberapa saat anak buah Kiting menenangkan warga, Kiting menutup matanya. Ia lalu memberi tanda dengan tangan supaya dua anak buahnya mundur.
'Bang Kiting...' Soleh, Anak Buah 1, mencolek pundak kanan.
'Ape lagi?'
'Botolnya masih ada isinya, Bang.'
'Oiya lupa.'
Kiting akhirnya mengambil botol bekas jamu dari bagasi belakang mobilnya, entah kenapa tadi malah naroh botol sirup buat lebaran punya pak RT. Kiting meminta maaf sejenak kepada pak RT, lalu memulai ritualnya.
'HEYAAAAHH!!' Kiting tiba-tiba meloncat dan bergerak tidak karuan di garasi. Gerakannya tidak terkontrol. Kadang ke kanan, kadang tiba-tiba ke kiri. Kiting seperti dirasuki arwah ibu-ibu naik motor matic.
Sepuluh detik kemudian, suasana mendadak hening. Kiting mengambil botol dan memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk masuk ke dalam rumah. Kiting dan dua anak buahnya kemudian membuat formasi segitiga. Mereka berniat menyapu energi negatif yang ada dari arah luar dan mmengumpulkannya ke ruang tamu.
'Soleh! Kamu ke gudang belakang!'
'Oke, Bang.'
'Ridho! Kamu ke kamar mandi utama!'
'Siap, Bang Kiting!'
'Kiting? Ke dapur!' seru Kiting, dan dia jawab sendiri, 'Oke, Bang. Kita makan dulu, Bang.'
Diam-diam kampret juga Kiting ini.
'Di belakang ada pocong, Bang! Astaghfrullah... Soleh takut!' seru Soleh dari arah belakang.
'Jangan takut Soleh!' kata Kiting, sambil makan lemper di dapur. Santai sekali hidupnya. 'Baca bismillah! Gulingin pocongnya, terus tendang kayak abang-abang tukang galon!'
Beberapa saat kemudian, terlihat pocong yang terguling dan mentok di pintu gudang belakang. Kepalanya nyangkut dan gak muat keluar. 'Hrrrggmmmm..' geram pocong. Pigura di dinding seketika jatuh dan pecah. Warga di luar yang mendengar langsung menjerit. Kiting menghabiskan sisa lemper, membuang kulitnya ke tong sampah, lalu dengan sigap menngeluarkan jurus sakti. Dia berdoa, mengangkat botol jamu, dan secepat kilat mengarahkannya ke si pocong.
'HEYAAAAHH?!!' yang artinya: MATI KAU POCONG!
'Hrrmmmggghhh...' yang artinya: GUE KAN EMANG UDAH MATI!
Suara sendok yang saling berbenturan di dapur terdengar kencang. Gelas-gelas berjatuhan. Kursi di ujung bergoyang-goyang. Kiting menguatkan tenaganya. Suara eraman 'Hrrmmmgghhhrr...' terdengar semakin lama semakin kecil. Mungkin maksudnya: 'Kenapa pake botol jamu? Kan pahit kampreeet!! Aarrgghhh...'
Sampai tiba-tiba semua berhenti begitu saja.
'Ketangkep lo, Cong!' kata Kiting sambil memasang tutup botol, bangga.
Botol itu pun terasa lebih berat dari sebelumnya.
Mereka bertiga mengakhiri hari itu dengan berdoa di tengah-tengah ruangan. Kiting menceritakan kronologisnya kepada pak RT. Dan, sebagai balas budi, pak RT memberikannya dua botol sirup lagi. Biar lain kali setannya jadi manis kalo ketangkep, canda pak RT. Garing sekali dia.
'Ada satu lagi yang bapak lupa, Ting.' Pak RT mencegah Kiting and the gank untuk pergi. Kiting menengok dengan gerakan slow motion.
Diam-diam pak RT memasukkan sesuatu ke dalam kantung celana Kiting.
'Periksanya di rumah aja ya,' bisik pak RT.
Sok mesra abis anjir.