Jisoo terbangun saat jam menunjukkan pukul enam pagi. Setelah mencuci muka, pemuda tampan itu berjalan keluar kamar. Mengabsen kamar adik-adiknya yang masih tertutup. Tampaknya mereka masih terlelap di kasur masing-masing.
Seorang wanita yang membantu membersihkan rumah mulai sibuk di dapur. Membuat Jisoo melanjutkan langkahnya ke ruang keluarga. Biasanya, adik-adiknya akan meninggalkan kekacauan di sana.
Seperti yang ia duga, dvd milik Seungkwan dan Myungho berserakan di lantai. Beberapa komik juga ikut meramaikan kekacauan. Dan seperti kebiasaannya, Jisoo membereskan kekacauan itu. Meletakkan semua dvd pada tempatnya semula beserta komik yang tergeletak tak beraturan.
Pergerakannya terhenti saat menatap sebuah pigura. Foto tujuh anak laki-laki yang tersenyum menghadap kamera. Ia tersenyum melihat foto mereka saat masih kecil. Waktu seolah begitu cepat berlalu. Tidak terasa Seungkwan bukan lagi anak kecil yang akan menangis saat keinginanya tidak dituruti.
Jarinya terangkat untuk menyentuh foto anak dalam pangkuannya. Seorang anak laki-laki bermata sipit dengan senyum cerahnya.
"Chan-ie, apa kau juga tersenyum seperti ini di sana?" batinnya.
"Hyung yakin kau sudah sebesar Seungkwan sekarang," lanjutnya lagi.
Tidak ingin berlarut dalam kesedihan karena memandang foto, Jisoo memutus kontak. Memilih melanjutkan pekerjaannya membersihkan ruang keluarga.
Setelah semuanya beres, Jisoo beralih ke lantai atas. Tujuannya adalah kamar Wonwoo. Ia sudah memiliki daftar kegiatan yang akan mereka lakukan bersama.
"Kau sudah akan pergi?" Jisoo bertanya saat berpapasan dengan Seungcheol. Kembarannya sudah memakai pakaian rapi. Jas mahal membalut tubuh kekar pemuda tertua itu.
"Aku harus pergi ke berbagai tempat. Dan sepertinya aku akan pulang larut." Seungcheol bergegas menuruni tangga. Namun baru beberapa langkah, ia menghentikannya. Memutar kepalanya untuk melihat Jisoo. Seperti yang ia duga, Jisoo menuju kamar Wonwoo.
Entah apa yang pemuda itu pikirkan. Setelah terdiam beberapa detik, Seungcheol menghembuskan nafasnya. Menariknya dalam dan menghembuskannya lagi. Dan kembali melanjutkan langkahnya.
0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0
"Arata, cepat lakukan sekarang!"
"Aku tidak mau."
"Kalau kau tidak mau, kau akan melihat mereka mati di depanmu."
"Ojii-san, jangan sakiti mereka. Jangan lakukan itu. Hentikan Ojiisan. Aku mohon!"
"Kalau begitu lakukan sekarang! Kau tahu kan kalau mereka terluka itu karena kesalahanmu, Arata?"
"A-Aku akan melakukannya. Aku mohon lepaskan mereka Jii-san."
Mata Wonwoo terbuka dengan nafas terengah-engah. Lagi-lagi salah satu bagian dari masa kecilnya hadir di mimpi. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, kenangan buruk masa kecilnya tidak bisa terlupakan.
"Okaa-san," lirihnya.
Ia duduk di kasur dan memeluk lututnya. Ibunya bukan seperti wanita pada umumnya. Ibunya bahkan tidak menolongnya saat ia dikurung di tempat mengerikan. Tapi hanya ibunya yang memperlakukannya seperti manusia.
"Tugasmu di sini sudah selesai. Kau harus menjalankan tugas baru di tempat lain Arata-kun."
Kalimat yang terngiang itu membuat Wonwoo menegakkan tubuhnya. Ia tersadar akan alasannya berada di tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Dark
Fiksi Penggemar[DISCONTINUE] Wonwoo seolah melihat cahaya memasuki kehidupannya sejak bertemu dengannya. Namun masih adakah tempat untuknya yang selalu disebut monster dan pembunuh?